"Bro, do you see my bracelet? Yang dari pohon Oak terus ada ukiran tanggal lahir gua."
"Am i your assistent?"
Jason mengehela napas berat lalu menatap tajam ke arah Malvin yang tengah memakan apel nya sembari bersandar di pintu kamar.
"Okay iya, gua bantu."
"Cepet, entar gua telat masuk kelas nih."
"Iya! sabar."
"Kok bisa ilang sih gelang lo?" Tanya Malvin.
"Pasti jatoh, gua ga pernah ngelepas itu gelang. Lo juga, ga ngeliat apa pas bawa gua pulang abis mabok?"
"Itu udah 2 hari yang lalu, dan kemaren lo biasa-biasa aja."
"Baru kemaren malem kok. Gua inget waktu itu yang ngegotong gua lo ama Leon."
Malvin menggeleng. "Wah gila nih efek ajep ajep."
Jason lalu mendecak, mata nya yang minimalis itu menatap Malvin dengan tatapan yang menusuk.
"Ga sopan banget lo ama orang tua."
"Beda setahun doang."
Mereka kemudian terus mencari di setiap sudut kamar. Di laci, di bawah bantal, di balik buku-buku hingga akhirnya Malvin teringat akan sesuatu.
"Coba lo telpon Rion deh, soalnya gua ama Leon nganter lo nebeng mobil nya dia."
Jason lalu mengeluarkan ponsel dari kantong celana, jemari nya dengan cepat menari di atas layar hingga akhirnya benda pipih itu berpindah ke telinga nya.
"Hah? Di elu? Oke deh thanks sob."
"Di Rion ternyata, kata nya kemaren pas manasin mobil dia ga sangaja ngeliat ada gelang gua jatoh di kursi belakang, dia ga tau punya siapa, terus dia simpen."
"Okay, case is closed."
—
The Athena Royal University.
Seperti nama nya, ini adalah kampus bagi para "dewa." Terdengar seperti diksi yang di hiperbolakan memang, tapi wajar aja saja mengingat orang-orang yang ada di sini hanyalah anak-anak bangsawan dan juga kalangan atas. Fasilitas yang lengkap juga mewah menjadikan nya bukan cuma tempat untuk mengembangkan ilmu akademik saja, tapi juga sebagai tempat mengasah bakat-bakat anak muda, seperti kelas theater, musik klasik, balet, gymnastic, berkuda, renang, panahan, dan masih banyak lagi.
Keeksklusifan nya itu lah yang membuat banyak orang memupuk harapan juga mimpi jika suatu saat bisa ada di posisi itu. Tapi seperti yang kita tahu, stratifikasi sosial ada untuk memisah tiap lapisan masyarakat seperti mereka. Seerat apa pun mimpi itu tergenggam, pada akhirnya itu hanya seperti pasir yang akan hilang jika di genggam terlalu erat.
"Jason, entar ke party lagi bisa kali?" Tanya Rion sembari menepuk pundak pemuda itu.
"Jadwal gua lagi padet, dari pagi ampe malem ada aja kelas "how to be a good king" or whatever the name of that shit, ngalah-ngalahin raja yang kerjaan nya cuma main golf ama ngasih makan kuda."
"Sarkasme."
"Being his son it's not mean i like him."
"Kemaren aja gua sembunyi-sembunyi, kalo ga dibantu Malvin ya mana bisa." Lanjut nya.
"His a good cousin ya?"
"More like a baby sitter actually."
Rion sontak tertawa lalu merogoh kantong celana satin miliknya. "Oh ya, nih gelang lo."
"Thanks ya."
"Oke kalo gitu gua mau balik latihan lagi, udah di tungguin."
"With Malvin right? Dia jadi apa sih?"
"He's the main character."
"HE'S HAMLET? wah, terus lo jadi?"
"Horatio."
"Yah paling ga lo ga jadi raja nya—"
"Shut up, Jason."
Jason lalu tertawa. "Okay, break a leg Horatio."
Rion lalu pergi, punggung nya yang lebar berjalan menjauh di telan banyak nya manusia yang sedang menonton lomba pacuan kuda kala itu.
Sesaat setelah kepergian laki-laki itu, Jason lalu melihat sekeliling, mata nya terus mencari presensi seseorang yang ia kenal di antara kerumunan tersebut.
Yah awal nya tempat itu hanya untuk mahasiswa yang bersekolah di sana saja. Namun, sejak tahun lalu sudah di buka untuk umum, jadi tak dapat di pungkiri banyak nya orang yang ada di sana membuat laki-laki itu cukup bingung.
"Woy! Helios! The Son of Titan Hiperion."
Si pemilik nama kemudian menoleh, mendapati Jason yang sedang melambaikan tangan nya dari sisi atas Hipodrom. Lalu dengan cepat Helios membelah kerumunan dan menghampiri teman nya itu.
"Lo harus nya takut ama gua, i'm The Son of God, and you're just a prince."
"You're just a citizen in here Helios."
"Wow, you hit too hard Jason. Gua tau suatu saat nanti lo bakal jadi raja, but i wish i was dead if that happened."
"Yeah, at least you dead in a bed of roses."
Helios pun tertawa lalu kemudian menunjukkan sesuatu pada Jason.
"Oh ya, i got a tatoo."
Jason kemudian diam sejenak ketika laki-laki itu menunjukkan tato baru nya di leher belakang bagian bawah. Bagi Jason tato itu tampak familiar. Samar-samar rentetan kejadian beberapa hari yang lalu mulai kembali di pikiran nya. Namun aneh nya, ingatan mengenai tato itu tak dapat muncul.
"Gimana? Bagus ga?"
Jason sedikit tersentak. "Hah? Iya, keren sih."
"Sebenernya gua kaget pas bokap ngajak bikin tato. Awalnya pengen gua kasih Helios paling ganteng yah, tapi lo liat aja ni bokap gua milihin nya tulisan Yunani begini."
"What it's mean?"
Helios menaikkan bahu nya, menandakan bahwa laki-laki itu juga di rundung ketidaktahuan. "Gua bolos kelas sejarah."
"Eh iya sama."
"Ya kan kita bolos nya bareng."
Jason kemudian tertawa, melepas rasa senang nya pada angin yang berlarian menggelitik indra peraba. Di satu sudut sisi Hipodrom ada satu raga yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. Di balik bucket hat hitam dan jaket gucci milik nya, ia hanya tersenyum sembari memegang kalung berlambang matahari yang ada di dada nya.
"See you soon..."
jangan lupa tinggalkan jejak 💚
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prince | Lee Jeno
Fanfic"one may smile, and smile, and be a villain." © fiolanvd