Mau Uji Nyali?

124 29 6
                                    

“May, ikut, yuk ke perpus. Gue lupa belum pinjem buku pelajaran.” May menolak ajakanku dengan alasan, dirinya sedang mengalami PMS.

Terpaksa aku pergi seorang diri ke perpustakaan. Sebenarnya malas sekali, mengingat jarak yang begitu jauh antara kelasku dan ruang yang digunakan untuk menyimpan dan meminjam buku-buku pelajaran itu. Namun, aku tak memiliki pilihan lain, daripada harus mendapat omelan guru, mau tak mau aku pun pergi sendiri ke perpustakaan yang berada di lantai dua.

Ada satu tangga yang posisinya paling dekat dengan kelasku menuju lantai atas. Akan tetapi, letaknya yang bersebelahan dengan ruang kosong, tempat aku menemukan diary itu, membuatku ragu untuk melewatinya. Bukan, bukan aku takut dan percaya dengan adanya arwah. Melainkan, tempat itu begitu sepi, jarang orang yang melewati tangga tersebut. Jika terjadi sesuatu denganku, sudah bisa dipastikan, tak akan ada yang bisa mengetahuinya, kalaupun diketahui, pasti harus menunggu beberapa jam atau bahkan keesokan harinya.

Namun, melewati tangga lain pun aku juga malas, karena yang kutahu, tangga lain yang terhubung dengan perpustakaan adalah yang ada di dekat kelas dua belas. Itu artinya, jika aku memilih tangga tersebut, harus siap menjadi bahan ledekan atau bahkan diganggu oleh mereka.

Dengan segera aku melangkahkan kaki ini. Bau debu di sekitar tangga dan ruangan kosong itu begitu menyengat hidung. Lantai tangga bagian menengah ke atas pun kotor, seperti yang tak pernah dibersihkan. Aku mempercepat langkah hingga akhirnya sampai di perpustakaan.

Setelah mendapat buku yang dibutuhkan, aku langsung berniat kembali ke kelas. Namun, lagi-lagi aku kembali dilema. Entah kenapa, rasanya ragu untuk kembali melewati tangga itu, dan enggan juga untuk melewati tangga yang ujungnya tepat di area kelas dua belas. Jika memilih jalur lain lagi, itu artinya aku harus berkeliling melalui area sekolah SMP. Ah, tidak. Itu pasti sangat melelahkan. Belum lagi, harus siap disoraki oleh mereka.

Terpaksa, aku kembali melewati tangga yang terhubung ke dekat kelas. Walaupun, perasaan ini menjadi aneh, seperti merasa ada hal yang akan terjadi, aku tetap melewatinya, menghiraukan perasaan aneh yang timbul. Perasaan itu kutepis, dengan pikiran, Tidak akan terjadi apa pun. Tuhan akan selalu melindungiku.

“Aaaa ...,” teriakku saat kaki ini terpeleset dan membuat tubuh ini terjatuh dari tangga.

“Siapa di sana?” Terdengar suara seorang laki-laki dari ujung lorong.

“Tolong,” teriakku lagi, berharap akan ada yang membantuku.

Terjatuh dengan posisi pinggul terantuk ke tangga dan kemudian meluncur seperti main perosotan, sungguh membuat pinggul ini ngilu. Untuk berdiri pun rasanya sakit.

“Zoya, kamu kenapa?” Rupanya laki-laki itu adalah Kak Alfa. Dia berlari menghampiriku.

“Lagi main perosotan. Udah tahu aku minta tolong sambil duduk gini. Ya, berarti aku jatuh!” seruku.

“Ya maksudku, ngapain kamu di sini? Udah tahu, kan lorong sini sampai atas itu hampir nggak pernah dilewati orang, bahkan lantainya aja jarang dibersihin. Kamu mau uji nyali sama arwahnya Zahwa?”

“Ngomongnya jelek, ih. Udah dibilangin, hantu itu nggak ada. Itu tuh, cuma mitos,” ucapku sambil mengangkat tangan, memberi kode agar Kak Alfa membantuku berdiri.

“Ini mau ngapain? Mau minta gendong? Berat badanmu berapa kilo dulu? Aku nggak mau, ya, gantian sakit pinggang abis gendong kamu,” ledek Kak Alfa.

Aku memicingkan mata ke arahnya, dia pun langsung tertawa, seolah paham bahwa aku melayangkan protes keras karena sudah berani menyinggung soal berat badan. Kak Alfa mencoba membantuku berdiri. Namun, dia terkejut seragam yang kukenakan terasa basah.

“Zoy, ini minyak kayanya, soalnya licin,” ucap Kak Alfa sambil menggosok jarinya. “Kayanya ada yang ngerjain kamu.”

Tiba-tiba terdengar suara bak sampah yang terbuat dari aluminium terjatuh, kemudian diikuti suara mengaduh seorang gadis.

“Melody,” panggil Kak Alfa dan hendak mengejar gadis itu yang memang langsung melangkahkan kakinya dengan cepat setelah bak sampah itu terjatuh.

“Kakak mau ke mana?” Aku mencoba menahan langkahnya.

“Aku mau ngejar dialah. Pasti dia yang udah nyelakain kamu.”

“Terus ninggalin aku yang lagi sakit pinggang gini? Udahlah, Kak. Lagian nggak ada bukti juga kalau dia yang nyelakain aku. Mungkin kebetulan aja dia lewat sekitar sini,” tuturku sambil menahan rasa sakit di pinggang.

“Ya, tapi, kan ....”

“Udah, Kak. Mending kakak bantu aku balik ke kelas. Sakit ini pinggang aku, nggak bisa berdiri,” rengekku.

“Oke, aku antar kamu ke kelas dulu, setelah itu aku akan menegur Melody,” tegas Kak Alfa.

“Eh, udah aku bilang juga, nggak perlu. Bisa aja emang ada minyak di situ, tapi aku nggak lihat tadi pas berangkat, dan apesnya pas balik malah keinjek. Kita nggak ada bukti juga, kan kalau dia nyelakain aku. Udahlah, lupain aja. Aku yakin, walaupun dia selalu cari masalah sama aku, tapi dia nggak mungkin berani ngapa-ngapain aku.”

“Tapi, Zoy, kamu nggak kenal Melody kaya gimana. Dia itu emang terlihat manis dan sok baik. Aslinya, mah jahat. Pokonya aku akan negur dia.” Kak Alfa kembali menegaskan keinginannya. Namun, aku kembali mendebat dengan alasan bahwa tidak ada bukti bahwa gadis itu mencoba membuatku celaka.

“Kamu tuh, ya aneh. Sama manusia yang udah jelas rese sama kamu, kamu masih perlu ada bukti. Sedangkan kasus kematian Zahwa, kami semua udah lupain dan nggak ada bukti bahwa dia dibunuh, bahkan keluarganya aja percaya dia bunuh diri, kamu malah mau nyelidiki kasusnya,” ucap Kak Alfa dengan raut wajah yang kembali berubah. Matanya sayu, tetapi tatapannya begitu menusuk relung hati.

Aku berusaha menjelaskan kembali, bahwa ini dua kasus yang berbeda. Aku masih hidup, dan keberadaan Melody di ujung lorong, tidak bisa membuktikan apa pun kalau dirinya dalang di balik jatuhnya aku.

Akan tetapi, Zahwa sudah meninggal dengan cara yang tak biasa, rasanya tak masuk akal, jika gadis itu memutuskan untuk bunuh diri hanya karena di-bully. Menurutku, kalau memang pemilik buku harian itu bunuh diri karena perundungan yang dialaminya, harusnya dia bunuh diri saat pertama di-bully, ‘kan? Bukannya harus menunggu beberapa waktu dulu.

Kak Alfa yang mulai lelah berdebat akhirnya mengalah. Dia memapahku ke kelas, hingga membuat semua mata tertuju pada kami. Rasa sakit yang kurasakan, membuatku tak menghiraukan tentang tatapan, maupun gosip yang akan terdengar setelah ini. Lebih penting untuk segera bisa kembali duduk di bangkuku.

“Loh, Zoya kenapa?” tanya May saat melihatku meringis kesakitan saat Kak Alfa membantuku untuk duduk.

“Gue nggak kenapa-kena—”

“Dia lagi coba main salto di tangga. Udah tahu ada minyak di tangga, malah diinjek,” ucap Kak Alfa memotong perkataanku.

“Kok bisa? Ada minyak? Apa jangan-jangan, senior rese itu yang lagi-lagi ngerjain lo?” ujar May.

“Senior rese? Maksud lo ....” Aku mencoba menerka orang yang hendak diutarakan namanya oleh May.

Bloody Diary  [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang