“May, bangun, May. Lo kenapa?” tanyaku dalam kepanikan sambil mengguncangkan tubuh tak berdaya sahabatku itu. Tak terasa sudah berapa banyak buliran bening yang mengalir dan membasahi pipi.
Kulihat Melody begitu syok, dia hanya terduduk dengan kepala menduduk. Bahunya bergetar, menandakan bahwa dirinya juga sedang menangis. Namun, kurasa tangisan gadis itu hanya sebuah kepalsuan. Kakak kelasku yang satu itu memang sangat licik, dan dia juga yang terakhir kali bermasalah dengan May, jelas saja aku makin berpikir negatif padanya.
Kak Alfa kemudian datang dengan beberapa guru dan murid lain. Mereka langsung memeriksa tubuh May, salah satu guru juga meraba denyut nadi di pergelangan tangan dan leher May, tak lama, guru itu pun menggelengkan kepala, dan melipat kedua tangan May di atas perutnya.
“Ada yang sudah menghubungi keluarganya?” tanya guru tersebut sambil menoleh pada semua murid yang berada yang mengerumuni kami.
“I-iya, aku lupa,” ucapku sambil hendak berdiri. “Saya akan menghubungi orang tuanya sekarang, Pak.”Kurogoh kantung untuk mencari gawai milikku. Setelah mendapat apa yang sedang kucari, langsung saja aku menggulirkan layar ponsel, mencari kontak keluarga May, yang pernah gadis itu berikan.
Kutekan tombol panggilan, dan tak lama panggilan tersebut terhubung langsung pada Ayah May. “Halo, Om, ini Zoya. Teman sekolah May,” ucapku pada Ayah May di seberang telepon.
“Sudah nyambung?” tanya salah satu guru, aku hanya mengangguk. Lalu, guru tersebut meminta gawaiku dengan tujuan agar beliau yang berbicara dengan orang tua May.
Guru tersebut menjauh dan aku masih tetap menangis di samping tubuh May yang sedang tak sadarkan diri. “May, bangun, May. Maafin gue, karena tadi udah sempet marah sama lo.”
Melihat aku yang mengguncangkan tubuh May, Kak Alfa lantas merangkul bahuku erat. “Zoy, udah, Zoy. May pasti baik-baik aja,” ucap Kak Alfa dengan nada pelan di telingaku.
“Eh, aku denger barusan Pak Ikhsan—guru yang memeriksa kondisi May dan berbicara dengan orang tua May ditelepon—bilang kalau cewek itu udah meninggal.” Terdengar suara murid di belakangku.
“Nggak, May nggak meninggal. Jaga ya, tuh mulut!” bentakku sambil terisak yang entah tertuju pada murid yang mana. Yang jelas, ucapan tersebut hanya tertuju pada orang yang telah mengatakan bahwa May telah tiada.
Wajah May terlihat makin memucat. Bibirnya membiru dan tangan gadis itu yang semula hangat, kini mulai terasa dingin.
“Tolong bawa May ke UKS,” titah salah seorang guru. “Dan, Zoya, ini hp kamu.” Guru tersebut menyodorkan gawai milikku.
Aku menggelengkan kepala, tak percaya akan apa yang kudengar dari guru tersebut. “Tunggu! Pak, May harus dibawa ke rumah sakit. Bukan UKS,” sanggahku dengan intonasi yang sedikit tinggi, hingga membuatku menjadi tontonan.
“Zoya, kami sudah menelepon ambulans saat Alfa tadi ngasih tahu kami. Tapi, kamu tahu sendiri, jarak sekolah ini dengan rumah sakit terdekat itu lumayan juga jaraknya. Sambil kita nunggu orang tua May dan ambulans datang, kita bawa dulu May ke UKS.”
“Zoya, kebetulan keluarga May ada di sekitar sini, sebentar lagi mereka juga akan sampai,” timpal guru lain sambil tetap meminta guru dan murid lain membantunya membopong tubuh May ke UKS.
Saat hendak menelepon keluarga May untuk memastikan keberadaan mereka, kulihat Melody hendak kabur. Kuurungkan niat untuk menelepon, dan langsung menghentikan Melody.
“Mau ke mana lo? Mau kabur? Jangan harap. Lo yang udah celakain May, jadi harus bertanggung jawab.” Kupegang erat tangan Melody hingga gadis itu mengaduh.
“Bukan gue. Bukan gue yang celakain May. Gue juga baru lihay tadi dia tergeletak di situ. Gue nggak tau apa-apa.” Melody begitu histeris. Matanya memerah dengan deraian air mata yang sayangnya tak membuatku merasa iba ataupun percaya akan apa yang dia ucapkan.
Aku menariknya tanpa ampun, walaupun Melody sendiri memohon untuk melepaskan dirinya, dan Kak Alfa mencoba menenangkanku, aku tetap tak peduli. Pikiranku hanya tertuju pada satu tempat, yaitu ruang kepala sekolah.
“Zoy, udah gila ya, lo. Gue udah bilang, gue nggak ngapa-ngapain temen lo. Bukan gue pelakunya,” ucap Melody sambil meronta, berusaha melepaskan genggaman tanganku di pergelangan tangannya yang begitu kuat dan erat.
“Zoya,” sapa Tristan yang menghalangi langkahku.
Kepala ini mendongak, menatap tajam mata laki-laki di hadapanku itu. “Kalau mau cari masalah sama gue, jangan sekarang.” Hati ini begitu dikuasai amarah. Apa dan siapa pun yang menghalangi langkahku, tak ‘kan bisa luput dari kemarahanku.
“Zoy, kamu mau ke mana? Dan, kenapa nyeret-nyeret Melody kaya gitu?” tanya Tristan.
“Tristan, tolongin gue. Gue nggak salah. Bukan gue pelakunya. Tolong gue, please!” pinta Melody sambil terisak dan masih berusaha melepaskan cengkeramanku.
“Diem ya, lo! Lo harus jelasin di depan kepala sekolah!” tegasku yang makin mengeratkan cengkeramanku hingga saat kulirik ke tangan gadis itu, jelas terlihat berwarna merah.
Suara dering ponsel milik Kak Alfa berbunyi. Dia menerima panggilan dari seseorang, kemudian mengajakku untuk pergi ke UKS, dengan alasan orang tua May dan ambulans juga sudah tiba.
Dengan terpaksa aku melepaskan Melody. Namun, sebelum aku pergi, aku memberinya peringatan keras, bahwa dia tak ‘kan bisa lolos dariku.
Dengan cepat aku berlari menuju UKS yang diikuti oleh Kak Alfa juga Tristan. Benar saja, sudah ada orang tua May dan petugas ambulans yang siap membawa tubuh May yang terlihat makin pucat.Mama May makin histeris saat melihatku, dan saat aku berada tepat di hadapannya, wanita yang telah melahirkan May itu langsung memelukku erat sambil terisak dalam pelukanku. Membuat hati ini terenyuh dan mataku juga tak hentinya mengalirkan air bening yang membasahi pipi. Beliau mengatakan bahwa May banyak menceritakan tentangku, wanita paruh baya itu juga menyampaikan permohonan maaf atas nama May padaku.
Kulepaskan pelukan kami, menatap Tante Rosa—Mama May—dengan penuh tanya. “Tante, jangan bilang begitu. May nggak pernah punya salah sama aku.”
Tante Rosa tak merespons ucapanku, beliau langsung keluar ruangan, seiring dengan petugas ambulans membawa tubuh May keluar dari ruangan itu.
“Kami akan melakukan autopsi. Dan, mohon kerja samanya dengan pihak sekolah,” ujar Ayah May yang diiakan oleh guru dan kepala sekolah yang sudah berada di UKS.
Selepas kepergian May yang tak sadarkan diri dan dibawa ambulans dengan orang tuanya yang mendampingi, kepala sekolah memanggilku dan Melody guna meminta keterangan dari kami berdua.
Kepala sekolah juga meminta kami bersiap jika hal ini dibawa ke ranah hukum, maka otomatis kami akan dipanggil sebagai saksi. Mendengar hanya sebagai saksi, refleks aku pun kembali menyudutkan Melody, dan menuduhnya kembali sebagai pembunuh May. Akan tetapi, Bu Risma—kepala sekolah— berhasil menengahi kami, dan aku keluar dari ruangan tersebut dengan penuh amarah, setelah interogasi dari pihak sekolah sudah selesai.
Tak lama, aku mendapat sebuah pesan yang dikirim oleh Tante Rosa yang menyampaikan bahwa May telah benar-benar meninggal. Seketika kaki melemas dan hampir saja terjatuh, beruntungnya seseorang menahan tubuhku dan membantu duduk di kursi yang memang disediakan di setiap depan kelas.
“Kamu nggak pa-pa?” tanya Tristan setelah menolongku.
Aku hanya menggelengkan kepala, tatapanku kosong, anganku kembali ke beberapa jam yang lalu, dengan begitu emosi, aku marah pada May. Sungguh, hati ini menyesal. Jika saja aku bisa mengulang waktu, aku tak ‘kan semarah itu pada May. Mungkin saja, kalau aku tak bersikap seperti itu, saat ini May masih ada di sisiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bloody Diary [COMPLETED]
Mystery / ThrillerZoya menemukan sebuah Diary di sebuah ruang kosong di sekolah barunya. Namun, siapa sangka bahwa diary itu ternyata menyimpan banyak rahasia para senior, yang jika dia baca, dapat membahayakan nyawanya. Alfa dan Melody-senior Zoya-merupakan orang ya...