15| Tidak ada yang ikhlas atas kehilangan

1.4K 112 3
                                    

Jovan membuka mata, kemudian menatap jendela kamar yang sengaja dia biarkan terbuka. Di sana, iris hitamnya bisa melihat langit yang biru namun tetap sendu. Semilir angin menerbangkan dedaunan, membuatnya jatuh berguguran. Seperti hatinya kini yang telah remuk redam.

Tiga hari, selepas kepergian sosok paling berharga dalam hidup, nyatanya tak membuat dia terbiasa. Padahal, lima tahun lalu dia hidup baik-baik saja tanpa sosok itu, tapi mengapa sekarang justru tidak bisa? Ada rindu yang kerap hadir, membuat dia semakin tersiksa.

Pintu kosan Jovan terbuka, memunculkan sosok Mahendra. Lelaki seusia Jovan itu lantas menghela napa panjang, kemudian masuk ke dalam. Di kedua tangannya, ada sekantung plastik camilan yang sengaja dia beli khusus untuk Jovan.

Tiga hari ini, Jovan seolah melupakan semuanya. Rasa lapar, haus, kedinginan, atau pun panas. Karena sakit hati telah menciptakan sebuah mati rasa di diri cowok itu. Dan Mahendra hanya bisa membeli makanan ringan ini untuk mengisi perut sang teman.

Kini, semua makanan itu tergeletak di atas lantai. Karena tadi Mahendra mengeluarkan semuanya tanpa terkecuali. Membiarkan Jovan memilih sendiri. Mahendra mengambil tempat di sebelah kanan Jovan, ikut memandang ke luar jendela. "Di makan, Jo. Lo butuh energi untuk galau lagi. Gue ada beliin better tadi."

"Lo pikir gue galau karena putus cinta apa?"

"Ya enggak. Tapi, kan, gue memang niatnya beliin lo better aja. Mantan gue dulu, kalau galau suka nyemilin yang cokelat-cokelat gitu. Terus mood dia berhasil balik lagi. Siapa tau lo juga, kan?"

Jovan menggeleng lemah, kemudian menghela napas. "Gue beda kali, Hen. Eh, tapi, thanks. Seharusnya lo nggak perlu repot kayak gini. Kerjaan gue cuma buat lo repot terus. Sorry, ya?"

"Bunuh orang dosa, sih, ya? Coba aja enggak, udah gue bunuh lo karena ngomong gini terus. Inget, Jo, kita ini temen. Kalau lo susah, ya, gue wajib bantu lah. Kalau gue pergi, itu mah namanya temen musiman. Sorry aja, gue bukan tipe orang yang kek gitu."

Dihadirkan seseorang seperti Mahendra, Jovan merasa Tuhan terlalu baik padanya. Mahendra adalah sosok nyata dari seorang sahabat yang diimpikan oleh semua orang. Cowok itu selalu bisa menempatkan diri dalam semua situasi. Dia tidak akan bertanya mengapa, tapi diam-diam mengambil tindakan.

Pandangan Jovan tetap mengarah pada arah yang sama. Berpikir, seandainya dia tidak pergi, atau mungkin, seandainya dia membawa Asrar pergi, mungkin kehilangan Asrar tidak akan sesakit ini. Ketika ibunya meninggal dulu, dia masih sangat kecil. Belum mengerti apa arti dari kehilangan.

Dan ternyata seperti ini rasanya. Hatinya seperti ditikam kuat oleh sesuatu, hingga membuatnya sesak. Belum lagi, rindu dan rasa salah bersalah hadir secara bersamaan. Jovan meremat tangannya, menyalurkan semua emosi yang dia simpan tiga hari ini.

Tiba-tiba, pintu kosan yang memang tertutup, di ketok dari luar. Mahendra bangkit, hendak membukakan pintu. Sosok Alya dan Zidan muncul kemudian. Jovan tahu, mereka pasti akan datang, jadi dia tetap tidak bereaksi bahkan mengabaikan kepergian Mahendra yang ingin memberikan ruang untuk mereka bertiga.

Sunyi dan hening. Hanya sesekali, terdengar helaan napas berat dari Zidan. Napas yang sama tercekatnya dengan milik Jovan. Ketiga orang berbeda usia itu hanya menunduk, dan sesekali bergerak gelisah di tempat. Bingung, karena tak tahu ingin melakukan apa, atau memulai pembicaraan dari mana.

"Jo, kamu sudah makan belum? Tadi sebelum ke sini, Mbak belikan kamu nasi goreng." Akhirnya, satu-satunya wanita yang berada di sana, buka suara. Getar suara Alya membuat Jovan lantas menoleh, menatap tepat ke iris hitam sang kakak ipar.

"Jovan nggak lapar. Nasi goreng nya buat Mbak saja."

"Mbak tau, lho, Jo. Kamu ini belum makan apa-apa sejak semalam. Mungkin, dari tiga hari lalu? Makan sedikit aja, ya, Jo?"

|✔| Sekat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang