Bagian 3

15 3 0
                                    

Damian POV

Akhirnya aku menghabiskan waktu dengan bermain game. Setelah aku bosan bermain Point Blank, aku beralih pada Vigor. Game yang tidak sengaja aku mainkan bersama teman kantorku yang memang seorang gamers sejati.

Kebetulan pula, Louise memang menyukai game yang aku mainkan. Ia berkata, "Namanya aneh ya, Vigor. Kenapa bukan Virgo, kayak zodiakku?"

Aku memberitahu artinya pada Louise bahwa Vigor artinya semangat dan ia pun mulai mengerti bagaimana game itu berjalan. Terkadang, Louise selalu menungguku menyelesaikan permainan, jika memang sedang serius.

"Yang semangat ya, bunuh zombienya," ujarnya sambil senyam-senyum. Akan tetapi aku merasa itu seperti sindiran.

Namun, hari ini rasanya sangat aneh. Perasaanku gelisah, bahkan aku bermain dengan tergesa-gesa. Jika biasanya aku bermain santai, kini rasanya aku ingin sekali cepat-cepat membunuh zombie yang berkeliaran. Darahku terasa panas, melihat mayat hidup itu berjalan lalu mengeluarkan suara serak dan dalam. Raungan suaranya terasa memekakkan telingaku.

"Zombie sialan! gerutuku kasar.

Aku tidak pernah mengumpat ataupun memaki jika tidak ada hal yang benar-benar membuatku marah. Namun kali ini pengecualian. Aku tidak tenang ketika melihat musuhku berusaha mengancam keberadaanku. Aku bukan pemain yang hobi memindahkan dunia nyataku ke dalam game. Bagiku, game adalah hanya sebuah permainan dan untuk mengisi waktu senggang saja.

Drrtt drrrt drrt

Ponsel yang sedang kupakai bermain game bergetar. Terlihat nama seseorang muncul di layar bagian atas. "Helena?" ucapku.

Helena adalah teman Kinar. Mereka bersahabat ketika masih sama-sama kuliah di Universitas Nusantara.

"Halo."

"Hai, Dam. Apa Kinar ada di situ?"

"Nggak."

"Oh  ... biasanya kalian sedang jalan-jalan." Tebakan Helena kali ini salah.

"Aku mau kasih tahu sesuatu sama Kinar, tapi ponselnya nggak aktif. Makanya aku kira, dia ada sama kamu, Dam," ujar Helena dan cukup membuatku curiga jadinya.

"Nggak, Kok. Coba saja ke rumahnya. Mungkin ponselnya lowbatt, biasanya suka dipakai juga buat remote komputer di kantornya."

"Oh  ... oke kalau begitu. Sorry ya Dam, aku ganggu kamu."

"Nggak apa-apa ... nggak ganggu, kok," balasku pada Helena. Setelah itu Helena menutup panggilan teleponnya.

Selesai panggilan dari Helena. Perasaanku mengatakan bahwa aku harus segera menghubungi Lou. Aku mencoba menghubungi ponselnya, tetapi memang benar tidak aktif. "Mungkin nanti malam diaktifkan," kataku meyakinkan.

Akhirnya aku menyudahi acara bermain membunuh zombie. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.30 WIB, sudah masuk waktu sholat Ashar. Aku bergegas untuk melakukan ritual ibadah wajib. Setelah itu aku berdoa dengan khusyuk untuk keselamatan dan kebaikan Louise---calon istriku.

Jantungku terasa berdetak dengan kencang. Napasku terasa sesak setelah selesai berdoa. Wajah Lou terbayang di pelupuk mataku. Aku berpikir positif, mungkin saja aku terlalu merindukannya.

Beberapa jam kemudian, aku mencoba menghubungi ponselnya lagi, tetapi masih saja belum aktif.

"Kamu kemana, sih, Lou? Kenapa ponselmu ga aktif? Ya Allah ... semoga Louise baik-baik saja."

Louise The Vigor [ Tugas Akhir ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang