1| Rintikan kata

7.3K 348 15
                                    

Dalam sebuah pertemuan, hanya dua takdir yang bisa ditentukan;
takdir untuk bersama, atau takdir yang pada akhirnya harus ikhlas melepas salah satunya.

|•Sekat•|

Jovan meletakkan gitarnya di sisi kasur yang tak cukup besar untuk di singgahi dua orang. Untuk pada akhirnya beranjak membukakan pintu yang sejak tadi diketuk dengan brutal oleh seseorang. Begitu pintu tua kecokelatan itu terbuka, sosok lelaki dengan kemeja berwarna navy dipadu dengan celana hitam dasar tertangkap kedua iris Jovan.

Hembusan nafas kasar Jovan mengudara, kemudian menyingkir, membiarkan lelaki itu masuk. Dan dengan tidak tahu dirinya, lelaki yang berstatus sebagai tamu itu, masuk tanpa melepas sepatu. Jovan lagi-lagi hanya menghembuskan napas, tanpa bisa mengutarakan apa-apa.

"Kalau aja lo itu bukan bos gue, udah gue tendang dari sini."

Ucapan sinis Jovan lantas membuat lelaki yang bernama Mahendra itu tertawa. Kemudian melepas sepatunya karena ingin merebahkan diri di kasur Jovan yang keras. Kaki berbalut kaus kaki hitam itu menendang sepatunya ke arah Jovan—mengkode lelaki itu untuk membawanya ke luar.

"Gue sumpahin panjang umur deh, lo, Hen."

Lagi-lagi, Mahendra tertawa. Dengan pandangan yang menatap langit-langit kamar Jovan, lelaki itu mendesah panjang. Raut lelah di wajah tampannya terlihat jelas menjadi pemandangan paling memuakkan untuk Jovan.

"Jo, gue dijodohin lagi masa. Mama gue bilang, udah waktunya gue bangun rumah tangga. Padahal gue masih muda, masih dua puluh lima. Mana cewek yang dijodohin gue lebih tua umurnya. Kata Mama, biar lebih dewasa dalam menghadapi gue yang keras kepala." Mahendra mulai curhat. Mengeluarkan semua keluh kesahnya yang akhir-akhir ini membuatnya kepikiran.

"Ya terus? Lo mau kabur lagi? Mau sampe kapan, Hen? Lagian nih, ya, mama lo itu bener. Emang kenapa kalau umur lo segitu? Nikah harus dipatok sama umur?"

"Bukan gitu, Jo. Masalahnya adalah, tuh cewek lebih tua. Yakali, Jo, gue udah kayak nikahin tante-tante aja."

Kaki Jovan menendang asal kaleng minuman yang sudah tandas isinya sampai ke luar dari pintu. Benda itu berdentang menimbulkan bising panjang. Membuat tetangga sebelah Jovan berteriak kesal. "Halah! Paling juga beda dua sampai tiga tahun doang. Lebay, lo!"

"Kalau memang segitu, mah, gue nggak akan masalah kali Jo."

"Lah? Terus beda berapa tahun?"

"Sembilan!"

"Buset?!" Jovan hampir tersedak air liurnya sendiri saat Mahendra menjawab pertanyaan dengan santai. Melihat wajah terkejut Jovan, membuat Mahendra terkekeh geli. Memang benar adanya, Mahendra sendiri juga terkejut dengan kesenjangan usia antara dia dan wanita yang akan menjadi calonnya—kalau jadi.

"Dan masalahnya lagi, Jo, dia itu janda anak satu. Suaminya minggat pas anaknya umur delapan bulan. Gue sih, nggak masalah kalau jadi bapak sambung. Cuma, gue belum siap aja. Lo tahu, lah, gue gimana."

Kepala Jovan mengangguk kuat-kuat. "Iya tau. Lo itu musuh bebuyutan para bocil. Gue jadi takut, kalau semisal lo punya anak, terus anak lo nakal apa bakal lo jual?"

"Pikiran lo kejauhan sialan!" Mahendra melempar ponsel ke arah Jovan yang langsung lelaki itu tangkap. Kemudian Mahendra beranjak duduk dan meraih plastik putih yang tadi sempat dia bawa. Jovan sendiri bahkan tidak menyadari adanya benda itu sejak tadi. "Nih makanan buat lo! Anggap aja sebagai tanda ucapan makasih karena udah mau nampung gue."

Plastik besar itu berisi penuh camilan kesukaan Jovan. Salah satunya kripik singkong yang selalu Jovan cari jika sedang pergi ke supermarket. Tanpa mengucapkan apa-apa, Jovan meraih plastik itu dari tangan Mahendra, kemudian dia sembunyikan di belakang tubuh.

|✔| Sekat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang