19 Juli 2021
•••
Saat pintu lift terbuka sudah ada sekretaris Brendon yang menunggui mereka.
"Lihat, Om. Bujukanku berhasil!" kata Brendon menunjuk Vanora yang keluar dari lift, Vanora hanya menghela napas seraya tersenyum ke pria tua yang tampak ramah itu. "Udah kubilang semua wanita gak bakal tahan sama pesonaku," kata Brendon angkuh.
Vanora menatap tak percaya ungkapan Brendon yang songong sekali baginya, tetapi Vanora hanya diam sambil memutar bola mata.
"Baik, Pak. Mantap." Pria itu mengacungkan dua jempol lagi. "Jadi kita tinggal urus soal Bu Vanora, mari Bu Vanora ikut saya sebentar."
"Lho, mau dibawa ke mana lagi dia, Pak?" Vanora mengeleng miris karena Brendon yang tak paham maksud sekretarisnya, ia mendengkus pelan.
"Brendon, secara teknis aku belum ada kontrak kerja apa pun sama kamu," ucap Vanora menatap malas Brendon.
"Ah ... bener-bener, ya udah kuy!"
Pria tua di hadapan mereka tersenyum dan menuntun keduanya menuju sebuah ruangan, guna mengurus pekerjaan untuk Vanora. Mereka siap duduk di kursi bertiga ketika tampak seorang pria berjas muncul dari pintu yang belum ditutup. Mereka menatap kedatangan karyawan itu yang terlihat buru-buru.
"Pak Brendon ...." Dipanggil, membuat empunya nama mengerutkan kening. "Maaf mengganggu, tapi Pak Zaylor datang." Mata Brendon tampak memicing kesal.
"Sar tukang ngadu," gumam Brendon pelan, nadanya terdengar marah dan Vanora tercengang menatap itu.
Namun kala menatap keduanya, Brendon tersenyum lagi. "Aku tinggal ya, urus ya Om." Hm sejujurnya unik memanggil sekretarisnya sendiri om meski memang pria itu om om bagi Brendon. Hanya saja tak biasa. "Dah Vanora, jangan kangen ya!"
Vanora yang tadi sempat bersimpati langsung jijik, PD sekali pria itu. Brendon lalu berdiri dan menghampiri karyawan itu, dan beranjak pergi bersamanya entah ke mana. Vanora memperhatikan punggung pria itu yang semakin jauh sampai akhirnya hilang kala masuk ke lift.
"Jadi ... Bu Vanora," kata sekretaris Brendon yang mengalihkan pandangan Vanora lagi. "Mari kita urus soal asisten pribadi ini."
"Ah, baik, Pak." Vanora mulai mengurus surat-suratnya dan kontrak kerja. Sebenarnya ia berpikir untuk jadi karyawan di balik kubikel saja, tetapi siapa sangka malah menjadi asisten pribadi.
Walau syukurlah dia rasa punya keahlian untuk itu, yah semoga. Lagipula daripada asisten pribadi, lebih tepat mentor dan teman Brendon saja karena di persyaratan lebih mirip begitu. Dan oh gajinya ini sangat fantastis, Vanora melongo melihatnya. Tak mengekang pula. Benar-benar dijadikan teman saja.
"Terima kasih sudah mau menjadi asisten Pak Brendon, Bu Vanora," ujar sekretaris Brendon, nadanya terdengar sangat bersyukur akan keputusan Vanora. "Dari dulu dia sering banget ngomongin soal Ibu, dan keinginan dia jadi ... teman Ibu."
Vanora terkejut. Sungguh? Memang apa yang Vanora lakukan sampai Brendon segitunya? Terakhir kali mereka bertemu itu hampir sepuluh tahun, dan dia hanya bilang soal ... cita-cita aneh Brendon itu. Vanora tak terlalu ingat detailnya tetapi ada hubungannya dengan itu dan pasti semua orang mungkin pernah berkata demikian pada Brendon.
Apa yang spesial dari dirinya? Dia rasa tak ada.
Lalu setelahnya Brendon hilang.
Hanya itu momen mereka, tapi kenapa?
"Bu, saya minta satu hal sama Ibu bisa?"
Vanora menatap heran sekretaris Brendon. "Apa, Pak?"
"Tolong bantu Pak Brendon ya." Tentu saja, itu ada di kontrak kerjanya, Vanora hanya tersenyum dan mengangguk.
"Oh ya, Pak. Boleh saya tanya satu hal?" Sekretaris menatapnya dengan tunggu, ekspresinya tampak mempersilakan Vanora. "Sejujurnya aneh Pak Brendon ngebet jadi teman saya, kami pernah ketemu satu kali doang, dan ngomongin pun gak panjang lebar di sekolah, gak ada interaksi sejauh itu, Pak. Kenapa dia ... dia pengen banget sama saya?"
Sekretaris Brendon hanya tertawa pelan. "Saya pun kadang kesusahan dengan isi kepala Pak Brendon yang unik." Aneh tepatnya ya? "Tapi setiap tindakan dia, biasanya tindakan dengan alasan sederhana dan ngikutin kata hatinya. Mungkin Ibu gak sadar ada hal yang dari diri Ibu udah mengubah pandangan Pak Brendon."
Tapi apa? Apa Vanora harus bertanya langsung dengan orangnya? Ah ... sudahlah, yang terpenting posisi dan gajinya bagus, ia hanya perlu mengikuti hal-hal yang ada di kontrak bukan memikirkan hal lain. Sekepo apa pun dia saat ini.
"Kita semua harus menjaga Pak Brendon," kata sekretaris Brendon tiba-tiba, tampaknya semua orang yang bersama Brendon posesif sekali pada pria itu. "Mohon bantuannya, ya, Bu Vanora."
Vanora tersenyum kecut. "Baik, Pak."
Lalu ponsel pria itu berdering, ia segera melihat isi ponselnya. "Mm ... Bu, tampaknya hari ini Pak Brendon tak akan kembali ke sini."
Vanora kaget, segitunya kah?
"Ibu ... bisa pulang jika ingin, Pak Brendon bakalan datang lagi besok." Entahlah, Vanora sebenarnya bersyukur mengetahui itu karena Brendon tak akan mengganggu keluarganya sore ini tetapi di satu sisi kasihan juga.
Ia rasa ini karena Brendon pergi tanpa kabar.
Sekarang ia tak ada kerjaan, karena sebagai asisten pribadi yang sebenarnya hanya teman berkedok asisten pribadi. Namun entahlah, kenapa tak bekerja begini? Skill-nya nanti sia-sia, ini hari pertamanya bekerja dan ia ingin bersombong diri dengan pulang sore dan berdalih lelah kerja.
"Pak ... saya ingin membantu Bapak," kata Vanora mantap.
"Apa tidak apa-apa, Bu?" Vanora menggeleng akan pertanyaan itu, ia menawarkan diri bukan disuruh. "Terima kasih ...." Ia tahu pasti sulit menjadi sekretaris Brendon kalau pria itu masih memiliki kebiasaan pergi begini.
Eh tapi kali ini kan dia dipaksa pergi.
Namun tetap saja kasihan, tanggung jawab sebagai atasan jelas sangat besar. Besok akan Vanora pastikan Brendon bekerja keras untuk hal itu!
Menuntaskan pekerjaannya bersama sekretaris Brendon, sore harinya Vanora bisa pulang.
"Terima kasih atas hari ini Bu, Ibu benar-benar hebat!" Skill-nya memang harusnya begini.
"Terima kasih kembali, Pak." Vanora mengangguk, tersipu akan pujian itu.
"Bu, saya sudah menghubungi seseorang biar jemput Ibu, dia nunggu di bawah."
Vanora kaget. "Eh, tak usah repot, Pak."
Sekretaris Brendon hanya tersenyum. "Enggak, memang sudah prosedurnya, Bu. Sampai jumpa lagi, hati-hati di jalan, Bu."
Vanora tersenyum hangat balik. "Baiklah Pak, terima kasih. Saya permisi dulu." Vanora dengan hati gembira karena memakai skill-nya dengan baik mulai berjalan ke arah lift, masuk, dan menekan lantai terbawah.
Dengan anggun wanita itu melangkah keluar dari lift, semua pasang mata menatap ke arahnya dengan pandangan beragam tetapi Vanora tampak tak peduli. Keluar dari bangunan itu, seseorang tiba-tiba memanggil namanya.
"Vanora!" Itu nyatanya teman-temannya, pasti ingin menanyakan soal ia dan Pak Brendon sekarang.
Dan memang benar demikian.
Mereka lumayan kepo juga, atau sangat kepo tepatnya. Namun Vanora segera bilang satu hal saja. Brendon ngebet ingin ia menjadi asisten pribadinya bahkan rela mendatanginya di rumah, jadi ia akhirnya terima saja. Lalu soal pertanyaan lain kebanyakan Vanora tutupi, ada satu sisi yang membuatnya ingin memendam itu semua termasuk ungkapannya yang saat itu memberitahukan Brendon masih stres seperti dulu. Cukup tahu sedikit saja.
Lagipula Vanora akan benar-benar membuat Brendon atasan yang disegani sesuai keinginannya.
"Nora, apa jangan-jangan Brendon ngebet banget kamu jadi sekretaris karena ... dia suka sama kamu?"
Vanora tercengang. Lah?
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

KAMU SEDANG MEMBACA
KOPET BOSS [Brendon Series - Z]
Romansa18+ Vanora Hatadi kenal seorang Brendon Zaylor. Mereka sempat satu SMA, dan Brendon terkenal dengan kehaluan tingkat tinggi karena sindrom chunibyo-nya dan kemudian hilang entah ke mana. Bertahun-tahun berlalu, dan siapa sangka saat melamar kerja Va...