8. Tentang Ibu

1 1 0
                                    

Peluklah tubuhku walau hanya sesaat, Ibu.
.
.
.
.
***

Fahmi sudah datang kembali kerumah, membawa makanan yang dimasak bundanya.

"Kata Bunda makan yang banyak," ujar Fahmi yang melihatku hanya makan sedikit.

"Lagi gak selera, Mi," ucapku sambil menggeser piring. Memang selera makanku hilang karena kejadian tadi.

"Jangan nangis terus, ya," ucap Fahmi sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk.

"Kak Evan kapan pulang?" tanya Fahmi membuat aku menatap ponsel yang ada di meja.

"Katanya sebentar lagi."

"Kalau gitu, aku pulang, ya. Maaf gak bisa nemenin kamu." Fahmi mengelus rambutku. Terlihat dari matanya masih ada kekhawatiran.

"Gak apa-apa."

"Yu, biasanya kalau aku sedih atau ada masalah aku suka cerita ke Bunda. Mungkin lebih baik kamu ceritakan ini ke i-" Fahmi menggantung perkataannya. "Maaf,"

Aku hanya tersenyum dan aku tahu apa yang ingin Fahmi katakan tadi. Akhirnya Fahmi pamit. Aku terdiam cukup lama di dapur. Setelah membereskan semuanya aku memilih untuk kembali ke kamar. Lagi, air mataku jatuh. Kenapa kejadian hari ini sangat membuatku terluka?

Aku teringat akan ucapan Fahmi tadi, haruskah aku bercerita pada Ibu? Haruskah aku meneleponnya. Setelah beberapa lama berpikir dan menghela napas panjang akhirnya aku memutuskan untuk menelepon Ibu. Walaupun hubungan kami renggang, tapi Kak Evan selalu bilang kalau Ibu tidak pernah marah akan sikap dinginku padanya dan mungkin ini bisa jadi awal aku kembali akrab dengan Ibu.

Panggilan pertama tak ada jawaban, begitupun dengan panggilan kedua dan ketiga. Sibukah beliau. Hingga aku memilih menyerah dan membaringkan tubuh diatas kasur. Lalu, satu panggilan masuk dan itu dari Ibu.

"As'salamualikum."

"Wa'alaikumsalam, Bu" jawabku agak gugup karena sudah lama aku tidak berbicara ditelepon dengan Ibu.

"Ada apa, tumben telepon?" tanya Ibu. Aku terdiam sejenak sebelum menjawabnya.

Haruskah aku bercerita padanya?

"Bu, Ayu mau cerita. Apa boleh?" tanyaku lirih. Ingin rasanya aku curahkan semua rasa sakit hati ini pada Ibu.

"Boleh, Ibu senang kalau kamu mau cerita ke Ibu. Mau cerita apa, sayang?"

Aku menarik napas beberapa saat mencoba menahan air mata yang akan terjatuh. Sebenarnya sudah cukup lama aku tidak pernah bercerita tentang masalah yang sedang aku hadapi pada Ibu dan mengingat sikap dinginku pada Ibu, membuat aku menyesal.

"Bu, hari ini Ayu-" ucapanku terpotong saat aku dengar ada suara benda jatuh cukup kerasa disebrang sana dan tak lama ada suara anak kecil menangis.

"Astagfirullah ... sebentar, sayang. Sepertinya Gina jatuh. Nanti Ibu telepon lagi," ucapnya sambil mematikan panggilan. Aku dengar Ibu sangat khawatir.

Aku mencoba berpikir positif, mungkin setelah ini Ibu mau mendengarkan aku bercerita. Aku harus bisa bersabar. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tak ada telepon dari Ibu. Aku mendengar suara motor Kak Evan, tak lama Kak Evan mengetuk pintu kamarku.

"Dek, udah tidur?" tanyanya yang sepertinya masuk ke kamarku.

Aku sengaja menutupi seluruh tubuh menggunakan selimut. Aku tak mau Kak Evan melihat luka di keningku. Biarlah besok aku cerita kepadanya kalau aku jatuh.

"Baru mau tidur, Kak."

"Udah makan?" tanyanya lagi.

"Udah. Tadi Fahmi bawa masakan dari Bunda," ujarku tanpa membuka selimut.

Tentang Kau dan AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang