Bagian 3 Masih Kesal

31 2 0
                                    

Tiba di halaman rumah, aku memarkirkan motor. Aku mengambil kunci di dalam tas, lalu membuka pintu dan melangkah ke dalam. Rumah ini terlihat sangat kotor sekali. Selama enam bulan tinggal di rumah ibu mertua, aku tak pernah ke sini untuk membersihkannya. Gegas aku masuk ke kamar untuk mengganti pakaian rumahan, lalu membersihkan seluruh ruangan. Aku memulainya dari kamar, ruang tengah, dapur, kamar mandi, dan terakhir ruang tamu.

Lega rasanya melihat rumah ini kembali bersih lagi. Untuk sementara, aku akan tinggal di rumah ini dulu sampai hati ini tenang. Aku merebahkan tubuh di sofa ruang tengah sambil menonton televisi. Bayangan wanita yang memeluk Mas Boby masih mengganggu pikiran. Sekuat tenaga aku menepis bayangan itu. Saat hendak masuk ke kamar, tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi.

Aku masuk ke dalam kamar untuk mengganti daster dengan gamis dan memakai jilbab, lalu melangkah ke ruang tamu untuk melihat siapa yang datang. Betapa terkejutnya ketika hendak membuka pintu, wajah Mas Boby tepat di depan wajahku. Mata kami beradu saling bertatapan, mendadak hati ini berdebar kencang. Aku segera membalikkan tubuh untuk menetralkan debaran aneh dalam dada ini.

"Vani, tunggu!" Mas Boby menarik tanganku.
Aku tersentak, jantung ini rasanya ingin melompat dari tempatnya. Kenapa rasanya aneh seperti ini? Ada apa dengan hatiku? Kutarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan perlahan.
Aku menoleh dan melepaskan genggaman tangannya. "Ngapain kamu ke sini? Bukannya sedang asyik berpelukan dengan wanita cantik itu?"

"Jangan salah paham, Sayang! Aku nggak ada hubungan apa-apa dengan dia. Izinkan aku untuk menjelaskan semuanya."

"Nggak ada yang perlu dijelaskan. Semuanya sudah jelas dan aku nggak mau tahu. Itu hak kamu, mau sama siapa saja."

"Vani, tolong dengarkan penjelasanku. Setelah itu terserah, kamu mau percaya atau tidak."
Aku tak menghiraukan perkataannya dan berlalu meninggalkan dia yang masih berdiri mematung. Aku masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Dalam hati merasa kasihan, tetapi hati ini masih sakit kala mengingat kejadian di tempat kerja Mas Boby.

Air mataku menetes, dada ini terasa sesak. Kuambil pigura foto Mas Adi. "Mas, sepertinya Kakakmu tidak pernah mencintaiku. Dia sudah mempunyai wanita lain, sepertinya dia merasa nyaman dengan wanita itu."

Mas Boby mengetuk pintu kamarku dan terus memanggil namaku. Namun, aku tetap diam tak menjawabnya hingga suara itu hilang dengan sendirinya. Mungkin Mas Boby sudah menyerah dan pulang ke rumahnya.

Jam menunjukkan pukul 21.00 WIB. Aku teringat belum mengunci pintu depan. Gegas berjalan ke ruang tamu, betapa terkejutnya ketika mendapati Mas Boby tengah tidur di sofa ruang tengah. Ternyata dugaanku salah, aku mengira dia akan pulang begitu saja.

Aku kembali masuk ke kamar untuk mengambil selimut dan bantal. Pelan-pelan kuangkat kepalanya dan meletakkan bantal di bawahnya. Lantas kuselimuti tubuhnya yang mungkin sedang kedinginan.

Aku beranjak hendak melihat pintu depan, sudah terkunci atau belum? "Vani, terima kasih, ternyata kamu masih perhatian kepadaku." Mas Boby memegang tanganku.

"Lepaskan, Mas! Aku mau mengunci pintu depan," kilahku sambil menarik tanganku.

"Pintunya sudah aku kunci. Kamu tidur saja ke kamar!" pintanya.

"Mas Boby kenapa tidur di sini? Bagaimana dengan Ibu? Dia sama siapa di rumah?"

"Ibu menyuruhku untuk mengajakmu pulang dan kalau kamu menolak, Ibu meminta aku untuk menemani kamu di sini."

"Kasihan Ibu, Mas. Dia nggak ada temannya di rumah. Kamu pulang duluanaja, besok pagi aku akan pulang. Aku masih ingin di sini dulu untuk malam ini saja."

"Aku tidak akan pernah bisa meninggalkan kamu sendiri di sini. Jadi, izinkan aku di sini meski harus tidur di sofa ini!"

Aku tercengang mendengar perkataan Mas Boby. Kenapa dia bisa bersikap manis seperti ini? Padahal tadi pagi dia membentakku dan malah aku melihat dia berpelukan dengan wanita itu. Hati ini kembali memanas saat mengingat kejadian itu.

Ingin rasanya aku bertanya kepadanya tentang wanita itu. Namun, rasa takut menyelimuti hatiku. Gegas aku masuk ke dalam kamar tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Kurebahkan tubuh ini ke atas ranjang. Mataku menatap ke atas langit-langit karena susah untuk terpejam kala rasa penasaran hinggap di hati ini. "Ah ...," aku berdecak kesal.

Suara azan Subuh berkumandang, kubuka mata dan beranjak dari tempat tidur. Baru saja ingin keluar untuk membangunkan Mas Boby, dia sudah terlebih dahulu mengetuk pintu kamarku. Aku terkejut saat mata kami bertemu.

"Selamat pagi, Istriku tercinta?" sapa Mas Boby dengan senyuman manisnya.

"Selamat pagi, Mas," jawabku tersipu.

"Ayo, salat berjamaah!"

Aku hanya mengangguk dan mempersilakan dia masuk ke kamar. Gegas memakai mukena, lalu kami melaksanakan salat Subuh dengan khusyuk. Setelah salam, kucium punggung tangan Mas Boby dengan takzim, berharap mendapatkan ridho dari Allah. Mas Boby membalasnya dengan mencium mesra keningku, lagi-lagi jantung ini berdetak lebih kencang.

"Vani, apa kamu masih marah denganku?" tiba-tiba Mas Boby melempar pertanyaan saat aku hendak melepas mukena.

"Marah kenapa, Mas?" Aku pura-pura tidak mengerti.

"Tentang wanita itu dan saat aku membentak kamu."

Aku meneruskan melipat mukena dan sajadah, lalu meletakkan ke dalam almari. Tiba-tiba kesal bergelayut saat di membicarakan tentang wanita itu. Tentang kejadian pagi kemarin, aku sudah Memaafkan karena semua itu memang kesalahanku. Namun, tentang wanita itu? Entahlah, hati ini masih enggan untuk menanggapinya.

Tiba-tiba aku merasa takut kehilangan cintanya. Wanita itu telah menyadarkanku bahwa sebenarnya dalam hati ini sudah ada cinta untuk Mas Boby. Namun, untuk mengakuinya aku masih malu. Biarlah cinta ini mengalir dengan seiring berjalannya waktu.

"Aku mau masak dulu, Mas." Aku berlalu meninggalkan Mas Boby yang masih duduk di atas sajadahnya.

Apa aku harus menepis perasaan ini? Sebelum merasakan sakit yang mendalam atau menunggu penjelasan darinya dulu tentang siapa wanita itu? Jangan sampai rasa cemburu ini menghancurkan rumah tangga kami yang masih seumur jagung. Mas Adi di alam sana pasti sedih melihatku seperti ini. Dia sudah mempercayakan aku kepada kakaknya.

"Aduh ...." Tanganku tersayat pisau. Entah dari mana datangnya, Mas Boby dengan sigap menghisab jari telunjukku yang penuh dengan darah segar dan menatap tajam mataku.

"Hati-hati, dong, Sayang! Sakit?" tanyanya seraya menghisab darah yang tak kunjung berhenti.

Rasanya tak seberapa dibandingkan rasa sakit dalam hatiku. Tanpa sadar, air mataku menetes dengan sendirinya. Rasa sesak dalam hati kembali muncul. Apa kamu juga berlaku manis seperti ini dengan wanita itu, Mas? Tiba-tiba pikiranku tertuju pada wanita berambut pendek itu.

Mas Boby menghapus air mata di pipiku, lalu menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Ada kenyamanan dalam hati saat berada di pelukannya. Namun, buru-buru kulepaskan pelukannya, mengingat kemarin ada yang memeluk mesra tubuh Mas Boby.

"Kenapa Sayang?"

"Nggak apa-apa, sudah minggir sana, Mas! Jangan ganggu Vani masak!" usirku ketus.

Bersambung ....

Menikah dengan Kakak Ipar (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang