18 • McD To The Rescue •

34 11 0
                                    


💍💍💍

A R R U M  POV

"Sorry, I know i'm whine and very emotional. I just can't handle my self." Ucap ku setelah berusaha keras menguasai dan menenangkan diri sendiri.

Aku sadar Dimas menatapku penuh meski aku tidak membalas tatapan nya, selama aku menangis dia hanya diam dan mengusap bahu ku lembut. Dia tidak menyuruhku untuk berhenti, tidak ada kalimat menyudutkan atau kata yang membuatku tersinggung sama sekali. Aku tahu sahabatku itu bingung, Dimas tidak pernah melihat ku menangis. Sebelumnya, aku bahkan tidak pernah menunjukkan kesedihan ku pada siapa pun termasuk Dimas- lelaki yang kini duduk di sampingku.

"You don't have to say that," jawab Dimas, dia memegang kedua bahu ku, raut wajahnya serius. "It's okay to cry, it's okay to sad. Isn't a mistakes."

Aku mengangguk sembari tersenyum kecil.

"Do you at least feel better now?" Tanya Dimas.

Aku kembali mengangguk, "Iya sedikit, but feel more embarrased karena udah nangis tiba-tiba di depan lo." Jujur ku.

Dimas terkekeh, "Could i be someone you rely on when you're sad?"

Aku sedikit mencerna maksud yang Dimas katakan, "Yes you can, Dimas. But i think i'm not that pathetic."

"Ya, you aren't. You are strong but fragile at the same time." Ucap Dimas yang tanpa berpikir langsung ku beri anggukan tanda setuju atas kalimat nya.

"Ayah sama Ibu flight ke German, besok."

Dimas sedikit terkejut setelah mendengar itu, lalu berusaha menetralkan keterkejutan nya.

"Lo juga?"

Aku menggeleng, "Menurut lo?"

Dimas hanya diam, dia menunggu jawaban spesifik dari ku.

"Kalau gue ikut, gue nggak bakalan nangis kayak tadi, Dim. Gue juga nggak mungkin meninggalkan kuliah gue gitu aja terus ikut cabut ke German." Jelas ku. "Lo tahu? Untuk urusan penting dan konteks nya meninggalkan gue pula, mereka baru bilang malam ini. Sebagai anaknya, am i supposed to normalize that?"

"May i hug you?" Tanya Dimas, mulutku yang sedikit terbuka kembali menutup saat Dimas buru-buru memotong. "As a friend, as your bestfriend."

Aku mengangguk, dan Dimas memelukku. Tidak begitu erat dan kami sedikit berjarak. Dia hanya memeluk bagian bahu karena selebihnya tertahan oleh kedua lutut kami yang menempel.

Kruk.. krucuk...

Aku mengumpat kesal dalam hati, lalu melepas pelukan Dimas lebih dulu dan meringis malu karena perut lapar ku tidak bisa diajak kompromi.

"Wanna eat something?" Tawar Dimas.

"Ke mekdi yuk, sekalian coba menu baru." Ajak ku.

"Oke, ayo." Jawab Dimas mengiyakan.

💍💍💍

"Kebiasaan, itu, tuh sebelah kanan." Aku menunjuk dagu bagian bawah ku sendiri, supaya Dimas tahu kalau saus dan sisa makanan nya menempel di wajahnya.

"Enak." Ucapnya sembari nyengir dan melap bagian wajahnya yang kotor karena sisa makanan lalu melahap kembali burger ukuran sedang itu.

"Ini coba ice cream nya," Aku menyodorkan sendok berukuran sedang ke depan mulutnya yang masih mengunyah burger.

"Enak." Komentarnya sembari manggut-manggut.

"Tapi masih lebih enak chocolate-banana nya Woodies."

Dear, Future HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang