Keluarga, seharusnya orang-orang yang siap menopang patahmu, menyembuhkan lukamu. Tapi keluarga yang aku tahu, justru orang-orang yang paling mungkin menjadi sakitku.
|•Sekat•|
Mungkin, ada banyak hal yang Asrar coba lupakan selama lima tahun ini, termasuk kopi pahit kesukaan Jovan. Yang Asrar tahu, Jovan itu sangat tahan dengan makanan dan minuman pahit, jadi ketika dia mengijinkan lelaki itu untuk singgah di kosan, Asrar berniat membuat minuman kesukaan Jovan.
Namun ada yang Asrar lupakan, sepertinya. Ternyata, ekspresi di wajah Jovan sedikit kaku kala menyesap tetes demi tetes kopi hitamnya yang pahit. Tidak seperti dulu, di mana ekspresi wajah lelaki itu biasa saja. Benar-benar berbeda, bukan Jovan lima tahun silam.
"Kamu kaget, ya?" Tiba-tiba, Jovan menuturkan tanya saat melihat ekpresi rumit adiknya. "Semenjak Kakak memilih pergi, semua hidup Kakak mulai berubah. Semua hal yang Kakak suka, mulai Kakak tinggalin. Termasuk minum kopi pahit yang biasa Kakak minum di pagi hari. Semua berubah, Asrar."
Asrar membuang muka. Kerumitan di hatinya membuat dia enggan menatap wajah yang lebih tua. Karena setiap kali melihat wajah itu, Asrar benar-benar bisa mengingat lukanya. Dan itu sangat menyakitkan. Dia tidak ingin, lima tahun melupakan Jovan berakhir sia-sia.
Jovan memang tetap kakaknya, tapi bukan kakak yang dulu selalu ada. Jovan hanya tetap Jovan, seseorang yang telah dihadirkan semesta, untuk menjadi kakak yang bukan milik dia sepenuhnya. Asrar harus ingat, bahwa Jovan bisa pergi kapan saja.
"Kakak pulang dulu, udah malam. Kamu jangan tidur malem, besok masih harus kerja. Gil, jaga diri baik-baik. Kamu boleh benci sama Kakak, tapi kamu jangan benci sama diri kamu sendiri."
Kata-kata Jovan barusan masih Asrar dengar sepenuhnya. Lalu sosok itu pergi, hanya meninggalkan aroma vanila yang menenangkan. Aroma khas milik Jovan. Setelahnya, hanya hening dan deru angin yang bersahutan menjadi melodi di tengah malam.
Asrar membaringkan tubuh di kasur tipisnya. Bahkan, dinginnya lantai masih Asrar rasakan kala punggungnya sudah merebah di sana. Asrar memandang langit-langit kamar, menelisik silsilah sumber luka dari masa lalu, tepatnya di masa kala semuanya mulai berubah.
Hingga pagi, Asrar tidak bisa menemukan lelap yang dia dambakan. Kantung matanya menebal, menandakan lelah yang meradang. Dengan gerakan malas, Asrar bangkit dan mulai bersiap untuk mulai bekerja. Sedikit lupa, bahwa sejak semalam, perutnya belum terisi apa-apa. Terakhir, dia hanya makan siang di warung tenda milik Mang Adun.
Ketika merasa sudah puas dengan penampilan, Asrar bergegas membuka pintu. Dan sama seperti sebelumnya, sosok Jovan sudah duduk tenang di atas motornya sama seperti pagi itu. Lelaki itu mengenakan kemeja putih satin yang terbalut jaket denim. Asrar melangkah untuk lebih dekat dengan yang lebih tua, di tangannya ada sekotak bekal berisi nasi goreng yang tadi pagi-pagi sekali Asrar beli di dekat perempatan.
"Ini buat Kakak. Aku tahu Kakak nggak sempat sarapan, karena buru-buru ke sini. Takut aku berangkat duluan, kan?"
Jovan terkekeh kecil. Ucapan Asrar benar sekali. Dia memang datang dengan terburu ke sini. Takut Asrar akan berangkat lebih dulu. "Makasih, ya, Gil. Punya kamu mana?" Di tangan Asrar hanya ada satu kotak bekal, dan itu sudah menjadi miliknya. Lalu, dimana milik Asrar? Jovan bertanya-tanya.
"Aku udah sarapan. Kalau makan siang, aku bisa makan di kantin atau kalau enggak, makan di warung tenda Mang Adun aja. Ayo, Kak, berangkat?"
Dan Jovan tidak bisa memaksa lagi, menyerahkan helm kepada Asrar, kemudian melajukan motornya untuk membelah jalanan. Ini masih pukul enam lebih empat puluh, masih terlalu pagi. Asrar menatap punggung tegap Jovan, punggung yang selalu menjadi tempat bersandar. Momen masa-masa dimana Jovan sering kali mengantar dan menjemputnya ke sekolah, tiba-tiba hadir dalam bayang Asrar.
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Sekat
Fiksi RemajaJovan Adikara tak pernah tahu, bahwa sekat yang dia ciptakan sudah terlalu jauh. Bahwa dia tidak bisa merengkuh kembali sosok adiknya yang telah berkali-kali jatuh. Karena kebenaran telah merenggut percaya yang sudah dia bangun secara utuh. Kepada a...