Bagian 2

18 4 4
                                    

Makan malam telah selesai. Damian tidak membuang waktu lagi untuk segera mengantarku pulang. Aku juga sudah merasa mengantuk, bahkan mungkin aku bisa saja tertidur lagi di dalam mobil setelah ini. Namun, rasanya tidak etis jika aku terus-terusan menjadi orang yang tidak tahu diri.

"Dam, hari Sabtu nanti, kita jalan-jalan ke Puncak, yuk?" ajakku dengan antusias. Damian yang sedang menyetir pun akhirnya menoleh padaku.

"Kemana?" tanyanya memastikan.

"Cimory, yuk? Sudah lama kita nggak ke sana." Sebenarnya aku tidak benar-benar ingin pergi, hanya saja sepertinya aku ingin menghabiskan waktu bersama pria di sebelahku ini.

"Oke," jawab Damian tersenyum.

Mobil berhenti tepat di depan rumahku. Rasanya enggan turun dari mobil. Aku masih ingin bersama Damian, masih ingin menikmati waktu bersama kekasihku.

"Kok, bengong? Kenapa lagi?" tanya Damian lalu mengusap pucuk kepalaku dengan sayang, "jangan terlalu memikirkan pekerjaan, istirahat dan jaga kesehatanmu, Lou." Damian selalu saja memanggil nama depanku. Padahal semua orang memanggilku dengan nama Kinar, alasannya karena nama depanku seperti nama pria.

"Bukan itu, Dam. Aku sedang memikirkan orang tuaku. Kapan mereka bisa merestui hubungan kita?" ujarku berbohong.

Ya, aku memang berbohong. Aku sama sekali tidak sedang memikirkan masalah restu. Yang kupikirkan saat ini adalah, aku merasa takut kehilangan Damian. Kehilangan orang sebaik Damian. Aneh memang, tetapi itulah yang kurasakan saat ini.

"Sabar. Mereka pasti akan luluh dengan perjuangan kita." Lagi-lagi Damian selalu menenangkan hatiku.

Damian membuka kunci otomatis pintu mobilnya. Setelah itu aku membuka seatbelt dan pamit untuk turun dari mobil. "Dah, sampai ketemu besok."

Damian hanya tersenyum melihatku berjalan menuju pagar rumahku. Aku pun membalas senyuman Damian tak kalah senang.

Lelah. Tentu saja sangat melelahkan. Bukan karena perjalanan kami dari Jakarta--Bogor, tetapi karena pekerjaanku yang belum selesai. Aku masih memikirkan selisih hitungan yang tadi belum sempat kucari letak kesalahannya.

Otakku langsung tertuju pada laptop. Membuka layarnya, lalu membuka aplikasi Team Viewer untuk mengoperasikan komputer kantor. Tampilan layar monitorku menunjukkan file yang tadi aku kerjakan. Beberapa sheet data telah terbuka. Aku mencoba mengkomparasi dengan data lainnya yang aku dapat dari bagian keuangan.

"Huh ... kenapa nominalnya tidak sama dengan pengajuan? Aaaaa  ... Tuhan tolong bantu aku," teriakku frustasi. Aku mengacak rambut dan mengusap wajahku dengan kasar. Entahlah, aku merasa ingin berhenti bekerja saja jika seperti ini.

Baiklah, aku mulai lelah. Sangat lelah. Akhirnya kuputuskan untuk mandi dan segera tidur. Menjelang tidur, aku sempatkan berdoa. Memang terasa naif, aku hanya mendoakan Damian. Padahal, ada orang yang lebih penting yang harus kudoakan sebelum mendoakan orang lain.

"Ah, biarlah. Mama dan papa jemaat yang taat. Pasti Tuhan bisa menjaga mereka dengan baik," begitu ucapku.

Sabtu pagi yang super sibuk. Mama menyiapkan sarapan dengan tergesa. Sedangkan papa menyiapkan kopernya di ruang tamu. Seingatku, kami tidak ada rencana pergi ke luar kota, tetapi kenapa ada dua koper yang disiapkan oleh papa?

"Ma, papa mau pergi kemana?" tanyaku seraya duduk di meja makan, masih dengan memerhatikan gerak-gerik papa yang sedang mengatur barang-barangnya.

"Ke Singapura," sang mama menjawab singkat.

Louise The Vigor [ Tugas Akhir ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang