“Kamu mau tahu, gimana ekspresi Riana saat Zahwa mengembuskan napas terakhirnya di tanganku?” Kak Alfa begitu santai mengatakan semua hal itu. Seolah tak ada rasa takut atau penyesalan dalam hatinya.
Mulut dan mata ini terbuka lebar, telapak tanganku juga dengan sendirinya terangkat untuk menutupi mulut. Serasa tak percaya akan apa yang telah laki-laki itu ucapkan barusan. Bagaimana bisa dirinya setega itu, membunuh seorang gadis tak bersalah?
Oh, Tuhan, terima kasih telah membuka tabir kejahatan Kak Alfa tepat waktu. Setidaknya, kali ini aku bisa lebih berhati-hati pada laki-laki itu. Dalam ketakutan, aku hanya bisa terus memanjatkan doa, agar Tuhan selalu melindungiku, dan Tristan bisa secepatnya datang.
Sungguh, Kak Alfa makin terlihat menyeramkan setelah mengatakan pengakuan itu. Kalau pada Zahwa saja dia bisa setega itu, bagaimana padaku? Yang notabene baru dikenalnya.
“Ah, nggak, nggak ... mungkin kamu lebih penasaran dengan bagaimana cara May terbunuh? Ya, kamu pasti penasaran dengan hal itu, ‘kan? Dia, kan sahabat kesayanganmu.” Tingkah Kak Alfa tak seperti biasa. Laki-laki itu justru terlihat senang, terbukti dari bibirnya yang tak pernah melunturkan senyum, seolah bangga karena telah melakukan hal keji dengan melenyapkan nyawa orang lain, tidak ... lebih tepatnya dua gadis tak bersalah.
Seketika aku teringat tentang May. Tentang semua yang gadis itu ucapkan di hari terakhirnya menghirup udara di bumi ini. ‘Ku teringat bagaimana May telah memberiku peringatan keras untuk menjauhi laki-laki yang baru saja mengakui bahwa dirinya seorang pembunuh.
Perasaan bersalah kembali menyeruak, penyesalan yang memang terlambat itu kembali muncul. Jika saja waktu itu aku memercayai ucapan May, mungkin sekarang gadis itu masih ada di sini bersamaku, menemaniku menyelidiki kasus kematian Zahwa.
Tak terasa, air mata ini pun kembali mengalir tanpa ada yang memerintahkannya. Pun, tanpa disadari bibir ini mulai sesenggukan, mengenang semua hal yang pernah aku lalui bersama dengan May.
“Waktu itu, karena kamu marah, dan masuk ke kelas duluan, aku menghubungi May. Sayangnya, gadis malang itu mau-mau aja aku ajak ketemuan di lorong yang super sepi itu.” Kak Alfa kembali tertawa, yang tentu saja membuatku makin panik. Terlebih, laki-laki itu masih saja menyusuri jalan setapak dan melihat ke tiap semak.
Aku yang masih terisak dan sesenggukan, berusaha keras menutup bibir ini dengan rapat, agar tak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Agar tak membuat Kak Alfa curiga.
“May dateng sendiri waktu itu, dan aku sembunyi. Terus ... aku ngagetin dia dari belakang dengan cara mukul di leher bagian belakangnya. Tapi, sayangnya jantung dia terlalu lemah. Alhasil, dia kaget, terus pingsan.”
Air mata ini makin mengalir deras, membayangkan bagaimana Kak Alfa memperlakukan May secara keji saat itu. Namun, bukannya merasa bersalah, laki-laki yang beberapa bulan terakhir dekat denganku itu, justru makin menyeringai. Tingkahnya seperti orang tidak waras.
“Dan, karena aku berniat mau tolong dia dan bawa ke UKS, jadi aku bawa tubuh dia ke atas. Eh, nyampek atas, aku lupa kalau ternyata UKS-nya ada di bawah. Dan, ya karena aku capek, jadi aku gelundurin aja tubuh May dari atas. Eh malah nyangkut, di tengah tangga. Jadi ... aku angkat lagi, terus lempar aja dari atas.”
Kepala ini langsung menggeleng dengan sendirinya tanpa ada perintah dari otak, setelah mendengar pengakuan Kak Alfa. Ya Tuhan ... aku bisa membayangkan, bagaimana sakitnya May saat itu. Maafkan aku, May, karena aku tak bisa menyelamatkanmu saat itu.
Andai saja, dari awal aku tak percaya pada laki-laki tak punya hati seperti Kak Alfa, insiden yang merenggut nyawa sahabatku itu tak ‘kan pernah terjadi. Saat ini, hati kecilku hanya bisa melantunkan permohonan maaf berkali-kali pada May. Aku yakin, walau aku tak bisa lagi melihat gadis itu, tetapi dia pasti tahu tentang apa yang kurasakan saat ini.
“Kamu mau tahu gimana asyiknya suara jatuhnya tubuh May ke lantai dasar, hingga menabrak tembok? Suara itu ... seperti dentuman bom berskala kecil, ah petasan. Ya, petasan. Dum ... kira-kira seperti itu bunyinya.”
Aku tetap berusaha memegang erat gawai di tanganku. Aku tak ingin memicu kecurigaannya. Namun, karena Kak Alfa yang makin lama kian dekat, aku pun memutuskan untuk menggerakkan kaki secara perlahan, menggeser posisiku agar jarak antara aku dan Kak Alfa makin jauh.
Mata ini makin tak tahan, saat harus membendung air yang sudah menumpuk di pelupuk mata. Aku pun memejamkan mata, sambil menumpahkan semua air mata, kekecewaan karena tak bisa berbuat apa pun, dan penyesalan mendalam.
Aku benar-benar tak menyangka jika ini semua perbuatan Kak Alfa. Apa salah May dan Zahwa? Wait ... apa ucapan May waktu itu yang mengatakan bahwa Kak Alfa bukanlah laki-laki normal itu benar?
Aku mengusap pipi yang digenangi air mata ini dengan kasar. Mengingat semua kejadian dan menghubungkannya. Lalu, kutarik kesimpulan, bahwa Kak Alfa memang seorang gay.
“Zahwa dan May yang malang. Jika saja, Zahwa mau mendengarkanku untuk menjauhi Tristan, hal ini nggak akan pernah terjadi. Tristan itu milikku ... hanya milikku. Siapa pun yang mencoba mendekati Tristan, atau bahkan mendapat perlindungan dari Tristan, nggak akan pernah bisa hidup tenang.”
Mata ini langsung terbelalak dengan mulut yang kembali menganga, mendengar fakta baru jika Kak Alfa adalah penyuka sesama jenis. Astaga, selama ini aku hanya mendengar di televisi atau berita tentang hal tersebut. Dan, aku menganggap bahwa hal itu adalah hal tabu, tak mungkin ada yang seperti itu di lingkungan sekitarku.
Namun, fakta yang terucap dari bibir Kak Alfa langsung menyadarkanku, bahwa apa hal seperti itu memang ada dan bukan tidak mungkin jika orang terdekat yang menjadi pelakunya.
Jika Zahwa dibunuh karena gadis itu dekat dengan Tristan, lalu apa yang menjadi motif Kak Alfa membunuh May? Atau ... memang karena Kak Alfa merasa terancam, karena May mengetahui tentang dirinya?
“Dan, May ... gadis itu terlalu sok tahu dan ikut campur urusanku dengan kamu, Zoy. Tapi, asal kamu tahu ... aku, bukan deketin kamu karena aku suka sama kamu. Nggak, aku nggak bener-bener menyukai kamu. Aku hanya mencegah Tristan untuk mendekati kamu.”
Ya Tuhan, aku benar-benar merasa bersalah pada banyak orang. Tak hanya May. Dengan semua pengakuan ini, aku pun telah melakukan hal keji pada Melody. Menuduh tanpa bukti, jika dia yang bersalah atas semua yang terjadi. Gadis itu benar-benar tak bersalah, dia bukan pembunuh May ataupun Zahwa.
Di tengah ocehan Kak Alfa, tiba-tiba saja terdengar suara ponsel ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Bloody Diary [COMPLETED]
Misteri / ThrillerZoya menemukan sebuah Diary di sebuah ruang kosong di sekolah barunya. Namun, siapa sangka bahwa diary itu ternyata menyimpan banyak rahasia para senior, yang jika dia baca, dapat membahayakan nyawanya. Alfa dan Melody-senior Zoya-merupakan orang ya...