Saat kukira aku sudah benar-benar mati sampai kurasakan tangan besar menarik tengkukku. Sebelum aku tahu apa yang terjadi, kakiku dibuka dan dia memasukiku, menghentakkan tubuhku dalam ritme yang amat kuhafal.
Hidup mengajarkanku untuk tidak melawan siapa pun yang melakukannya. Siapa pun yang bisa menyentuhku dan memperlakukanku seperti ini berarti sudah memiliki hak untuk menyentuhku. Biasanya, mereka sudah membayar atau membuat perjanjian sebelumnya. Bukan denganku, biasanya dengan Januari. Dia berkata agar aku menikmatinya, satu-satunya cara agar tidak merasa buruk setelah melakukan ini semua.
"Nikmati aja, Na. Kan enak juga. Kalau kamu nggak nikmati ya nggak enak. Kamu ngerasa nggak dapat apa-apa. Kalau kamu nikmati, bukan cuma uang, kamu juga dapat kesenangan. Entot itu enak. Jangan dibikin susah," katanya saat pertama kali membuatku melakukannya.
Yang saat ini bersenang-senang atas tubuhku adalah mantan kakak iparku. Dia menenggelamkanku dan menyetubuhiku dengan brutal seperti biasanya. Sudah tidak ada lagi aroma bunga dan asinnya ombak di lautan. Yang tersisa di bak mandi ini hanya aroma nafsu dan keserakahan, aroma khas Syailendra.
Adiknya juga begitu. Dia memakai perempuan seolah tidak membutuhkan kasih sayang perempuan dalam hidupnya. Kapan pun dia mau, kapan pun dia berhasrat, perempuan harus siap untuknya.
Yudhistira mengangkatku dari bak mandi. Aku menarik handuk yang menjuntai dari gantungan, memeluknya dengan gigi gemeletuk. Udara di kamar dengan pendingin terasa jauh lebih dingin dari yang seharusnya setelah berendam air hangat. Memang ini yang kusuka, rasa dingin yang menekan tulang, jauh lebih baik daripada panas.
Dia melemparku ke tempat tidur, merelakan selimut dan bantalnya basah. Dia menyentuh kemaluannya sendiri, membiarkan aku melihat keperkasaannya, caranya membangkitkan lagi libidonya dan berharap dengan begitu dia membuatku makin menginginkannya. Memang untuk inilah aku dilatih selama bertahun-tahun, menyenangkan orang yang bisa menjamin nyawaku.
Aku mendesah dan merintih, menyentuh milikku sendiri seperti tak sabar untuk mendapatkannya. Aku menggeliat dan mengejangkan ujung kaki, seolah benar-benar terangsang pada tubuhnya. Aku melakukan peranku hingga dia menghampiriku, menyelesaikan permainannya dengan suara desahan ribut yang diakhiri dengan lenguhan keras.
Tidak ada alasan untuk tidak bergairah melihatnya. Dia lelaki dengan tubuh besar dan penis yang amat tidak mengecewakan. Berbeda dengan adik dan kakaknya yang memiliki tubuh ramping jangkung, dia terobsesi membentuk otot-otot sempurna. Setiap hari dia menakar protein yang dikonsumsi dan berolahraga seperti maniak. Setelah seks, dia bisa ke ruang olahraga dan lari berkilo-kilometer. Ambisius, sama seperti Syailendra lainnya.
Kali ini, sepertinya tenaganya sudah terkuras habis. Dia berbaring terengah di sebelahku, mengambil minuman bersoda di lemari es dan membawakan satu lagi untukku yang hanya kusesap sedikit. Aku merasa mual.
Dia berbaring di sebelahku saat aku membersihkan diri dengan tisu. Sambil membelai wajahku dia bertanya, "Kamu tahu kenapa kamu menarik, Sienna?"
"Karena kegel?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sad Girl Irony
Roman d'amourSienna berpikir pernikahan dengan Drey Syailendra bisa menyelamatkannya dari kehidupan buruk ciptaan kedua orang tuanya. Demi menikah dengan lelaki yang dicintainya ini, Sienna sampai rela menolak cinta sahabat dan cinta pertamanya. Dia pikir, Drey...