Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB. Aku masih berkutat dengan setumpuk file yang entah kapan bisa menghilang dari hadapanku. Tumpukan kertas dengan tulisan laporan keuangan harian dan bulanan, yang sungguh menyiksaku setiap harinya.
Seorang pria paruh baya menghampiri meja kerjaku, bahkan aku tidak tahu jika ia sudah berada tepat di depanku. Atau lebih tepatnya berada di belakang layar monitor komputerku.
"Belum selesai, Ra?" tanya pria tersebut, yang ternyata adalah atasanku sendiri.Aku mendongakkan kepala melihat wajahnya yang sedang ikut memerhatikan aku. "Belum, Pak. Mungkin sedikit lagi," jawabku dengan yakin.
"Apa pekerjaanmu terlalu banyak? Kalau memang banyak, kamu bisa minta bantuan Arya untuk membantumu." Bapak Christianto---Plant Manager perusahaan tempatku bekerja, sedang memberikan aku solusi. Mungkin lebih tepatnya memberikan bantuan untuk meringankan pekerjaanku yang memang sudah waktunya diselesaikan.
Ya, laporan tahunan yang akan digodog di pertengahan tahun ini memang bisa membuatku sakit kepala. Belum lagi pekerjaanku di bagian kepegawaian, terutama yang berhubungan dengan karyawan, masih harus aku urus pula.
"Besok, Arya akan bantu kamu," pak Christ menurunkan sedikit kacamatanya untuk melihat sekilas tumpukan kertas di mejaku. Raut wajahnya terlihat heran, mungkin ia melihat penampakan mejaku yang jauh dari kata rapi. Bahkan mungkin aku adalah karyawan yang memiliki predikat pengendalian dokumen yang paling payah.
Aku tersenyum getir pada pak Christ dan menjawab sekedarnya, "Iya, nanti aku ajarkan Arya untuk mengerjakannya." Pak Christ berbalik dan meninggalkan aku yang masih sibuk menekan tombol mouse komputer.
Sesekali aku pun melihat layar ponsel, mungkin saja ada pesan dari Damian. Seperti biasa, pria yang sudah menjadi kekasihku selama kurang lebih dua tahun itu selalu saja ingin menjadi orang yang pertama memberikan perhatian padaku.
Rasa lelahku terbayar sudah. Damian akhirnya mengirimkan pesan, ia berkata akan segera menjemputku setengah jam lagi. Hatiku lega, karena sebentar lagi aku akan bertemu dengan Damian. Mungkin setelah ini aku dan Damian akan makan malam dulu sebelum kami pulang ke rumah masing-masing.Aku mulai fokus mengetik kembali. Memasukkan angka-angka yang jumlahnya tidak sedikit. Kadang kala aku sering melakukan kesalahan dengan memasukkan angka yang tidak sesuat dengan data yang sebenarnya. "Sial! Kenapa selisih?" kesalku sambil terus mengumpat dalam hati.
"Kenapa jadi begini, ya Tuhan? Ini angka dari mana yang aku masukkan?" lagi-lagi aku mengeluh dengan semua kebodohanku.
Masih dengan fokus menatap layar monitor, ponselku berbunyi. Pesan dari Damian. Aku berhenti mengetik, lalu membuka layar ponsel membaca pesan darinya. "Oh, my God! Damian sudah datang!" seruku panik.
Bagaimana tidak panik, aku belum menemukan selisih angka yang akhirnya membuat laporanku berantakan. Aku tidak mungkin mengecewakan Damian yang sudah susah payah menjemputku. Jarak dari Bintaro—Thamrin, tidaklah dekat.
Akhirnya aku segera menyelesaikan pekerjaanku. "Ah, masa bodoh. Aku harus pulang, kasihan Damian," gumamku sambil menutup program aplikasi pekerjaanku. Semua file excel telah kututup, berikut dengan email dan semua aplikasi laman pencarian telah kututup juga.
Komputer kubiarkan menyala, agar aku bisa melanjutkan pekerjaanku di rumah. Dengan cara meremote komputer kantor dan diaplikasikan di laptopku.
Aku berjalan tergesa menuju gerbang kantor. Di sana, Damian sedang duduk di pos satpam sambil memainkan ponselnya. Aku tahu, Damian pasti sedang main game. Damian tidak melihat kedatanganku, karena ia sibuk memerhatikan layar ponselnya. Hingga seorang satpam yang bernama Andika menyapaku terlebih dahulu. "Malam Mba Kinara. Habis lembur ya?"
Aku pun tersenyum pada satpam muda itu, "Iya Bang Dika. Siapa lagi yang mau kerjain kerjaanku, kalau bukan aku sendiri," ujarku dengan cengiran.
Andika tahu, jika aku terlihat lelah. Namun, aku selalu menunjukkan bahwa semua baik-baik saja di depan semua orang. Bahkan tidak pernah menolak pekerjaan yang diberikan oleh atasan."Bang Damian. Mba Kinar sudah datang, tuh." Andika segera menepuk bahu Damian untuk memberitahu kedatanganku.
Damian segera menutup gamenya. Tidak logout, pause, atau pun AFK (Away From Keyboard), itu artinya bahwa player keluar dari area permainan untuk melakukan jeda."Sudah selesai?" tanyaku. Aku tidak ingin menganggu permainannya, karena aku tahu bahwa game yang dimainkannya bukanlah game biasa yang dengan mudah bisa berhenti begitu saja.
"Bisa lanjut nanti di rumah. Yuk, pulang." Damian tersenyum seolah-olah tidak ingin membuat aku menunggu.
Aku meraih tas milik Damian yang ditaruh di bangku. Entah kenapa, aku selalu melakukannya seperti itu semenjak aku sudah resmi menjadi kekasihnya. Damian memang tidak menyuruhku melakukannya, tetapi memang itu keinginan aku semata.
Mobil Damian sudah keluar dari parkiran dan kini mobil itu berhenti tepat di depan pos satpam. Aku pun segera membuka pintu mobil bagian penumpang. Setelah itu Damian menekan tombol otomatis untuk membuka kaca jendelaku. Aku berpamitan pada Andika. "Bang Dika. Aku pulang ya," seruku pada satpam paling tampan di perusahaan SQ Grup.
"Hati-hati di jalan, Mba, Mas Damian," balas Andika dengan ramah, lalu Andika membantu mengatur laju mobil kami, setelah keluar dari gerbang.
Kami akhirnya pulang. Sepanjang perjalanan menuju rumah kami di Bogor, aku selalu tertidur. Terkadang aku malu pada Damian, karena sikapku yang terlampau cuek dan apa adanya. Entah kenapa, Damian masih saja mau menempel padaku, bahkan tidak pernah marah ataupun kesal dengan semua kelakuanku selama ini.
"Lou, bangun. Sudah sampai." Aku merasakan tepukan tangan di pipiku. Ya, Damian membangunkan aku dengan cara menepuk pipiku pelan.
Cup
Aku merasakan lagi keningku disinggahi benda dingin dan basah. Terpaksa aku pun membuka mata, walau mataku masih terasa berat . Aku melihat senyum manis milik Damian di depan wajahku.
"Kebiasaan," protesku pada Damian, sedangkan Damian justru malah mencium keningku lagi.
Jujur saja, itu semua terlalu romantis dan aku paling tidak suka 'keromantisan'. "Biar romantis," begitu kata Damian. "Ayo, turun. Kita makan bebek Haji Selamet, yuk?" ajaknya padaku.
Aku masih menggeliatkan badanku yang terasa pegal. Sesaat aku memandang Damian dengan perasaan yang tidak seperti biasanya. Ada perasaan takut kehilangan dan juga takut jika aku mengecewakannya.
"Dam, kalau nanti kita akhirnya tidak bisa jadi pasangan suami-istri, gimana?" tanyaku asal.
Damian menatapku dengan tatapan sinis. Jantungku seakan ingin melompat dari tempatnya. Tatapan matanya terasa mengerikan dan jujur saja aku takut melihat Damian saat ini.
"Jangan bicara sembarangan. Aku pastikan kita akan menikah, secepatnya. Setidaknya, sampai kedua orang tuamu merestuinya." kata Damian meyakinkan.
Damian segera turun dari mobil. Ia berdiri menunggu aku, sambil meremas kunci mobil yang dipegangnya. Tatapannya tertuju pada tangannya sendiri, seperti sedang memikirkan sesuatu.
Aku pun akhirnya segera turun lalu menghampiri Damian. 'Ku menautkan jemariku dengan jemarinya. Ia pun menatapku dengan lembut. Kemudian kami berjalan bersama ke dalam restoran.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Louise The Vigor [ Tugas Akhir ]
Short StoryKisah cinta pasangan kekasih---Damian dan Kinar, yang berbeda keyakinan agama. Hubungan mereka terhalang restu orang tua, atau mungkin restu dari Sang Pencipta. Sang gadis telah dijodohkan oleh seorang pemuda dari keluarga dengan keyakinan yang sam...