🍁Eccedentesiast🍁

177 69 12
                                    

.
.
.

Beberapa hari kemudian ....

Semesta tidak akan lari meninggalkan Jaemin sekalipun perasaan pemuda itu bukan untuknya. Dia hanya ingin menemani Jaemin sama seperti sekarang.

Dering ponsel Jaemin mengagetkan Semesta yang tengah menunggu dibawah pohon besar belakang sekolah.

"Mamanya Nana nelpon, angkat nggak ya?" Menatap layar benda pipih tersebut, kemudian Semesta putuskan menerima panggilan telepon karena takut kalau Mama Jaemin sedang membutuhkan sang anak atau mungkin ada kepentingan yang lain.

"Kenapa lama banget ngangkatnya? Anak gak tau di untung! Mama mau bicarakan nilai kamu yang turun drastis, sengaja 'kan kamu pengen bikin orang tua malu? Dasar kurang ajar! Pulang sekolah jangan kemana-mana, brengsek!"

Deg!

Tubuh Semesta bergetar, dadanya berdenyut nyilu mendengar makian seorang wanita pada Jaemin. Baru saja Semesta hendak membalas, tiba-tiba ponsel ditangannya dirampas oleh Jaemin yang datang bersama jajanan dikantung plastik.

"Udah berapa kali gua bilang? Jangan nelpon pas gua masih di sekolah!" seru Jaemin, lalu mematikan sambungan panggilan secara sepihak.

Setelahnya keheningan menyambut. Mereka terdiam dengan pikiran kacau masing-masing. Perlahan Jaemin menyentuh bahu Semesta lembut, gadis itu tampak syok.

"Mama lu jahat," lirihnya tak mengerti. "Kenapa bilang gitu sama anak sendiri?"

Tawa Jaemin terdengar, diusapnya kepala Semesta. "Iya, dia emang gitu."

"Papa lu gimana?"

Kantung plastik yang dibawa Jaemin diletakan di atas kursi. Sementara Jaemin dan Semesta kini berdiri saling menghadap. Bel pulang sekolah sudah setengah jam berlalu, tetapi keduanya ingin berlama-lama menikmati hari. Ah, sebenarnya tadi hanya Jaemin yang tidak mau buru-buru pulang, lantas Semesta berinisiatif menemaninya menghabiskan waktu.

"Nggak usah lu pikirin, mereka itu calon penghuni neraka," jawab Jaemin, tak membuat Semesta tertawa. Tangannya meraih wajah manis pemuda yang telah singgah dihati, lamat-lamat dia amati bekas memar disudut bibir juga dahi.

"Jangan bilang luka yang lu dapet selama ini karena bokap sama nyokap lu?"

"Ya, dari dulu mereka suka main kekerasan kalo gua gak bisa menuhin standar yang mereka mau."

Santai. Jaemin berkata dengan santai sekali. Tidak tahu saja ucapannya membuat Semesta nyaris berteriak murka.

"Terus kenapa lu diem aja? Otak lu dilelang?" Semesta tak habis pikir. Kenapa Jaemin tidak pergi?

"Gua nggak punya siapa-siapa, Ta."

Air mata Semesta mengalir tanpa pertahanan. Kekuatannya menghilang, runtuh dan meluap.

"Kejam!" protes Semesta, kepalanya tertunduk.

"Dih, malah nangis. Cengeng lu," canda Jaemin, didekapnya tubuh Semesta yang lebih pendek.

Semua orang cuma tahu kalau Jaemin adalah anak bandel meski pintar. Karena hampir setiap hari saat datang ke sekolah keadaannya selalu babak belur, ketika ditanya kenapa dia menjawab dengan gurauan, tentu orang-orang mengira dia berkelahi dengan anak sekolah lain selayaknya Jeno si berandal tengik. Siapa sangka, kalau tukang senyum ini ternyata korban kekerasan orang tua?

"Berhenti nangis dong, cantik. Gua nggak papa," ucap Jaemin menenangkan.

"Bohong!" Semesta meremas kuat seragam depan Jaemin.

Universe For You || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang