02

14 4 1
                                    

"Ayah?"

"Apa?"

Jason memutar bola mata nya jengah. Sudah seminggu ini makan malam nya di temani lagu klasik yang menggema di seluruh ruang. Kali ini Lacrimosa milik musisi terkenal Mozart yang berhasil menari dalam telinga laki-laki itu.

Ia sebenarnya tak masalah dengan lagu klasik. Hanya saja, waktu nya yang tidak tepat. Terlebih melodi Lacrimosa yang terdengar tragis juga mistis baginya mengingat kan laki-laki itu pada film psikopat yang ia tonton.

"I lost my appetite."

"But i wanna make Mozart happy in his grave."

"Shi—"

"Jason yang sopan!" Tegur Ibunya.

Di sebrang Jason, Malvin dengan sekuat tenaga menahan tawa yang tentu saja berhasil membuat laki-laki itu melotot pada nya.

"Oh ya Malvin, where's your mom?" Tanya Ayah Jason.

"Ada acara amal di panti asuhan om."

Jason lalu menatap lurus ke arah Malvin, laki-laki itu kemudian menggerakkan mulut nya mengisyaratkan kata-kata It's all because your mom

Malvin hanya menaikkan bahu nya acuh lalu kembali menyuap sesendok yogurt plan ke dalam mulutnya.

Sebenarnya itu ide dari bibi Grace, karena ayah nya itu selalu mengeluh bosan ketika makan malam. Jadi ia menyarankan untuk makan sembari mendengarkan lagu klasik.

Lalu sempat hening beberapa saat hingga kemudian tak berapa lama ayah Jason menyudahi makan malam, mengelap sudut bibir nya dengan serbet lalu pergi meninggalkan meja makan yang di ikuti oleh istri nya.

"Hari ini orang-orang kenapa pada aneh banget ya?'

Malvin menatap sepupu nya heran. "Hah?"

"Yaa mereka terus ngebahas hal yang ga gua  lakuin."

"More specific Jason."

"Contoh nya kaya tadi pas abis main polo, Lucas ngebahas soal gua yang kalah main golf dari dia kemaren. Tapi— gua ga ngerasa main golf Vin."

"Disini yang aneh itu elo. Jelas-jelas kemaren lo, gua, Lucas, ama Leon main golf di taman belakang istana."

Malvin kemudian mengambil ponsel nya, lalu menunjukkan foto mereka berempat yang tengah berada di mobil golf.

"Am i?"

"Gua ga tau kalo mabok bisa bikin amnesia."

"Gua juga engga."

Setelah perdebatan kecil itu, Malvin kemudian menyandarkan tubuh nya di kursi, menikmati semilir angin dari balkon kamar Jason sembari memutar-mutar gelas wine yang ada di tangan nya.

"1978." Ucap nya tiba-tiba.

"Hah?"

"Ini tulisan di botol nya 1978."

"Ayah pasti ngamuk nih kalo tau kita nyomot wine nya." Ujar Jason.

"Kita bisa ngegantiin pake yang sama persis."

"FUCK? ARE YOU SERIOUS?"

"Yah, tiap wine itu punya rasa yang beda-beda. Karena ada orang yang peka banget ama rasa nya, jadi dapet yang hampir sama persis itu agak susah. Tapi gua tau dimana tempat nya, entar gua bawain biar lo rasain sendiri."

"Kok gua ga tau ada tempat begituan."

"Because you busy to be "a good king?"

"Yang bikin hidup manusia susah tuh gengsi Jason. Banyak orang yang ga mampu tapi tetep pengen ngerasain barang eksklusif. Wine yang asli begini harga nya bisa ampe ratusan juta." Lanjut nya.

"Sorry Ayah."

Malvin tertawa. "Sekarang aja lo merasa bersalah ngasih wine kw."

"Gara-gara omongan lo tadi, jadi serem kalo semua hal bisa di bikin duplikat nya."

"There is nothing either good or bad, but thinking makes it so."

"Hamlet, huh?"

"Rion told you that?"

Jason mengangguk.

"Pantes dia dateng nya telat."

a good deduction.

"It's been one hour, nih beneran ga ada yang laper atau apa gitu pengen pulang?"

Leon lantas menunjuk Jason yang ada di kursi pengemudi dengan dagu nya. "Dia yang bawa mobil."

Helios mengembuskan napas pasrah, bahu nya lantas merosot di ikuti dengan wajah nya yang masam.

"Emang yang nyuruh ikut siapa?" Sahut Rion yang ada di samping Jason.

"GUA KAN GAK TAU KALO TERNYATA KELUAR NYA BUAT NGINTIPIN ORA—"

Dengan cepat Leon membekap mulut Helios sebelum laki-laki itu membuat mereka terkena masalah. "Lo mau kita masuk koran hah?"

"Lepas!" Seru Helios.

"Lagian nih ya Jason, lo cakep, lo kaya, lo pangeran. Ngapain sih ngintipin cewe penjual bunga? Dengan semua privilege itu lo bisa dapetin anak bangsawan atau paling engga anak pengusaha."

"Oh, are we in drama right now? Judul nya Pangeran dan Gadis Penjual Bunga menikah dan hidup bahagia selamanya."

"Demi Tuhan Helios, you such a fuckhead mending keluar deh pulang sendiri biar lo ketahuan bolos kelas."

Helios lagi-lagi hanya bisa diam ketika Rion sudah memarahi nya. Lalu di satu sisi, Jason tak bergeming ketika mendengarkan perkataan teman nya itu. Bagi nya tak ada yang salah dengan perasaan yang ia miliki sekarang. Semua hati berhak jatuh pada tempat yang ia kehendaki, tak peduli dari kalangan atas atau bawah, jika sudah mengenai perasaan siapa yang bisa menyangkal?

Laki-laki itu hanya bisa tersenyum hampa ketika kata-kata Helios tadi singgah di pikiran nya. Status nya memang pangeran, tapi tak beriringan dengan keberanian yang sudah seharusnya pangeran miliki. Ia bahkan tak tahu nama gadis penjual bunga yang ia lihat di festival musim semi setahun yang lalu itu.

Yang bisa ia lakukan dari kejauhan hanyalah memandangi, merangkai afeksi seorang diri, menabuh rasa dalam dinding sepi.

Dress biru muda selutut yang gadis itu kenakan berpadu cantik dengan rambut hitam sebahu nya yang beterbangan tertiup angin, indah selaras dengan bunga scorpion grasses yang ia pegang membuat Jason rela meninggalkan kelas literatur nya untuk melihat pemandangan tersebut.

"Saran yang paling bener sekarang mending kita pulang, because i don't wanna see Malvin—"

"Emang kenapa?" Potong Jason pada Leon yang tengah sibuk memainkan ponsel nya.

"KITA KETAHUAN!"

The Prince | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang