Penasaran

96 26 7
                                    

Kak Alfa memastikan Melody keluar dari kantin dengan memperhatikan setiap langkah gadis itu sambil menghabiskan es yang masih tersisa sedikit dalam gelasnya.

“Kalian minum es dari tadi nggak habis-habis. Perasaan cuma pesen segelas doang. Gue aja 2 gelas udah habis,” celotehku sambil membandingkan dua gelas kosong di hadapanku dengan satu gelas kosong di masing-masing hadapan Kak Alfa dan May.

Terdengar suara tawa kecil dari Kak Alfa sambil mengacak rambutku. “Udahan yang makan? Atau masih mau nambah lagi?” tanya Kak Alfa dengan suara lembutnya.

“Eh, tunggu bentar. Pertanyaanku belum Kakak jawab,” rengekku sambil memegang tangan Kak Alfa yang hendak berdiri.

“Pertanyaan apa lagi?” tanya Kak Alfa.

“Ck, pasti pura-pura lupa, kan? Itu rahasia Melody? Apa ada kaitannya dengan barang itu?” Aku mencebikkan bibir sembari memberi kode pada Kak Alfa tentang diary tersebut, dengan menggerakkan tangan sebelah tangan seperti orang menulis.

“A—” Tiba-tiba bel masuk berbunyi saat Kak Alfa hendak mengatakan sesuatu.

Awalnya aku tetap memintanya untuk bercerita. Akan tetapi, laki-laki itu justru memaksaku untuk kembali ke kelas, sedangkan dia membayar makanan kami terlebih dulu.

“Tapi, Kak ...,” ucapku memelas sambil menampilkan puppy eyes di hadapannya, berharap Kak Alfa akan merasa iba padaku, lalu menceritakan banyak hal tentang Melody, termasuk dengan rahasia gadis itu.

“Zoy, kan bisa kapan-kapan lo tanya tentang tuh Nenek Lampir ke Kal Alfa. Lo masih punya banyak waktu. Apalagi, besok libur. Kalian bisa kencan. Iya, nggak, Kak?” bujuk May yang kurasa kali ini dia berada di pihak Kak Alfa, sembari mengedipkan sebelah mata dan senyum yang menyungging di bibirnya. “Sekarang kita balik dulu ke kelas, udah bel masuk ini. Lo mau kita telat? Lagian, kaya yang nggak cukup aja ditemenin Kak Alfa.”

“Bener kata May. Ini udah masuk. Mendingan kamu sama May balik ke kelas. Kita punya banyak waktu untuk ngobrol banyak hal,” sahut Kak Alfa yang kemudian beranjak dari tempatnya dan pergi ke stan makanan, tempat kami memesan makanan tadi untuk membayar pesanan tersebut.

Aku menunjukkan wajah cemberut di hadapan May, lalu kembali ke kelas dengan menyeret gadis itu. “Apa susahnya sih, cuma cerita bentar? Katanya cinta, tapi kaya gitu doang nggak bisa lakuin,” gerutuku yang justru mendapat tawa keras dari May. “Ngapain lo malah ngetawain gue?”

Ututu, sewot banget, Neng? Eh, lagian, ya emang lo juga cinta sama Kak Alfa?” ucap May sambil tertawa.

Aku menghentikan langkah, lalu menarik lengan May hingga gadis itu ikut menghentikan langkahnya dan menatapku dengan tatapan seperti menuntut jawaban atas sikapku yang menariknya tiba-tiba.

“Emang lo ngerti arti cinta apaan?” tanyaku pada May.

Gadis itu tak merespons pertanyaanku, dia hanya menyeretku ke kelas, dengan alasan pelajaran sudah akan dimulai, dan dirinya tak ingin kami terlambat masuk kelas hanya karena pertanyaanku yang menurutnya konyol.

Dengan terpaksa, aku pun kembali ke kelas dan mengikuti pelajaran dengan saksama. Seperti biasa, aku menjadi siswi yang aktif dalam pelajaran, melupakan sejenak tentang rasa penasaranku terhadap Melody melalui Kak Alfa, dan arti cinta menurut May.

Para guru merasa heran, karena awal pertemuan, aku tak menunjukkan sikap seperti siswi yang akan cemerlang di kelas. Justru cenderung pasif. Tanpa terasa, semua pelajaran hari ini telah selesai. Seperti biasa, May selalu pulang lebih dulu dariku, karena telah dijemput oleh sepupunya, meninggalkanku sendiri berjalan melalui koridor area kelas dua belas.

“Hai, Cantik!” sapa Kak Alfa mengagetkanku yang entah sedang memikirkan apa, yang jelas rasanya pikiran ini begitu penuh.

Aku menoleh pada Kak Alfa dengan wajah datar. “Kak Alfa,” sapaku balik.
“Sendirian aja? May udah pulang?” tanya Kak Alfa yang hanya kujawabi anggukan.

“Ya udah, yuk pulang bareng. Aku antar aja sampai kos. Biar nggak ngojek mulu. Kasihan ortu kamu, udah biayain sekolah, kos, makan, eh, nambah biaya ojek juga. Jadi, biar aku yang antar-jemput kamu, oke. Fix, nggak boleh nolak,” putusnya tanpa menanyakan persetujuan dariku.

“Ya, salah mereka sendiri, coba aja mereka mau masukin aku sekolah di sekolah yang aku mau, bukan di sini. Kan, jadinya mereka nggak perlu repot,” ujarku sambil memanyunkan bibir, merasa kesal jika mengingat bagaimana cara ayah memaksaku menyetujui untuk bersekolah di sini.

Kak Alfa tersenyum sambil menarik daguku agar aku menoleh padanya. “Zoy, kata orang, orang tua adalah malaikat tak bersayap, yang Tuhan kirim untuk menyayangi, menjaga, dan mencintai kita dengan tulus. Apa pun yang mereka putuskan, itu adalah yang terbaik, bukan yang kita inginkan.”

“Ya, tapi, kan ...,” sanggahku yang harus terhenti, karena ada orang lain yang menyapaku.

“Hai, Zoya, Al,” sapa Tristan bersama dengan kedua temannya.

Semenjak pembicaraan dengan Tristan di kantin, hati ini bingung, harus bersikap bagaimana pada salah satu seniorku yang lain itu. Canggung, bingung harus membalas sapaan itu bagaimana, akhirnya, hanya bisa kubalas dengan seulas senyum.

“Hai, Bro!” sapa Kak Alfa pada Tristan dan kedua temannya.

“Oh ya, congrats, ya. Gue denger dari Melody, katanya kalian udah jadian?” ucap Tristan sambil menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.

Kak Alfa tertawa sambil menepuk pundak Tristan, setelah berpindah posisi tepat di samping Tristan. “Melody aja lo percaya. Gu—”

Dengan segera aku memotong ucapan Kak Alfa. Aku tak ingin siapa pun berpikir bahwa kami memiliki hubungan spesial. Padahal, aku tak pernah memberi kepastian pada laki-laki itu, karena benar-benar ingin fokus untuk belajar, walaupun pada faktanya memang aku merasa nyaman dan aman bersekolah di sini karena adanya Kak Alfa.

“Aku dan Kak Alfa nggak ada hubungan apa-apa. Kami hanya berteman, nggak lebih,” ketusku tanpa melihat ke arah Tristan, karena rasanya tak sanggup aku menatap laki-laki itu. Entah karena aku mulai malu telah menuduhnya yang bukan-bukan, atau karena masih merasa jengah akan sikapnya yang seperti bermuka dua.

“Ya udah, apa pun hubungan kalian, terbaik aja untuk kalian berdua,” ujarnya lalu berpamitan pulang terlebih dulu dari kami.

Selepas kepergian Tristan, Kak Alfa langsung mengajakku pulang sambil merangkul bahuku hingga ke parkiran. Laki-laki itu benar-benar mengantarku sampai di depan gerbang tempat kosku dengan motornya.

“Malam ini, jangan masak, order makanan, atau beli di kaki lima,” pinta Kak Alfa sambil membantu melepaskan helm dari kepalaku.

“Terus, maksudnya aku nggak boleh makan? Tega banget, coba, disuruh puasa malam-malam,” kesalku dan yang sedang berbicara denganku langsung tertawa. “Haish, malah ketawa. Emang minta digetok pakai helm, nih orang.”

“Ampun, ampun ...,” Kak Alfa memohon agar aku tak memukulnya dengan helm tersebut, “maksudku, kita makan malem bareng nanti. Aku bawain makanan untuk kita makan malam ini. Aku yang masak.”

Telinga ini terasa geli mendengar penuturan Kak Alfa, hingga membuatku tertawa, tak percaya akan apa yang kudengar. “Emang bisa masak?” tanyaku sambil tertawa.

Yee ... nggak percaya. Aku bisa masak air sampai gosong, dan telur ceplok sampai garing,” canda Kak Alfa.

“Astaga, bisa sakit perut gue kalau gitu mah,” celetukku sambil menampakkan wajah kesal padanya.

“Enggak, enggak. Percaya, deh. Mau, kan makan malam bareng aku malam ini?” tanya Kak Alfa dengan raut wajah serius.

Aku pura-pura berpikir, memainkan jari telunjuk di kening dan tangan satunya bersedekap di depan dada. “Mmm ... baiklah. Aku mau. Yang penting makan gratis,” ucapku sambil bercanda.

“Ya sudah, nanti malam, aku datang tepat pukul 7 malam. See you, Manis,” sahut Kak Alfa yang kemudian langsung berpamitan untuk pulang.

Bloody Diary  [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang