Langit begitu cerah di hari itu, untuk seorang Dafi Anugerah. Cowok tinggi berkulit putih dan berwajah tegas sedang berdiri di sebuah Coffee shop. Dibukanya pintu Coffee shop itu, membalik tulisan yang ada di belakang pintu kaca bertanda close menjadi open. Dia mengambil remot AC dan menghidupkannya. Dafi mengambil apron putih lalu mengikat tali itu ke pinggang dan memakainya dan yang tidak pernah tinggal yaitu topi hitamnya.
Seperti biasa, yang pertama kali ia lakukan sebelum beraktivitas, menghidupkan lagu Sheila On 7. Dia mengambil kemoceng kemudian membersihkan debu di seluruh meja serta kursi-kursi di Coffee shop yang tidak begitu besar. Coffee shop yang minimalis bernuansa putih hitam dan nyaman u ntuk Dafi menghabiskan hari-harinya sebagai barista. Dafi yang ingin desain coffee shop nya berwarna putih dan hitam. Coffee shop adalah sebuah tempat yang nyaman, minimalis dengan interior.
Suara motor yang tidak asing lagi di telinga Dafi, cowok berkulit hitam manis itu memberhentikan motornya di parkiran samping Coffee shop. Melepas hoodie lalu melangkah masuk ke dalam Coffee shop.
"Hey, bro!" Dafi melihat Akbar membuka pintu.
"Hey, morning! Gimana Daf keputusan lo? Jadi ngikut papa lo?" tanya Akbar sembari memakai apron juga.
"Ya engga lah. Gue tetep mau buka usaha Coffee shop ini. Udah hampir 2 tahun, bro," ujar Dafi dengan wajah tegasnya menjawab pertanyaan Akbar.
"Iya, sih. Setidaknya gue masih bisa kerja di sini," jawab Akbar meringis tersenyum.
"Yaa elah. Tuh, ada pembeli!" Dafi menyeringai dan menepuk pundak Akbar.
Akbar segera memberi menu, sedangkan Dafi masih melanjutkan menata semua peralatan.
"Espressonya satu, Mas," kata seorang laki laki yang ingin memesan kopi.
"Baik. Ada lagi tambahan?" ujar barista.
"Udah, cukup itu aja," kata laki laki itu.
"Totalnya 25.000, Mas. Nanti diantar kopinya," ujar Akbar yang sedang berdiri di depan kasir.
***
Suasana makan malam kala itu sangat tenang dan santai. Di sana ada Dafi dan kedua orang tuanya.
"Dafi, Papa besok mau berangkat ke Jakarta sama mama kamu. Ada kerjaan yang harus diselesaikan," kata Anugerah, papa Dafi.
"Berapa lama?" tanya Dafi menatap wajah Anugerah.
"Papa belum tahu, Daf. Sepertinya lama," ujar Anugerah.
"Oh, oke, Pa," Dafi hanya menaikkan kedua alisnya, lalu mengangkat tangannya yang memegang sendok, menyuap nasi ke mulutnya.
Dafi adalah anak satu-satunya di keluarga. Anugerah, papanya, mempunyai perusahaan bernama CV. Anugerah di Jakarta. Dafi pernah tinggal di Jakarta, mengenyam pendidikan dari SD sampai SMP. Waktu SMA dia memilih pindah ke Palembang karena memang dia lahir dan dibesarkan di Kota Palembang sampai umur 5 tahun. Fitri, mama Dafi, asal Kota Palembang dan papanya asli Jakarta. Kedua orang tuanya sangat sibuk mengurus perusahaan. Mereka sering pergi ke luar kota berbulan-bulan, membuat Dafi sudah terbiasa akan hal itu.
"Gimana Coffee shopmu, Daf? Ada kendala?" sahut mamanya.
"Gak ada, Ma. Semua lancar," balas Dafi.
"Bagaimana kalau kamu ke Jakarta saja ikut kami? Papa ingin kamu belajar di perusahaan Papa," tawar Anugerah.
"Enggak, Pa. Dafi mau fokus ke bisnis Dafi sendiri, usaha Coffee shop," tolak Dafi mentah-mentah.
KAMU SEDANG MEMBACA
99 Days
RomanceNovella ini adalah novella "99 Days" dengan versi bahasa Indonesia.