Jl. Cempaka Hijau dan Ceritanya

624 73 4
                                    

Hari ini : Mereka yang kurang ingin merasakan lengkap. Kita yang cukup terus menyerukan 'masih butuh' sampai telungkup.

ADA beberapa alasan yang membuat Kalila tidak teramat menyukai hujan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ADA beberapa alasan yang membuat Kalila tidak teramat menyukai hujan. Yang pertama dirinya mudah kedinginan, yang kedua, berita pasal bapak dan bunda yang telah tiada satu tahun silam datang ketika gerimis melanda.

Bukannya membenci rahmat yang diturunkan Tuhan, hanya saja, Kalila sedikit sebal ketika diingatkan kembali dengan masa-masa yang cukup mengejutkan. Memori itu jelas terpatri di dalam kepalanya sekian lama. Belum lagi kewajiban yang dipasrahkan kepada pundak yang tak teramat lebar itu terasa berat semakin hari.

"Mbak, dompetnya jatuh!"

Tepian trotoar Jl. Cempaka Hijau jadi tempat meneduh kali ini. Biasanya dijam-jam ketika matahari mulai mundur dari tempat bersinarnya, Kalila sudah sampai di rumah dan mempersiapkan berbagai kudapan untuk dijual esok harinya.

Padahal Madha—adik keduanya—sudah menawarkan diri buat berbelanja karena toko bahan-bahan untuk membuat kue satu arah dengan jalan pulangnya. Entah mengapa Kalila menolak, mungkin kebetulan saja agar dia dapat melihat kembali jalanan tempat di mana bapak dan bunda meregang nyawa.

"Mbak?"

"Eh iya? Maaf, ada apa ya?"

"Mbak nggak dengar? Ini dompetnya jatuh. Dompet Mbaknya 'kan?"

Kalila memperhatikan tiap senti tubuh kecil yang tengah kehujanan di hadapannya. Tergopoh-gopoh ia menarik tangan yang mengulurkan dompet beserta kartu-kartu yang berceceran. "Aduh, kamu kehujanan cuman buat ngasih dompet saya? Sini meneduh! Terima kasih banyak, ya."

"Aku memang sudah kehujanan daritadi, Mbak. Nggak apa-apa. Ini," anak itu melepas dompet hitam tipis yang isinya tidak teramat banyak. "Lain kali hati-hati. Untung yang nemu aku, bukan copet."

"Lagian kalau copet yang nemu enggak bakalan untung dia, isinya cuma tinggal dua puluh ribu." Kalila tertawa getir, ucapannya barusan memang betul. Beberapa lembar uang yang ia miliki sudah ditukarkan dengan tiga kilogram tepung terigu, fernipan, dua kotak susu cair, serta tiga bungkus nasi padang.

"Wah kalau buatku dua puluh ribu sudah untung banget. Bisa buat beli mie instan dan satu kilo beras. Jangan dianggap remeh, ibu bilang seribu rupiahpun harus dihargai. Bagi Mbak mungkin cuma segitu tapi bagi kami lain lagi."

Gadis itu termenung, sebetulnya yang tadi cuma gurauan saja. Tapi kalau dipikir lagi, anak ini benar. Seharusnya ia tidak menyepelekan nominal uang seperti itu, "kamu pinter banget, yang ngajarin siapa?"

Anak lelaki yang kisaran usianya sepuluh tahunan tersebut menunjuk seorang wanita di seberang Jl. Cempaka Hijau. Di sisi trotoar yang lain, ibundanya tengah melayani pembeli jagung rebus dengan senang hati.

Bukan nominal yang besar memang, sebab perbuahnya hanya dibandrol dengan lima ribu perak saja. Namun begitu, senyumnya terus terkembang, tentu ditujukan kepada sepasang suami istri pemborong dagangannya kali ini. Syukurnya tak redam sama sekali. Ia bahkan sempat membungkuk, mengucap terima kasih atas satu lembar uang berwana biru yang kini ada di telapak tangan keriputnya. Terima kasih, karena kini ia dapat medaratkan satu nominal rupiah pada sakunya yang kosong melompong.

RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang