Selamat Tinggal

14 0 0
                                    

Sinar matahari mulai merambah ke sela-sela jendela kamar bernuansa minimalis, menyinari rambut cokelat kehitaman seorang perempuan yang sedang tidur pulas. Suara burung pun mulai berkicau samar-samar tandanya hari sudah pagi.

"Kak, ayo bangun! Sarapan gih, hari ini kan kita mau pergi. Buruan," ucap adiknya.

"Aduhh, bentar lagi. Masih ngantuk berat ini," dia menarik selimut sampai menutupi sekujur tubuhnya. "Lima menit lagi, deh!"

"Kebiasaan!"

"Biyya, sarapan, Nak," ibunya memanggil sembari menuangkan air kedalam gelas.

"Sebentar lagi, Bu."

"Bi, kamu itu udah harus membereskan pakaianmun, loh. Besok kamu udah harus kembali ke Palembang toh?" melangkah masuk ke kamar dan ia mendekati anaknya sembari mengelus kepala Biyya.

"Iya, Ayah. Siap!" beranjak duduk Biyya ngulet dan menguap.

Selalu mendapatkan perlakuan manis dari sang Ayah dari kecil, Biyya seolah tidak pernah membantah apa yang diucapkan ayah kepadanya. Iyakan dulu saja.

"Kamu mau ke mana hari ini? Jalan-jalan? Makan? Beli baju atau sepatu? Tenang, ada Ayah yang siap antarin kamu."

"Kedengarannya asyik!"

"Asyiikk! Kalau jalan-jalan dan shopping. Ayah aku juga mau sepatu, dong! Sepatuku udah lama ga diganti. Hehehe. boleh kan, Yah?"

Kamar Biyya tepat berhadapan dengan meja makan. Audi pun menyaut seolah menguping percakapan antara keduanya.

"Siap, boleh dong! Apa yang enggak boleh buat anak-anak Ayah," menuju meja makan lalu mengelus rambut anak keduanya itu.

Menghampiri meja makan dengan handuk yang masih terlilit di kepalanya.

"Selamat pagi semua... Wah wah, Ibu masak sate klopo kesukaanku, ya?" ucap Biyya.

Seperti 10 tahun gak lihat sate klopo matanya melotot, mulutnya terbuka lebar, akhirnya Biyya bisa makan sate klopo khusus buatan ibunya. Padahal, baru 6 bulan dia tidak makan masakan ibunya, tapi serasa bertahun tahun tidak makan.

"Habisin tuh biar gendutan dikit kek," ucap Audi sambil nyinyirin kakaknya sambil mengiris ayam di piring makannya dengan konsentrasi.

Berdebat dengan Audi adalah makanan sehari harinya.

"Biarin, aku udah cantik kok begini. Ga gendut, ga juga kurus-kurus banget. Ya kan, Yaah?"

Masih dengan posisi berdiri disebelah kursi, seolah memaksa ayahnya untuk mengiyakan pertanyaannya dengan memutarkan badannya seperti Cinderella yang habis tampil di atas panggung, melebarkan bibir lalu mengedipkan mata.

"Wes wes. Iyoo, mau gendut mau kurus sek, kalian tuh anak Ibu yang paling cantik. Iya toh, Pak?" menyedok nasi lalu menaruhnya ke piring suaminya itu.

"Wes, makan. Keburu sate kesukaanmu itu digerumbulin semut," ucap ibunya sambil tersenyum menunjuk sate klopo.

"Bagaimana kuliahmu, Nak? Lancar?" menuangkan nasi ke dalam pirirng anaknya itu.

"Lancar, Bu. Alhamdulillah, nilai aku juga bagus semester ini," sambil menggigit sate kesukaannya itu dengan lahap.

***

Suara klakson mobil terdengar nyaring di telinga dia. Biyya menyaut suara klakson itu dari dalam kamar menuju ke luar rumah dengan wajah terburu-buru ke arah mobil. Tak lupa roll rambut masih lekat di atas jidat.

"Iya, iya. Sebentar, ini Biyya udah siap kok, Ayah,"

Ayahnya mengerucutkan bibir lalu menggelengkan kepalanya.

99 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang