BAB 4 ~ Dua Tangan Berkarya, Seribu Mulut Berbicara

21 4 0
                                    

Bahagia bukan soal hidup sempurna dan punya segalanya, melainkan bersyukur saat kita bisa menikmati setiap detik hidup dan apa yang sudah kita punya. Pukul tujuh pagi, tepatnya hari sabtu hari ini. Gita sudah berdiri didepan rumah mode design buatan rumahan. PRAMOEDYA. Tapi tak bisa dikatakan kecil juga karena cukup luas didalamnya setelah ia masuk. Gita menengok ke kanan dan melihat wanita yang sedang berbicara dengan anak muda yang masih seumurannya. Kalau dilihat dengan meteran gulung yang dikalungkan dilehernya. Dia juga seorang karyawan di rumah mode ini berarti.

"Kau gadis yang Bobi rekomendasi ?" kata wanita 35 tahunan itu. "Yess madam". Jawaban Gita membuat wanita itu sedikit melototkan matanya. Gita memperhatikan pria muda tadi sewaktu selesai dan menjawab percakapan terakhir dengan wanita itu. Gita memang tak menyangka lahir dengan bakat yang selalu mengamati orang lain. Setidaknya itu berguna untuk membantu menyelesaikan persoalannya. "Good is your attitude. I like you." Kata wanita itu. " Thank you madam". Gita sambil menundukan kepala. "You bisa jalan kesana. Ambil buku sketsa. Buat design yang you bisa. Tiga puluh menit lagi you ikut kumpul diruangan saya". Kata wanita itu. "What ???". Gita kaget dan senam jantung pagi ini. Tiga puluh menit ? Apa yang bisa dibuat dalam waktu yang sesingkat itu ? Wanita itu sudah berlalu sewaktu Gita melamun merespon perintahnya. Gita tersadar dan wanita itu sudah hilang dari hadapannya. Segera dia mengambil buku sketsa diujung ruangan dan..." Kau bisa duduk disini. Ini mejamu. Aku Wendi". Kata anak muda yang tadi ia lihat sebelumnya. Jadi namanya Wendi. Dia juga berbakat sepertinya. "Aku Gita". "Kau bisa membuat sketsa dalam 30 menit ?". Tanya Wendi masih penasaran karena tak sengaja tadi mendengar perintah wanita itu. "Aku juga tak tau Wen, ujian sekolah satu jam tiga puluh menit. Ini tiga puluh menit". Gita merespon sambil duduk dan mencorat-coret sketsa. "Good luck. Don't be panic. Kau bisa corat-coret yang penting ada gambar badan,tangan, dan leher. Ok". Wendi mencoba menenangkan. Padahal Gita juga nampak tenang walaupun sebenarnya tegang."Miss Diana, memang sudah biasa dengan cak cek cak cek. Sat set sat set. Gedebag gedebug". Wendi sambil menggerakan penggaris ditangannya yang membuat gita tersenyum pagi ini karena tingkahnya yang lucu. " Kau harus tau juga kalau kau beruntung. Pertama datang langsung diminta gambar sketsa. Aku... pertama datang diminta membersihkan pintu dan putar tulisan BUKA TUTUP ". Wendi nampaknya curhat kenangan buruknya. "Aku jujur iri denganmu. Tapi kau tak boleh membenciku. OK ?". "Okay". Jawab Gita singkat sambil menyelesaikan sketsanya. "Siapa saja pasti iri kan ? Kau datang baru buka pintu langsung duduk. Tapi aku tak bisa iri karena kau cantik. Jelas kau menarik. Kau oplas atau asli ?". Kata Wendi malah lucu membuat Gita senyum sambil mencoret sketsanya. "Asli. Alami. Kau lucu". Lugas Gita. " Lucu sudah biasa. Aku...apa ya istilahnya. Aku lupa. Yah sudahlah. Tak biasa dengan bahasa belibet. Lidahku kurang cocok. Otakku juga not responding. Menghadapi Miss Diana setiap hari sudah buat overtinking. Apalagi ditambah ini itu. Overload otakku". Wendi menjelaskan dengan gestur yang bak pembaca narasi mungkin kalah. Tangannya bak komposer."Hmmmm. Kau Wen..kau lucu".Gita tertawa melihat kelakuan Wendi. "Kau tau Miss Diana suka berondong muda ? Dia tampan, tapi...yah sayangnya suka dengan wanita tua". Wendi malah mengajak bergosip-ria pagi ini. "Hmmmm". Gita merespon dengan berdeham saja membuat Wendi masih terus melanjutkan." Pria itu yah.. kalau datang pasti semua gadis dari ujung kamar mandi dipojok sana sampai tukang jahit dipojok sana. Semua pasti ujungnya gak kerja. Gak beres, entah menggunakan ilmu hipnotis macam apa dia. Kok bisa semua jadi begitu ? Padahal dia biasa saja".Penggaris ditangan Wendi sangat berfungsi untuk menunjuk kesana kemari. "Itu menurutmu. Menurut mereka ?" Jawab Gita tanpa melihat dan masih fokus pada sketsanya. "Yah juga ya ? Nanti kau pasti bertemu dia. Aku akan kembali dan tanya nanti. Apa rasanya sewaktu melihat pria itu ? Merinding, deg deg-an,deg-deg ser atau apalah istilahnya ? Nanti aku kesini lagi. Aku harus buat kopi sebelum tidur. Sampai ketemu lagi nanti" Kata terakhir sebelun dia menghilang dan membuat suasana hening sebentar.

"All, come here!". Kata wanita tua itu muncul dari balik pintu. Semua yang tadinya duduk dan menggambar sketsa langsung berdiri dan bergegas masuk ruangan. Gita ikut berdiri. Mengikuti mereka. Dia dibarisan paling akhir masuk. Membuka pintu. MASUK. Menutup pintu. Gita kaget. Ruangan apa ini ?. Diruangan itu ada manekin-manekin yang dibalut gaun yang Gita tau itu design yang tak biasa dan pastinya itu..."You. Beauty lady. Come here!" kata wanita tua itu menunjuk Gita. "Me?" Gita menengok." Yah you. Langsing. Jaket Levi's. Celana jeans. Topi Polo. Come here. Mana sketsa you". Wanita itu meminta sketsa yang diminta. "Ini mada..." belum menyelesaikan kata-katanya wanita itu memotong kata-katanya dan langsung mengambil sketsa ditangannya. "You're smart. Apa tema gaun ini ?" wanita itu menanyakan apa maksud dibalik coretan Gita itu. "Red Rose Gown". "Mawar. Kau tau cocok untuk musim ini. Kau selesaikan sketsanya. Minggu depan kau bawa gaun itu kemari. I want it dan get it." Kata terakhir itu membuat Gita masih tak percaya sketsa singkat gaun rancangannya diakui. "You boleh keluar. Bawa ini dan Bawa gaunnya Sabtu pagi sebelum pukul delapan sudah ada diruangan ini. I don't wanna know.". Wanita tua itu ternyata lebih dari yang Gita kira. Astaga semuanya dipatok waktu disini. Gita membuka pintu dan keluar.

Cerita GitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang