Es Teh

317 60 9
                                    

"Bodo amat, gue masih gelo."

Sayup-sayup keramaian lapangan terdengar. Antusiasme siswa-siswi yang tengah melihat pertandingan futsal menyebabkan suara bising bertebaran di mana-mana. Untuk mendukung tim dari kelas masing-masing, para supoter membawa benda seadanya untuk dijadikan alat musik. Sebagai pendukung, mereka terus menyuarakan yel kelas dengan semangat.

"Ya sori Lal, ini tadi testimoni."

Madha dan Hilal berada dalam satu kelas yang sama, sebetulnya mereka kurang minat mengikuti acara classmeeting begini. Selain ramai dan gerah, Madha jadi gampang lapar dan haus. Lapangan futsal terletak tepat di sebelah kantin, yang menyebabkan dia terus menengok ke arah kedai es teh yang antreannya dari tadi tidak pernah sepi.

"Gue benci banget dikagetin Mad, lo tau lah." ungkap Hilal kesal. Ia masih membahas masalah tadi pagi. "Kalau besok masih lo ulangin, sumpah mending kita putus aja jadi saudara kembar."

"Lawak lo, mana bisa putus jadi saudara kembar!"

"Bang."

Madha dan Hilal menoleh, adik bungsu mereka datang dengan dua gelas es teh berukuran berbeda. Satu dengan ukuran besar, satunya sedang. Rayyan lalu duduk diantara mereka berdua.

"Tadi pas ngantre beli es teh, Bang Madha liatin mulu sampe ngeces. Nih aku beliin yang jumbo. Buat berdua ya, jangan rebutan."

Anak yang usianya tepaut dua tahun dari Madha dan Hilal tersebut menyodorkan segelas es teh kepada salah satu abangnya.

"Wah bontot baik banget!" Madha menyeru dengan girang.

"Mad, lo ga kasian apa? Kalau Rayyan beliin lo es, jatah jajan dia jadi berkurang dong. Ntar lo makan siang pake apa Ray?"

Belum sempat menyeruput es pemberian Rayyan guna mengusir dahaga yang mengusik, Hilal menarik paksa segelas es teh yang berada di tangan Madha.

"Eh? Lal!"

Alis Rayyan naik bersamaan. Ia segera menengahi kedua kakak kembarnya yang nampaknya hendak berperang lagi. "Aduh Bang, cuman es teh doang masa mau gelut sih? Ini tehnya lagi diskon, beli jumbo dapet reguler satu bagi pembeli ganteng."

"Waduh, emang rejeki berarti Ray! Siniin Lal!"

Hilal mendengkus kesal, "Mad lo bisa peka sekali aja nggak sih?"

"Abang, udah lah!" Rayyan menarik kaus olah raga Hilal untuk menahannya pergi. Namun, sayangnya Hilal memilih untuk berjalan kembali. Mungkin ke kelas, atau ke tempat yang lebih sejuk. "Yah Bang Hilal ngambek."

"Udah biarin aja, mood dia jelek dari tadi pagi. Gara-gara gue juga sih, sori ya."

Rayyan mengangguk-angguk, dia mengalihkan atensi kepada pertandingan yang masih berlangsung. "Abang kok enggak main?"

"Yang lain kan bisa, kenapa harus gue? Hehehe."

"Ah iya juga sih."

Selepas Rayyan menyuarakan kekecewaannya, mereka berdua sama-sama memilih untuk diam. Memperhatikan kemana perginya bola, kesana kemari menggelinding dengan cepat. Hingga tiba-tiba terlintas di pikiran Madha entah bagaimana.

Tentang Mbak Kalila yang tidak punya arah lagi. Beberapa hari lalu, di malam yang sepi, ketika dirinya belum selesai mengerjakan sesuatu. Tanpa sengaja dilihatnya sang kakak tertua tengah tertunduk lesu di ruang tamu, rambutnya nampak berantakan, alat tulis dan catatan di depannya jatuh berserakan.

"Mbak kenapa?"

"Madha ... belum tidur?"

Madha menggeleng, ia mendekati Kalila. "Mbak lagi ngapain? Abis nangis?"

RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang