Tidak biasanya rumah terasa sesepi.
Gemi sedang berada di panti, Kalila mungkin tengah meneduh di tempatnya bekerja, sedangkan Hilal, ia menyendiri di kamar. Tersisalah Madha dan Rayyan. Mereka mengobrol di atas kursi panjang yang kayunya sudah rapuh. Sehingga ketika mereka naik di atasnya, muncul goncangan yang memberi isyarat kalau mungkin beberapa saat lagi, ia benar-benar patah.
Rayyan turun sebab ia terganggu dengan suara hujan yang jelas terdengar, ia menutup pintu. Diambilnya buku catatan dan juga beberapa buku soal dari dalam tas. Sementara itu, Madha memetik gitar dengan nada sumbang. Ia tidak punya pekerjaan yang bisa dilakukan saat ini. Baru saja ia selesaikan menghangatkan sayur dan menggoreng telur. Berjaga-jaga kalau Hilal berminat untuk keluar dan makan sebab sejak tadi siang ia tak mendapati adiknya tersebut menyentuh nasi dalam bekal.
"Tadi dia bilang gimana Ray?"
"Ga gimana-gimana Bang, aku yang nyerocos banyak. Bang Hilal mau motong omongan aku tapi aku sambung terus. Risih kali ya, kesannya kayak menggurui."
Madha manggut-manggut mengerti, ia ikut duduk di lantai, menaruh gitar bertanda nama Gemintang di sisi kursi, lantas bertopang dagu memerhatikan adiknya dengan segudang tugas ekonomi akuntansi.
"Emang Rayyan bilang gimana?"
"Aku bilang coba Abang lihat susahnya Mbak Kalila buat hidupin kita berempat," ujar Rayyan jujur. "Aku juga bilang kalau Abang harus ikhlas."
"Nggak ada yang salah sih, emang Hilalnya aja yang masih bingung kali ya? Rayyan udah bagus berani bilang begitu," Madha mengapresiasi. "Ini tugas dari siapa deh banyak banget."
"Pak Amir, suruh bikin laporan laba rugi aja sebenernya Bang, cuma inisiatif aja belajar neraca lajur."
Rayyan memang begitu, Madha tahu. Dia selalu berusaha mempelajari materi yang belum diajarkan. "Udah bisa?"
"Belum."
"Kamu udah belajar jurnal penyesuaian?"
"Belum."
"Belajar yang itu dulu baru bisa bikin neraca lajur, mudah kok. Kamu lihat laporan keuangan terakhirnya, kalau ada transaksi yang masuk tinggal dicatet ke kolom debit kreditnya, nanti hasilnya di jurnal penyesuaian. Paham?"
"Akuntansi susah banget."
Madha tergelak, "enggak susah, cuma ribet aja."
"Padahal ini pelajaran lintas minat, mending ngerjain fisika aja." Keluh Rayyan putus asa. "Lagian ada bab lain yang lebih mudah buat anak IPA, kenapa harus belajar akuntansi sih?"
"Kalau mudah buatmu ya berarti udah bisa, kenapa harus diajari lagi? Basic ekonomi sama pembukuan kayak gini berguna banget Ray buat nanti. Sabar aja, terima, tekuni juga. Pasti ada manfaatnya."
Madha berdiri pelan-pelan, kakinya gampang kesemutan ketika duduk bersila terlampau lama. "Mau kemana Bang?"
"Ke kamar, hapeku dicas dari tadi. Kalau nggak dicabut takut meleduk terus kena Hilal, udah gosong makin gosong ntar. Hahaha."
"Buruan cabut Bang!"
Melangkahlah kaki-kaki Madha yang jenjang menjauhi ruang tamu yang tak seberapa luas. Ditinggalkannya Rayyan menyendiri bersama tugas dan ceceran kertas. Lantas ketika ia menatap pintu kamar yang masih setia terkunci dari dalam, dengkusan ia perdengarkan dengan jelas. Ingin menyindir Hilal sebetulnya, entahlah anak itu mendengar atau tidak, masa bodoh.
"Ini masih nggak dibukain juga?"
"Hmm."
Kalau seseorang membalas dari sana dengan deheman saja, Madha bernapas dengan lega. Sebab pikiran buruknya sirna, ia mengetuk pelan pintu kamar berlapis cat mengkilat warna cokelat. Ia juga mengutarakan maaf atas tindakannya yang mungkin membuat Hilal merasa segala yang salah disebabkan oleh dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah
Teen FictionKalila Widyananda dibesarkan oleh tangan-tangan hangat yang selalu menyediakan segala hal untuknya. Bapak, Bunda, Gemi, Madha, Hilal, dan Rayyan. Semua anggota keluarganya adalah kumpulan manusia terbaik di dunia ini, Kalila sayang banget sama merek...