SATU-Aliza Lluvia

2 0 0
                                    

Suara jam weker itu sudah berbunyi berkali-kali, gadis berambut lurus panjang itu masih berada dibalik selimutnya. Udara terasa sangat dingin saat ini, mungkin karena diluar sedang Hujan. Entahlah.

"Lluvia! Bangun sayang! Emangnya kamu nggak sekolah?" Terdengar teriakan dari balik pintu kamar gadis itu—Lluvia.

Lluvia mulai mengerjapkan matanya dan keluar dari balik selimut, dengan langkah gontai ia membuka knop pintu perlahan. Wanita setengah tua yang berada dibalik pintu itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan anak gadis semata wayangnya ini.

"Apa sih bun? Diluar hujan, Via males sekolah." Ucap Lluvia enteng. Wanita setengah tua yang disebut Bunda itu melotot mendengar perkataan anaknya barusan.

"Apa kamu bilang?" Rena—Bunda Lluvia— menghampiri Lluvia yang kembali menjatuhkan tubuhnya malas di atas kasur empuknya. "Cepetan bangun abis itu mandi! Bunda tunggu di meja makan" Sambung Rena.

"Hm," Lluvia mengerang malas. "Sekarang Via!!" Tukas Rena volume suaranya naik beberapa oktav.

Lluvia terlonjak kaget dan segera bangun dari kemalasannya itu. Segera bersiap-siap untuk berangkat sekolah.

***

Lluvia telah siap dengan seragam putih abu-abunya, tas berwarna navy yang ia sangkutkan di pundaknya, dan tangan kirinya yang menenteng sepatu. Seperti biasa, rambutnya ia ikat buntut kuda.

"Aduh, anak gadis ayah lemes banget, sih.." Ucap lelaki berkacamata yang sedang menghabiskan sarapannya.

"Via harus banget sekolah ya hari ini? Nggak boleh sehari aja Via bolos." Balas Lluvia. "Nggak, Via! Ini cepetan makan rotinya." Balas sang Bunda.

Lluvia segera mengambil sepotong roti dan mengoleskan selai cokelat kesukaannya. "Via lagi males banget hari ini gara-gara hujan."

"Hujan itu berkah, Via. Nggak boleh ngeluh! Masa kamu kalah sama hujan sih?" Tanya sang Ayah.

"Ya nggak apa-apa, dari pada Via harus basah kena hujan." Kesal Lluvia sambil melahap rotinya.

"Kan kamu naik mobil sama Ayah, nggak kehujanan dong?"

"Iyaa, tapi kan nanti pas turun dari mobil pasti kehujanan."

"Via, kamu tuh banyak alesan ya? Di luar sana banyak loh yang mau sekolah seperti kamu, dan kamu yang udah enak bisa sekolah masih aja males-malesan cuma gara-gara hujan." Jelas sang Bunda panjang lebar. "Udah buruan habisin rotinya, keburu terlambat nanti."

***

"Makasih, Ayah. Hati-hati di jalan ya." Lluvia mencium punggung tangan Ayahnya dan segera membuka pintu mobil. "Kamu nggak pake payung? Dari sini ke koridor kan lumayan jauh, Via." Ujar sang Ayah sesaat setelah Lluvia membuka pintu mobil tanpa memegang payung.

"Nggak usah, Yah. Ribet. Lagian hujannya tinggal gerimis aja, kok." Lluvia turun dari dalam mobilnya. "Daaah Ayah!" Ucapnya sesaat setelah menutup pintu mobil.

"Aneh juga anak ini, tadi katanya nggak mau kehujanan." Gumam sang Ayah.

Lluvia segera berlari sekuat tenaga melawan gerimis untuk bisa sampai di koridor sekolahnya, jarak dari tempatnya turun dari mobil menuju koridor sekolah memanglah cukup jauh, dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

'bruk'

Lluvia terjatuh akibat benturan oleh seseorang yang juga sedang berlari melawan hujan. "Eh Sorry, gue nggak ngeliat." Lelaki itu mengulurkan tangannya membantu Lluvia untuk berdiri.

Lluvia menerima uluran tangan lelaki itu, "Hati-hati, dong! Gara-gara lo baju gue jadi kotor begini." Ketus Lluvia meratapi nasibnya. Rok abu-abunya kotor karena bersatu dengan paving block sekolah yang basah.

"Maaf. Gue nggak liat jalanan pas tadi lari." balas Lelaki itu. "Terus lo liat apa? Liat langit? Liat pohon? Lo tuh nggak lagi terbang, apalagi manjat. Lo tuh lagi jalan, lo harus liat jalanan dong!"

"Iya, gue tadi liat langit. Soalnya langitnya indah sih, kayak lo." Lelaki itu menyunggingkan senyuman diakhir ucapannya. "A-apaan sih! Udah ah gue mau ke kelas." Lluvia salting dibuatnya.

Lluvia berlari meninggalkan lelaki itu, ia menuju toilet sekolah untuk membenahi penampilannya.

"Tuh kan kotor.." Keluh nya sambil mengelap rok abu-abu nya dengan tissue yang ia punya. "Gini nih yang gue malesin, bener aja kan, bikin ribet!"

***

Lluvia memasuki ruang kelasnya, meletakkan tas biru navy nya di meja dan segera duduk. "Kusut banget muka lu, Vi!" Seru Marsha, teman sebangku Lluvia.

"Kesel banget gue! Liat nih!" Lluvia menunjukkan rok abu-abunya yang basah dan kotor.

Marsha menertawainya, "Hahaha, lo jatoh? Apa gimana?" Tanya Marsha disela-sela tawanya. "Iihhh kok lu malah ngetawain gue sih!"

"Abisnya lucu sih, haha. Sorry deh sorry."

"Tadi pas gue lari mau ke koridor, ada yang nabrak gue, jatoh lah gue."

"Siapa emang?"

"Mana gue tau!"

"Cewek kelas mana?"

"Anak cowok bukan cewek."

"Ganteng nggak?"

"Ah tau ah, nggak pernah beres gue ngomong sama lu, Sha!"

***

Bel pertanda pulang sekolah telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Tetapi Lluvia masih berada di kelasnya, ia tak sendirian, banyak dari teman sekelasnya yang juga masih berada di kelas untuk menunggu hujan reda. Sepertinya musim hujan datang lebih awal tahun ini.

"Lo nggak balik?" Tanya Marsha. "Masih deres, Sha. Emangnya lo udah mau balik?" Lluvia balik bertanya.

"Iya. Nyokap gue udah jemput. Apa lo mau bareng?" Marsha bangkit dari duduknya dan memakai tasnya. "Nggak usah deh, Sha. Kita beda arah"

"Yaudah gue duluan ya, lo hati-hati nanti pulangnya." Marsha berlalu meninggalkan Lluvia yang masih duduk dibangkunya. Lluvia mengangguk.

***

Lluvia berjalan menelusuri koridor sekolah, "Balik naik apa gue? Mana Bunda lagi pergi, nggak bisa minta jemput deh." Selama ia berjalan hanya itu yang terlintas dibenaknya. Mau pulang naik apa?

"Bareng gue aja, yuk?" Lelaki itu. Lelaki yang sudah membuatnya terjatuh tadi pagi, "Mau ngapain sih lo?" Lluvia ketus.

"Galak banget sih? Gue cuma mau nganterin lo pulang aja, kok. Mau ya?" Lelaki itu terus membuntuti langkah Lluvia yang semakin cepat. "Anggep aja sebagai permintaan maaf gue ke lo, udah bikin lo jatoh dan rok lo jadi kotor. Ya?"

Lluvia menghentikan langkahnya. Kalau dipikir-pikir, apa salahnya ia menerima tawaran lelaki itu?

"Oke." Ujar Lluvia mengiyakan. 

PETRICHORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang