Hujan deras mengguyur ibu kota. Air-air yang berjatuhan tiada henti serta angin kencang yang seakan ingin menerbangkan pohon-pohon tinggi membuat suasana menjadi ricuh. Walaupun waktu itu jalanan sangat sepi, tidak ada satupun kendaraan yang lalu-lalang, tapi entah kenapa dia merasa seperti berada di keramaian.
Bibirnya melengkung ke atas. Wajahnya sedikit mendongak. Matanya terpejam, membiarkan tetesan air dari langit membasahi kulit wajahnya. Terasa menyegarkan.
Tak lama, dia menggigil. Matanya secara refleks terbuka, tubuhnya mundur untuk menghindar dari cipratan air hujan. Kedua tangan itu memeluk tubuhnya sendiri. Sangat dingin. Sudah satu jam dia berada di halte bus yang sudah tidak terpakai ini. Meneduh. Berharap supaya hujan segera reda. Harus berapa lama lagi dia di sini.
Sudah puluhan kali dia mencoba menelepon temannya agar bisa menjemput dirinya, tapi tidak kunjung menjawab. Menyebalkan sekali dia itu, seperti tertelan bumi saja.
Entah ini kesialan atau apa, tapi terjebak diderasnya hujan adalah hal yang paling tidak ia sukai. Dia ingin pulang, sungguh.
"Ambil ini." suara berat bercampur serak terdengar sangat hangat di telinga Andera. Mata coklat terang itu menatap payung berwarna biru yang berada di depannya, payung yang sedang digenggam oleh tangan besar, lebih besar dari tangan gadis itu pastinya.
Mata Andera berbinar-binar. Ada malaikat yang datang untuk membantunya pulang. Siapapun orang itu, dia sangat berterimakasih. Tangannya dengan cepat mengambil alih payung biru itu. Dengan senyum lebar, kepalanya mendongak ke samping untuk melihat siapa malaikat yang dikirim Tuhan untuk dirinya.
Seorang lelaki, lelaki dengan poni tak beraturan yang berada tepat di atas mata, berdiri di sampingnya. Andera sedikit gugup saat melihat lelaki itu yang tidak menampakkan ekspresi apapun. Dia ini robot atau apa, wajahnya terlihat menyebalkan di mata Andera. Tapi, dia dapat melihat tatapan hangat dari mata yang sangat indah dengan bulu mata lentik milik lelaki itu. Mata yang seperti tidak asing bagi Andera sedang menatap dirinya.
Gadis itu seperti sedang ditarik untuk masuk ke alam lain. Rambut berantakan lelaki itu yang terkibas oleh angin membuat Andera semakin membatu. Mereka saling menatap satu sama lain, beberapa menit. Sampai akhirnya gadis itu tersadar dan memalingkan muka.
Pipinya sedikit merona. Di dalam derasnya hujan dan kencangnya angin, entah kenapa dia merasa hangat. Padahal dia memakai pakaian serba pendek, tapi dia tahu, bukan tubuhnya yang menghangat, melainkan hatinya.
"Terimakasih." suara pelan dan sedikit tersamarkan oleh hujan terdengar setelah beberapa menit keduanya tak bersuara.
Lelaki itu memalingkan wajahnya menghadap ke depan. Meletakkan kedua tangannya di saku celana. "Pulanglah."
Andera kembali menatap pria di sampingnya, "Lalu kamu?" dia hanya tidak mengerti, lelaki itu tidak membawa payung lagi di tangannya. Jangan-jangan payung yang berada digenggaman nya ini adalah payung satu-satunya milik lelaki itu. Kenapa lelaki itu memberikan Andera payung saat dia saja hanya punya satu?
"Pulanglah, hujannya akan lama." pria itu tidak mengalihkan pandangan, matanya menatap lurus ke depan. Nada bicaranya juga sangat datar dan kaku.
Andera melihatnya, dia melihat tatapan kosong dari lelaki itu. Andera tidak tahu, tapi dia merasakan adanya hal luar biasa yang sedang lelaki itu alami saat ini. Dia penasaran, sangat. Tapi Andera tidak bisa menanyakannya, mereka bahkan tidak mengenal satu sama lain. Kalau dia tidak pulang sekarang itu hanya akan semakin membebani pikiran lelaki itu. Ya, dia harus segera pulang.
"Kalau begitu, aku duluan. Hati-hati, ya. Segeralah pulang juga setelah hujan reda!"
Andera membuka payung biru milik lelaki itu. Kepalanya menoleh ke kanan, kemudian tersenyum lebar hingga matanya ikut tersenyum. "Sekali lagi terimakasih banyak! Sampai jumpa malaikat ku!"
Kaki Andera mulai melangkah masuk ke dalam derasnya hujan. Sebelum pergi, tangannya melambai kepada lelaki itu sebentar. Detik berikutnya dia berjalan satu persatu, menjauh dari halte. Tidak ada respon dari lelaki itu jadi Andera merasa tidak perlu mengatakan apa-apa lagi. Ucapan terimakasih sudah cukup sopan untuk orang baru.
Lelaki itu melirik punggung mungil Andera yang semakin tersamarkan oleh ratusan air hujan yang jatuh. Kepalanya menunduk membuat rambut sedikit panjangnya itu luruh menutupi muka. "Malaikat ku? julukan apa itu, aneh." gumamnya.
Suara air hujan yang bising menemani lelaki itu. Dia menatap ke bawah, menatap sepatunya. Lengkungan tipis tercetak di bibir lelaki itu, "Ternyata kamu sudah sebesar ini, ya."
Derasnya hujan kala itu menjadi saksi bisu pertemuan pertama mereka. Atau, tidak bisa dibilang pertemuan pertama tapi yang pasti itu adalah pertemuan pertama mereka di umur 17 tahun.
Pohon-pohon yang dihembus angin, suasana yang terasa ramai walaupun tidak ada seorang pun, air hujan yang membasahi seluruh kota, berteduh di bawah halte bus yang sudah tidak terpakai, dan payung biru yang lelaki itu berikan kepada Andera, "Rasanya seperti nostalgia, ya."
Mata indahnya menatap langit yang sedang menghujam bumi dengan tetesan air. Bibirnya sedikit terbuka, "Aku pulang, Dera."
***
To be continued
.
.
.

KAMU SEDANG MEMBACA
the Season of Rain
Teen FictionAndera suatu hari terjebak hujan dan meneduh di halte bus yang sudah tidak terpakai. Siapa sangka, dia akan bertemu dengan lelaki yang selalu memberikan payung kepadanya. Lelaki yang pernah memiliki masa lalu dengan Andera. Kisah mereka berdua untuk...