langit petang ini warnanya biru.
biru seperti kain kemeja favoritku. seperti ketel yang kupakai menjerang air untuk menjamumu. kamu mau secangkir teh atau kopi susu? aku tahu belakangan kamu tidak minum kopi sebanyak dulu—tidak apa-apa, justru bagus untuk kesehatanmu. atau, kamu mau kubelikan segelas jus jambu?
ah. hati-hati. teh melati itu kamu aduk terlalu kencang sampai tumpah sedikit ke lantai. biar aku bereskan. apa, sih, yang sedang kamu perhatikan? iya, ada apa di luar sana? langit petang, kamu bilang? benar, warnanya biru seperti malam yang diimpikan seniman abad pencerahan. tapi, kamu yakin itu memang langit petang? kamu yakin, warna itu tidak terlalu mirip subuh paling gelap yang pernah kamu renungkan? lihat, bayangan pepohonan itu pun jatuh tak ubahnya burung hantu yang menekur pada suatu cabang. kita duduk di teras rumahku yang lampunya dikerumuni koloni serangga, yang kursi rotannya dipenuhi bekas rayap dan taplak mejanya lupa tak kucuci sejak tiga bulan lalu. rasanya seperti deja vu, ya? rasanya seperti tidak pernah ada yang berubah. aku dan kamu. tetapi rambutmu kini sedikit lebih panjang dan kamu tak lagi minum kopi sebanyak dulu. kamu bilang, mataku jadi jauh lebih sendu. aku senang kamu masih di sini, tambahmu. dan kupikir tak ada lagi yang kuinginkan di dunia selain duduk bercengkrama denganmu.
langit petang ini warnanya biru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abschied
Cerita Pendekbefriending proses and short stories whilst depicting them as a melancholic farewell cover oleh Jessie Willcox Smith