Hari kedua sejak pelatihan bersama Wakil Komandan Pasukan Pengintai dimulai. Saat ini, Samara berdiri di depan para kadet sembari menatap mereka tajam. Kadet-kadet yang masih menjadi remaja menggemaskan itu bahkan tak sanggup hanya sekadar untuk mengangkat wajah. Aura intimidasi Samara terlalu besar.
"Kalian tahu, apa tujuanku melatih kalian berduel dengan tangan kosong?"
Semua terdiam. Mendapati reaksi yang sudah ia duga, mata ungu Samara menelisik setiap wajah para kadet yang tegang. Mata ungunya berhenti pada Jean.
"Kirsctein," panggilnya.
Tubuh Jean bergetar hebat. Ia mendongakkan kepala ketakutan. Hukuman kemarin cukup membuatnya trauma. Begitu mendapati mata ungu yang menatapnya tajam, Jean meneguk ludah.
"Ya, Samara-san?"
"Kau ingin masuk Polisi Militer, kan? Aku akan memberimu pertanyaan." Samara tersenyum tipis ketika wajah Jean memucat. "Jika saat kau berpatroli seorang diri, tiba-tiba kau melihat aksi perampokan. Sementara kau tidak membawa 3D Manuver Gear. Apa yang akan kau lakukan?"
Jean terdiam. Namun, tak lama ia menjawab dengan yakin. "Saya akan menyelamatkan korban."
Alis Samara terangkat. "Hooo," beonya. Satu kata yang membuat rasa percaya diri Jean lenyap bagai dimakan titan. "Berani sekali. Tapi, bagaimana jika pelakunya lebih dari tiga orang? Yakin?"
Jean tertunduk.
Samara menghela napas. Mata ungunya beralih pada para kadet. "Beladiri memang penting. Sekalipun nanti kalian akan selalu membawa 3D Manuver Gear saat bertugas." Mata Samara berkilat. "Karena pada dasarnya, lawan kalian adalah manusia. Selama ada manusia, selalu ada pertikaian."
Semua kadet mendengarkan dengan saksama. Tidak ada yang berani menyela. Sosok Samara memiliki wibawa tersendiri hingga membuat mereka segan, termasuk trio Shiganshina.
"Baiklah, latihan duel akan kita mulai. Sebelum itu, kalian pemanasan lebih dulu. Lari keliling lapangan 15 kali putaran!"
Para kadet memberi hormat sekilas sebelum melakukan pemanasan. Mata ungu Samara mengamati calon-calon prajurit itu. Ia sudah menerima rinciannya dari Keith Shadis. Namun, ia tetap ingin memiliki penilaian tersendiri.
Duel dimulai tak lama setelah pemanasan. Beberapa dari mereka memiliki dasar-dasar beladiri yang baik. Mata ungu Samara terpaku pada Annie Leonhart yang tak lebih dari dua menit sudah membuat Marco Bott tumbang. Ia tersenyum tipis. Annie memang hebat.
Samara melangkahkan kaki mendekati Annie, membuat semua kadet di sekitar gadis pirang itu menjauh, memberikan jalan.
"Hebat, Annie." Samara berdiri tepat di depan Annie. Ia mengatakan sesuatu yang membuat mata Annie melebar. "Sekarang, biarkan aku mengujimu. Lawan aku, Annie, dan jangan menahan diri!"
Semua latihan para kadet terhenti. Mereka memilih melihat duel antara Samara dan Annie. Duel keduanya berlangsung lebih dari sepuluh menit. Jual beli pukulan tidak terhindarkan. Berkali-kali Annie berusaha menghindari pukulan dan tendangan dari Samara yang menguasai taekwondo. Duel itu berakhir dengan Annie yang terbanting dengan keras ke tanah. Cepolan rambutnya lepas.
Samara mengatur napasnya sebelum membantu Annie berdiri. Merogoh saku, ia mengambil saputangan dan mengusap wajah Annie yang kotor.
"Maafkan aku yang sudah terlalu keras."
Annie menggeleng dengan ekspresi datar. "Tidak apa-apa, Samara-san."
Samara mengalihkan pandangannya. Matanya mendelik dan ia berteriak.
"Siapa yang menyuruh kalian berhenti, hah?"
***
Bulan menggantikan tugas sang baskara yang terbenam. Langit hari ini mendung, sekalipun hal itu tak bisa membuat bulan tak menampakkan diri. Semilir angin malam membuat Samara bergidik. Mengeratkan selimut tipis yang menutupi tubuh atasnya, ia berjalan di sekitar area pelatihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite The Destiny [Attack On Titan]
Fanfiction[ON HOLD] Menjadi dokter di usia muda, membuat Samara Narendra memegang tanggung jawab besar. Ia bekerja di salah satu rumah sakit terbesar di Surabaya dan menjadi dokter favorit di sana. Namun, nahas, Samara harus merelakan nyawanya demi melindungi...