"Biarkan derasnya hujan membawa tangis dan luka ini bersamanya."
.
.
.
.
.
~.~Langit sudah berwarna hitam, rintik hujan perlahan turun, tapi tubuh ini masih bergeming di tempatnya berada. Kaki seakan sudah tak sanggup lagi menopang berat tubuh ini. Aku roboh bersamaan dengan luruhnya buliran bening yang jatuh membasahi pipi. Dada terasa sesak. Hati begitu perih ketika kenyataan pahit itu terjadi di depan mata. Bahkan diri ini tak mampu untuk menerimanya.
Aku paksakan tubuh untuk bangkit. Perlahan kaki juga melangkah meninggalkan tempat yang sudah membuat hati terluka bahkan kecewa. Penyesalan yang datang hari ini terlintas begitu saja di kepala. Bodoh. Harusnya seperti biasa saja, tak perlu ada yang istimewa di hari ini. Rasa sakit dan sesak masih terasa dalam dada, dinginnya air hujan tak mampu meredakan sakit hati yang semakin terasa menyiksa.
Kini derasnya hujan mampu menyamarkan butiran air mata yang jatuh di pipi. Namun, hujan juga tak mampu membuat kaki ini berhenti melangkah untuk meninggalkan sepenggal kisah lara yang tak terduga. Ingin aku berteriak sekencang-kencangnya, tapi suara ini seakan tak bisa untuk keluar. Hanya air mata yang mewakili perasaan dan mungkin langitpun dapat mengerti semuanya.
Seketika kaki terhenti saat suara kelakson mobil mengembalikan kesadaraanku. Seperti seorang yang hilang akal, aku masih mematung ditengah jalan, di bawah derasnya hujan. Cahaya lampu mobil terlihat semakin terang. Kelakson mobil tak henti-hentinya berbunyi. Namun, kaki ini seakan enggan melangkah pergi. Raga ini seakan sudah pasrah untuk kemungkinan yang akan terjadi. Inikah akhir dari hidupku, Tuhan. Bila, iya. Biarlah hujan membawaku pergi bersama luka hati. Biarkan hujan membawa tubuh ini pergi tanpa rasa sakit.
Perlahan cahaya itu semakin mendekat. Terus mendekat. Menyilaukan mata. Inikah waktunya, Tuhan?
Maafkan aku, Kak Evan.
Maafkan aku, Ayah.
Selamat tinggal luka.
Aku pejamkan mata, bersamaan detak jantung yang berdegub kencang. Ada rasa takut menyelimuti diri dan berharap tidak akan ada penyesalan. Namun, sesaat kemudian ada tangan yang menarik paksa tubuh ringkih ini menjauh dari deru mobil yang terdengar jelas mendekat.
"Kamu mau mati?!" teriak orang itu jelas terdengar.
Aku membuka mata perlahan bersamaan napas yang kuhembuskan kasar. Sedikit mendongakkan kepala dan terlihat seorang pria mengenakan helm full face, sembari memegang lenganku cukup erat.
"Kamu mau mati?" Dia berkata lagi.
Namun, ucapannya itu terdengar pelan dan ia sedikit mengguncang tubuhku yang hanya terdiam. Beberapa detik kemudian aku tersadar dari kebodohan yang hampir saja membuat nyawaku melayang. Kebodohan yang akan membuat semua orang kusayangi bersedih. Tanpa tersa air mata jatuh lagi, kini dengan isakkan yang cukup keras. Aku menyesal. Tanpa berpikir aku memeluk tubuh cowok itu. Memeluknya erat hanya untuk membuat diri ini sedikit tenang.
"Kenapa? Kenapa harus sesakit ini?!" Teriakku pada cowok itu sesekali aku memukul bagian dada yang terasa sakit, "Salahku apa ...?" Tangisku semakin kencang.
Tak ada kata terucap dari dia ataupun penolakan saat aku memeluknya yang ada aku merasakan dia mengelus punggung ini pelan. Aku melepas pelukanku. Sedikit mendongakkan kepala lagi untuk menatap cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Kau dan Aku
Teen Fiction"Luka yang membawa diriku kembali dekat dengannya. Luka juga yang membuat aku jauh darinya." -Ayunda Lestari-