🍁Nana🍁

203 75 13
                                    

.
.
.


"Sadar nggak apa yang kamu lakuin bikin malu keluarga? Masa cuma dapet peringkat kedua, sih? Kenapa nggak pertama? Bodoh!"

Kala itu ayahnya bertanya sambil memaki setelah dua kali menampar pipi Na Jaemin.

Rahang Jaemin mengeras, dia muak mendapat tuntutan harus selalu sempurna demi menyenangkan perasaan orang tua yang bahkan tidak pernah memuji pencapaiannya barang sekali. "Gua cape, brengsek!"

Lalu sebuah sepatu hak tinggi dilempar oleh ibunya ke kepala Jaemin. Untung dia lekas menghindar, sehingga tajam high heels tersebut hanya sedikit menggores dahi.

"Nggak tau berterima kasih! Kalo nggak ada Papah sama Mamah, kamu itu bakal jadi seonggok sampah yang nggak berguna!" Kalimat menusuk sang ibu tidak membuat Jaemin goyah. Tumbuh di keluarga gila ini telah membekukan hatinya.

"Emangnya gua yang mau terlahir dari orang tua kayak kalian? Najis," cibir Jaemin memperkeruh suasana dirumah megah, mewah dan besar, neraka tempatnya bernaung.

Pukulan dan hantaman bertubi-tubi kembali Siwon dan Yoona layangkan. Tidak berbelas kasih sedikitpun meski buah hati yang mereka buat hadir ke dunia tengah mengerang menahan sakit fisik juga batin.


"Woi! Balik nggak?" Lamunan Jaemin buyar ketika mendengar suara Lee Jeno, si berandal setengah alim.

Na Jaemin, lelaki yang kerap dituduh berkelahi diluar area sekolah karena sering terlihat berantakan dengan lebam sana-sini itu menggeleng. "Gua masih mau main basket."

Bohong. Jaemin nyatanya merasa takut menghadapi kekacauan dirumah dengan tampilan bak istana bila dipandang, tapi seperti dalam penjara saat ia tinggal.

"Ya udah, gua duluan," ucap Jeno. "Betewe, entar malem yakin lu mau ikutan balap liar?" Jeno yang sudah berdiri dengan tas dibahu menatapnya.

"Gua nggak pernah narik kata-kata yang udah gua ucapin." Perkataan Jaemin menciptakan tawa di wajah tampan Jeno, matanya menyipit membentuk bulan sabit.

"Macem Naruto aja dah lu," kata Jeno sembari mengusap wajah menahan tawa mengejek. Ayolah, dia tidak boleh menyinggung perasaan Jaemin sebab pemuda itu adalah sumber contekannya.

Menatap jengah teman seperbacotannya, Jaemin berujar malas, "Diem lu babi. Tadi lu bilang mau balik."

"Dosa lu anjing. Ngomong jorok!" Tanpa kesadaran Jeno bicara begitu, seraya melangkah santai menuju parkiran meninggalkan Jaemin yang masih duduk dipinggir lapangan dengan kedua kaki diluruskan.

"Gak ngaca lu anak setan!" sungut Jaemin sementara Jeno yang sudah menjauh menepuk-nepuk pantat ke arahnya. Biasa, memancing perkelahian. "Jangan kek demit lu monyet!"

"Buset! Monyet, setan, demit beserta sekutunya gak punya salah sama elu, Na!" seru Jeno lantang. Kakinya menapak tempat parkir, bergegas mendekati motor ducati sport berwarna hitam yang senantiasa menemani Jeno ngebut-ngebutan dijalan.

Seperginya Jeno, helaan napas panjang lolos melewati celah bibir tipis Jaemin. Dia mendengus, kemana Tuhan saat Jaemin butuh? Apakah Tuhan tidak menyayanginya? Atau mungkin Jaemin bukan salah satu makhluk yang pantas mendapat kasih Tuhan?

Berbagai macam pertanyaan terus menghujam, tanpa Jaemin ketahui jawaban pastinya.

Kenapa dibiarkan terlahir jika tak dianggap selayaknya manusia pada umumnya? Na Jaemin bukan robot!

Universe For You || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang