Minggu

718 91 24
                                    

PADA HARI MINGGU:
KITA KENALAN DULU

PADA HARI MINGGU:KITA KENALAN DULU

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kenalin, namanya Ryujin. Umur 15 tahun. Zodiak Aries. Golongan darah O. Tingginya sekitar 160 sentimeteran, sementara berat badan ... cukup Tuhan saja yang tahu, kamu jangan. Intinya mah, berat, euy—Dilan pun enggak akan kuat. Di lingkar pertemanannya, biasanya dia dipanggil 'Ryu'—biar keren dan kekinian banget gitu, loh; sedangkan di rumah, dia kerap dipanggil 'Adek' buat menegaskan titel sebagai adik bungsu, kendati abangnya yang kurang ajar lebih sering menyebutnya 'Inong', 'Nongnong', 'Jenong' dan kata turunan nong-nong-nong lainnya; tetapi khusus hari Minggu, cukup sebut saja dia ....

"Inem!"

Iya. Seperti itu. Hmm.

Dengan rambut dicepol asal-asalan, berbalut sepotong baju tidur longgar tanpa lengan, dan tentunya belum mandi, si Inem ogah-ogahan keluar rumah sambil menenteng setengah ember air dan menyeret gagang pel. Tugas pertamanya hari ini adalah mengepel teras sampai bersih. Dan 'bersih' dalam kamus Ibun sama artinya dengan: kinclong cling-cling hingga bisa dipakai berkaca. Buset, deh.

Padahal Ryujin ngantuk sengantuk-ngantuknya. Semalam dia kurang tidur gara-gara begadang menamatkan bacaan novel barunya yang setebal catatan dosa.

Kelopaknya ditutup-buka berkali-kali buat memfokuskan netra, tapi enggak berhasil sama sekali. Hingga akhirnya, matanya menyerah. Keduanya terpejam. Selama beberapa jenak, yang dia lakukan adalah berdiri sambil memaju-mundurkan kain pel secara asal-asalan.

"Kalo kerja yang bener dong, Nem!" protes Ayah. "Punten dulu kek, apa kek. Kaki Ayah ditubruk-tubruk aja," cerocosnya. Ia mendelik. Bibirnya maju beberapa senti dan tidak kunjung mundur walaupun sambil mengunyah bala-bala.

Sembari membuka mata, Ryujin menaikkan alis sebagai isyarat bertanya. Dia lalu melirik kerjaannya. Ternyata, pel-nya beberapa kali menabrak kaki Ayah yang sedang duduk di kursi rotan. Mulutnya praktis menggumam, "Maaf atuh, Yah." sambil cecengesan.

Kain pel dimasukkan ke dalam ember, gagangnya bersandar di dinding. Dia berjongkok di depan meja dan mulai mencomot bubuk gorengan di piring. Sesekali juga menyeruput kopi susu milik bapaknya buat menghilangkan sedikit kantuk yang masih bergelayut.

"Tumbenan amat udah rapi," katanya. Pasalnya, jam segini biasanya Ayah masih kucel dalam balutan kaus oblong butut dan kain sarung Woahdidmore hijau kombinasi garis hitam andalannya. "Siapa yang mau nikah?"

"Ayah."

Ryujin mencureng. Tatapan matanya otomatis menyiratkan sorot ngajak baku hantam. "Sama siapa?" Nadanya sewot dong, permisah.

Otaknya yang doyan berimajinasi berlebihan praktis memproyeksi adegan-adegan seandainya dia punya ibu tiri. Woah. Mampus, sih. Jadi anak kandung Ibun saja namanya sudah berganti jadi Inem, apalagi oleh ibu tirinya. Pasti Ryujin akan bertransformasi jadi Ningsih. Atau Ijah. Bisa jadi juga Juleha. Atau justru Cinderella?

7 Hari SemingguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang