Ayah~ Bunda~

2.2K 269 82
                                    

Gempa mengerjapkan kedua matanya. Pukul 4 pagi, dia sudah biasa bangun sepagi ini. Matanya memindai sekeliling--menyesuaikan cahaya yang masuk. Baru saja ingin berdiri, Gempa merasakan pelukan yang semakin erat di pinggangnya. Dia baru sadar bahwa dirinya tertidur di atas sofa bersama Halilintar.

Kenapa Abang nggak angkat Gem ke kamar? Pertanyaan itu sukses membuat Gempa kebingungan. Apa dia semakin berat sehingga Halilintar tidak mampu lagi menggendongnya ke kamar? Hm, sepertinya itu tidak mungkin. Gempa tahu betul seberapa bucinnya Halilintar terhadap dirinya.

"Abang, lepas dulu. Gem mau--"

"J-jangan pergi," ucap Halilintar parau. Dia semakin mengeratkan pelukannya.

Aneh. Gempa tahu Halilintar manja kepadanya, tapi Halilintar jarang sekali seperti ini.

Tunggu dulu, apa jangan-jangan Abang sakit?

Gempa buru-buru meletakkan punggung tangannya ke kening Halilintar. Benar saja, Halilintar demam sekarang. Pasti Halilintar tidak makan semalam, terlebih dia tidak memakai jaketnya saat pulang karena jaket miliknya yang dipakai oleh Gempa.

"Abang, lepas bentar ya. Gem perlu ke kamar mandi bentar. Gem balik lagi kok," bujuk Gempa.

"Nggak mau," jawab Halilintar.

Huh, ini tidak akan mudah. Halilintar tidak akan mau ditinggalkan oleh Gempa barang sedetikpun, tapi sungguh, Gempa benar-benar perlu ke kamar mandi sekarang.

"Sebentar saja, Abang. Gem balik lagi kok," bujuk Gempa kembali.

"Jangan lama-lama," ucap Halilintar dengan suara yang semakin serak itu.

Gempa mengganguk, dia membantu Halilintar untuk kembali tidur di sofa itu. Gempa kemudian menyelimuti Halilintar dengan selimut yang dipakainya sejak semalam.

Gempa lalu mengambil ponselnya di meja itu, mengetikkan beberapa digit angka yang memanggil seseorang di seberang sana.

"Halo. Assalamualaikum, Bunda."

"Waalaikumsalam, Adek. Ada apa hm sampai telepon Bunda jam segini?"

"Bun~ Abang Lintar demam," kata Gempa lesuh.

"Loh? Kok bisa? Lintar darimana emangnya kemarin, Dek? Dia telat makan?"

"Kemarin hujan disini, Bun. Adek kedinginan karena nunggu hujan berhenti. Terus Abang kasih jaketnya untuk Adek. Abang nolak pakai jaketnya lagi waktu pulang, terus Abang juga nggak makan tadi malam, Bun."

Gempa menatap Halilintar sendu. Kalau saja dia tidak selemah itu, pasti Halilintar akan baik-baik saja.

"Bun~ Bunda sama Ayah pulang ya. Abang juga pasti rindu sama kalian."

"Ya sudah, nanti Bunda bilang ke Ayah untuk pulang ya."

"Serius, Bunda?"

"Adek~ kenapa lama disana?"

Suara serak Halilintar terdengar. Sang Bunda pun terkekeh pelan karena suara Halilintar itu. Anaknya memang tidak pernah berubah.

"Serius, Dek. Bunda juga rindu sama kalian. Jagain Abang sampai Bunda dan Ayah tiba disana."

"Baik, Bunda. Hati-hati di jalan ya. Titip salam buat Ayah. Adek sayang kalian!"

"Bunda juga sayang, Gempa. Bunda tutup dulu ya. Assalamualaikum, Gempa."

"Waalaikumsalam, Bunda."

Sambungan itu terputus. Gempa segera masuk ke dalam kamar mandi--mengabaikan teriakan Halilintar yang mulai merengek karena ditinggal Gempa terlalu lama.

"Adek~ Uhuk! Uhuk! Adek~"

Buru-buru Gempa mendekati Halilintar. Dia juga membawa segelas air hangat untuk Halilintar. Halilintar yang sadar bahwa Gempa telah kembali langsung memeluk adik kecilnya itu.

"Jangan pergi kemana-mana, Gempa."

Suara Halilintar benar-benar serak. Gempa menghela napas, Halilintar yang terkenal dengan sifat dinginnya kini berubah menjadi seorang bayi besar. Gempa mengelus pelan punggung Halilintar. Membiarkan Halilintar tetap memeluknya. Setidaknya sampai Halilintar benar-benar tertidur dan Bundanya sampai disini.

"Jangan sakit-sakit Abang. Nanti nggak ada yang jagain Gem nantinya," kata Gempa pelan. Halilintar hanya menggangguk pelan. Dia menyembunyikan wajahnya di perut Gempa.

"Abang istirahat lagi ya, Gem bakalan disini untuk Abang."

Halilintar tidak menjawab, dia hanya mengeratkan pelukannya. Gempa tetap mengelus pelan punggung Halilintar, berharap Halilintar akan segera tertidur.

Menit demi menit berlalu, deru napas Halilintar mulai teratur. Pelukannya juga mulai merenggang. Gempa pelan-pelan melepas pelukan Halilintar di pinggangnya. Sedikit demi sedikit bergeser dan mengganti sandaran Halilintar dengan sebuah bantal.

"Jangan sakit lagi cuma karena Gem, Abang. Lain kali prioritaskan kesehatanmu dulu," gumam Gempa pelan. Dia kembali menaikkan selimut itu sampai menutupi badan Halilintar.

Gempa perlahan menuju ke dapur. Dia akan membuat bubur untuk Halilintar. Dia tahu Halilintar akan susah makan jika sedang sakit, dan dia tidak mau makan apapun jika bukan Gempa yang membuatnya.

Jam itu kini menunjukkan pukul lima lewat. Adzan subuh mulai berkumandang. Gempa mematikan kompor itu. Pas sekali buburnya telah jadi. Gempa beranjak menuju kamarnya. Dia harus mandi dan shalat subuh. Satu per satu anak tangga dinaikinya, sekilas dia melihat Halilintar yang masih tertidur. Dia tersenyum kecil lalu kembali menuju ke kamarnya.

Disisi lain, Amato dan istrinya sudah sampai di rumah kecil milik kedua anaknya. Entah bagaimana Amato dan istrinya bisa sampai di rumah itu dalam beberapa jam saja. Daddy Tomato bisa melakukan apapun tentunya.

Walaupun Amato selalu berkata 'Berdikari' kepada Halilintar dan Gempa, tetap saja Amato tidak akan tega melihat anaknya jatuh sakit. Terlebih lagi jika Halilintar yang sakit. Nampaknya saja Amato begitu perhatian dengan Gempa sampai-sampai orang mengira bahwa hubungan antara Amato dengan Halilintar sangat renggang.

Tapi nyatanya tidak seperti itu. Walaupun Halilintar cukup durhaka kepada Amato, namun bagi Amato, Halilintar hanyalah bocah cilik yang sangat suka mencabuti bulu kakinya dan selalu berusaha menjauhkan Gempa darinya. Dia sangat menyanyangi Halilintar. Tidak akan pernah berubah sampai kapanpun. Halilintar ataupun Gempa, Amato akan selalu menyayangi kedua anaknya itu.

"Ayo, Bun! Pasti Lintar rindu dengan Ayahnya ini!"

Mara hanya tersenyum melihat tingkah Amato. Tapi yang diucapkan oleh Amato memang benar terlebih jika Halilintar sedang sakit. Biasanya jika mereka bertemu diwaktu Halilintar sedang sehat, bukan tidak mungkin mereka berdua akan guling-gulingan di lantai hanya demi berebut Gempa.

"Ya, dia memang anak Ayah. Mirip sekali denganmu, suka sekali bersikap seperti anak kecil," ucap Mara sembari tertawa.

"Bukankan menggemaskan jika aku bersikap seperti anak kecil? Hei, terlalu dewasa juga tidak bagus!"

PLAK!

"Ingat umurmu, Tuan Amato Dezio Aldebaran. Ingat umurmu!"

Mara segera pergi meninggalkan Amato yang masih memegangi pipinya yang terasa begitu panas. Namun setelahnya dia tersenyum kecil. Tamparan itu mengingatkan dirinya dengan tamparan Halilintar umur 3 tahun.

"Ternyata Halilintar memang anakku," gumam Amato lalu mengikuti Mara yang sudah cukup jauh di depannya.

╔ 《To be continued》 ╝

Childish | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang