"Baik, nanti saya akan segera ke sana. Kamu tolong handle semuanya."
Suara orang mengobrol membangunkan Anin dari tidurnya. Sepertinya Anin seringkali tertidur akhir-akhir ini dan bangun dengan suara-suara orang di depan pintunya. Tapi tunggu, ini bukan kamarnya. Seorang pria berjas hitam berdiri didekat pintu dan membelakanginya. Sepertinya suara tadi berasal dari pria tersebut, karena ada handphone yang ia genggam didekat telinganya.
"Kenapa gue ada di sini?" tanya Anin dalam hati. Kepalanya kembali terasa sakit ketika ia berusaha mengingat apa yang terjadinya sebelumnya . Orangtuanya meninggalkannnya, kemudian ia diusir dari rumah, dan ia akan pergi ke toko emas untuk menjual kalungnya, kemudian ada sesuatu yang sangat keras menghantamnya. Ya, ia ingat sekarang. Pasti ia sedang berada di rumah sakit karena tertabak mobil. Dan pria itu pasti yang menabraknya.
'Cklek'
Suara pintu dibuka dari luar, membuat mata Anin memandang kearah tersebut.
"Sudah sadar?" tanya pria yang membuka pintu ketika matanya melihat Anin yang sedang meringis sambil memegang kepalanya.
Pertanyaan tersebut membuat pria yang memegang handphone membalikan badan dan melihat kearah Anin.
Anin membeku. Nafasnya tercekat ketika melihat sosok pria tersebut. Matanya melebar karena terkejut. Mata tajam pria itu memandang lurus kearah Anin.
"Ada keluhan mbak? Atau ada yang sakit?" tanya pria yang membuka pintu yang ternyata seorang dokter. Ia takut terjadi sesuatu karena melihat ekspresi Anin.
Anin diam, tidak menjawab. Pandangannya masih tertuju ke arah pria di depannya.
"Kepalanya masih pusing mbak?" tanya sang dokter karena melihat Anin memegang kepalanya.
Anin melihat sang dokter, kemudian dengan ragu mengangguk.
"Boleh saya periksa dulu?" sang dokter bertanya sambil menjulurkan stetoskop. Anin kembali mengangguk.
Pria yang memegang handphone berjalan ke arah Anin tanpa memutuskan pandangannya.
Dokter kembali berkata, "Sepertinya hari ini juga sudah boleh langsung pulang, karena tidak ada luka serius, dan mungkin tadi mbak-nya terkejut lalu jatuh pingsan."
Anin mengangguk.
"Mbak maaf, mbak siapanya Jarvis ya?" tanya sang dokter menunjuk pria di depannya dengan ibu jari.
"Saya gak percaya tadi Jarvis bilang mbak bukan siapa-siapanya dan cuma orang asing yang tertabrak." Tambah sang dokter.
'Ya memang seperti itu kenyataannya,' ucap Anin dalam hati. Tapi ia tidak ingin mengatakan itu.
"Saya pacar Jarvis, dok." Ucapan itu yang keluar dari mulut Anin. Membuat Jarvis dan sang dokter terkejut tentunya. Entah apa yang ada dipikiran Anin hingga ia berkata demikian.
"Apaan sih, ngada-ngada banget jadi orang." Jarvis berkata dengan ketus.
"Santai aja kali bro, gak usah malu. Kemaren di acara keluarga bilang gak punya pacar. Oh ternyata mau kasih kejutan ya? Atau lagi marahan?" goda sang dokter.
"Oh iya, saya Genta. Gentala Pradipta, sepupu Jarvis." Dokter tersebut mengulurkan tangannya ke arah Anin.
Anin menyambut tangan Genta, "Saya Anindira Maheswari Kalingga, panggil Anin aja," ucap Anin dengan tersenyum.
"Senang bertemu dengan pacar Jarvis. Saya pamit keluar ya, mau visit ke ruangan lain." Genta tersenyum, kemudian berbisik ditelinga Jarvis, "Cakep juga selera lu bro." Genta menepuk bahu Jarvis kemudian keluar dari ruangan.
Setelah kepergian dokter Genta, Anin dihujani tatapan tajam oleh Jarvis. Tangannya bersidekap dengan memandang lurus ke arah Anin membuat Anin susah payah menelan salivanya.
"Maksud lo apa bilang gitu ke Genta? Mau main-main sama gue?" tanya Jarvis dengan dingin.
"G-gue gak, mmh, itu," Anin mendadak kehilangan suaranya. Ia sangat gugup dan takut dipandang seperti itu oleh Jarvis.
"Lo beneran mau main-main sama gue?"
"Jarvis, kali ini gue mohon banget. Gue mau minta tolong sama lo. Gue gak punya tempat tinggal, gue gak punya uang, dan orangtua gue baru aja meninggal kemaren. Tolong gue, gue mau pinjam uang ke lo. Atau kasih gue kerjaan, kalo gak tampung gue aja di rumah lo..." Anin berbicara panjang lebar dengan suara yang menahan tangis.
Sebenarnya Jarvis terkejut dengan kalimat yang diucapkan Anin, tapi ia berusaha untuk tidak menunjukan rasa terkejutnya itu.
"Lo pikir dengan lo bilang, lo pacar gue, gue langsung mau nolongin? Gak ditabrak sampai mati aja udah bagus lo." Jarvis berkata dengan nada tajam.
"Ya, kenapa gak lo tabrak aja gue sampai mati," lirih Anin.
"Karena bukan gue yang nabrak! kalo gue yang bawa mobilnya bakal langsung gue tabrak lo sampai mati."
Airmata Anin turun.
"Lo udah miskin sekarang? Dan ngaku jadi pacar gue supaya lo bisa manfaatin gue kan? Manfaatin keluarga gue? Gue tau otak licik lo!" ucap Jarvis.
Anin mengusap airmata dipipinya dengan tangan. "Tolong Jar, gue udah gak punya tempat tinggal. Cuma lo orang satu-satunya yang gue kenal sekarang." Mohon Anin.
Jarvis tersenyum miring, "Oke! Lo jadi pacar gue sekarang. Lo harus nurut dengan ucapan gue kalo lo mau tempat tinggal."
"lo s-serius?" Anin yang terlihat ragu sekarang. Bagaimana Jarvis dengan mudahnya berubah pikiran?
"Ya! Jadi pacar gue. Dan. Nurut . semua. Perintah gue," ucap Jarvis dengan penekanan ditiap kata. Dan jangan lupakan ekspresi wajah Jarvis yang membuat Anin menyesal telah memikirkan ide konyol tadi.
"Kita pulang sekarang. Dan inget, nurut semua perintah gue."
Anin tahu, hidupnya setelah ini tidak akan baik-baik saja. Tapi, ia tidak punya pilihan lain. Hanya Jarvis yang ia kenal saat ini. Setidaknya dengan Jarvis ia tidak akan menjadi gelandangan, begitu pikirnya sat melihat Jarvis. ia hanya perlu tempat tinggal sementara,kemudian setelah ia mendapat kerja ia akan pergi. Ya, itu ide bagus. Ia hanya perlu bertahan sebentar kemudian pergi jika hidupnya sudah stabil.
Dan Jarvis rasa, tidak ada salahnya bermain-main sebentar dengan wanita licik seperti Anin.

YOU ARE READING
Let Me
RandomHidup Anindira Maheswari Kalingga selalu dipenuhi dengan harta. Manja adalah sifat yang melekat di dalam diri Anin. Sebab, sejak kecil semua kemauannya selalu dipenuhi. Sehingga Anin tumbuh menjadi pribadi yang tidak mandiri. HIngga suatu hari, tuha...