20

120 16 0
                                    

Setiap hari, Alam dan Dea selalu bergantian menjaga Deni di rumah sakit. 

Mereka berdua sudah memindahkan Deni ke rumah sakit yang dekat dari rumah mereka. Anis juga pernah satu kali datang menjenguk. 

Sudah lima hari Deni dirawat di rumah sakit, akan tetapi keadaannya tidak lekas membaik. Wajah dan tubuhnya berubah menjadi kuning pucat. Serta ia kekurangan selera makan, membuat tubuhnya semakin mengurus. 

Sore ini, sepulang dari kerjanya, Dea menjenguk Deni di rumah sakit. Ia belum sempat pulang untuk ganti pakaian. Tapi langsung saja menuju rumah sakit untuk menjenguk ayahnya. 

Sesampainya di rumah sakit, Dea mendapati ayahnya sedang melamun menatap plafon. 

"Yah," panggil Dea hati-hati. Ia duduk di lantai. "Ayah kenapa?" tanyanya khawatir. Saat ini ekspresi Deni sangat beda dari biasanya. 

"Kamu sudah pulang?" Bukannya menjawab pertanyaan Dea, Deni malah melontarkan pertanyaan ganti kepada anaknya. 

"Sudah, Yah," jawab Dea. "Dea bawain buah apel sama bubur ketan hitam, Ayah mau?" tanya Dea. 

"Ayah kenyang, De," tolak Deni. 

"Makan apa? Makanan rumah sakit?" tanya Dea. 

"Iya," jawab Deni berbohong. Entah mengapa akhir-akhir ini ia tak memiliki selera makan. Perutnya selalu terasa kenyang walaupun belum makan. 

Mendapati penolakan dari ayahnya, Dea hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan pelan. Sebenarnya ia tahu kalau akhir-akhir ini ayahnya susah makan, tapi ia selalu gagal untuk membujuk ayahnya untuk makan. 

Membawakan makanan kesukaan sudah Dea lakukan, tapi hasilnya selalu nihil. Deni selalu saja menolak. 

"Soal pernikahan, kamu sudah dapet jawabannya?" tanya Deni sambil matanya menatap plafon dan tidak menatap Dea. 

"Belum, Yah," jawab Dea lirih. Ia takut akan membuat ayahnya kecewa karena menolak pernikahan yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan. 

Deni menghembuskan nafas berat. Ia tak mengatakan apa-apa lagi. Hanya diam saja sambil menatap plafon. 

"Ayah lagi mikir apa?" tanya Dea sambil menatap plafon juga. 

"Nggak ada," jawab Deni pelan. "Ayah sayang kamu," gumamnya lirih nyaris tanpa suara. Namun samar-samar Dea dapat mendengarnya. 

"Dea juga," balas Dea. 

Hening. 

Keduanya terdiam beberapa saat. Tidak ada yang berniat membuka percakapan. 

"Dea tinggal ke toilet sebentar ya, Yah. Mau cuci muka sama kaki," pamit Dea dan diangguki oleh Deni. 

Dea pergi ke toilet dengan membawa subun wajah dan telah memakai sendal jepit yang sengaja ia taruh di tas ranselnya tadi. 

Setelah selesai dari toilet, niatnya Dea ingin langsung pulang ke kamar Deni. Namun di tengah perjalanan ia bertemu dengan teman kerjanya. 

"Dea di sini juga? Jenguk siapa?" tanya Natan-- karyawan bagian gudang di perusahaan yang sama dengan Dea. 

"Iya. Kamu di sini juga?" tanya Dea balik. 

"Iya. Jenguk kakak ipar baru melahirkan," jawab Natan. 

"Wah ... jadi Om nih, ye? Selamat kalau gitu," kata Dea masih dengan menjinjing sebuah tas kain kecil berisi sabun wajah. "Kalau aku lagi nungguin Ayah," kata Dea lagi. 

"Ayah kamu sakit? Semoga cepat sembuh," kata Natan. 

"Makasih. Aku duluan, ya," pamit Dea dan diangguki oleh Natan. 

Natan dan Dea memang cukup dekat. Karena mereka bekerja sama-sama ingin mencari uang untuk lanjut ke pendidikan yang lebih tinggi. 

Setelah Dea sampai di ruang rawat inap Deni. Ia mendapati ayahnya sedang terpejam sambil tersenyum kecil. 

Perlahan-lahan Dea mendekati ke arah sang ayah. Ia sengaja berjingkat agar tidak membangunkan Deni yang sedang tertidur pulas. 

Namun Dea curiga melihat tidur ayahnya yang tidak lazim. Ia mendekat dan mengecek kondisi ayahnya. 

Ternyata kenyataan berhasil menghempaskan Dea ke jurang terdalam. 

Tubuh ayahnya dingin dan denyut nadinya sudah tidak ada. 

Dea langsung sigap memanggil suster. Lalu suster dan dokter memeriksa keadaan Deni. 

Kata-kata sang dokter mampu membuat jantung Dea seperti dicopot dengan paksa. Sakit. 

"Bapak Deni sudah tidak ada."

Itu adalah kata-kata horor yang tidak ingin Dea dengar. Air matanya mengalir deras. Pandangan matanya sampai mengabur akibat terkena air mata. 

Mengapa perpisahan begitu cepat? Belum ada satu tahun Dea mengenal ayahnya. Namun sekarang ayahnya sudah pergi di panggil Tuhan. 

Ia terduduk lemas di lantai sambil bersandar pada dinding. 

Andai waktu dapat diputar ulang, Dea tidak akan meninggalkan ayahnya untuk ke toilet. Ia ingin berada di sisi ayahnya saat menghembuskan nafas terakhirnya.

Dan ... ia ingin mengatakan kepada ayahnya, kalau ia menerima Alam untuk jadi suaminya. Ia ingin membuat Deni bahagia. Tidak seperti jawaban yang ia berikan tadi. 

Dengan tangan gemetar, Dea langsung menghubungi Alam dan Anis. Kurang lebih tiga puluh menit kemudian, keduanya sampai di rumah sakit. 

"Ayah sudah di kamar jenazah," kata Dea sambil terisak. 

Melihat putrinya menangis pilu, Anis langsung memeluk Dea dengan erat. Walaupun ia dan Deni sudah tidak memiliki hubungan apa-apa, tetap saja ia merasa kehilangan. Tapi ia harus tegar, agar Dea tidak kehilangan sandaran. 

***

Jenazah Deni dimakamkan malam ini juga. Karena Deni sudah tidak memiliki keluarga di kampung, jenazahnya dimakamkan di kota. Dekat dengan tempat tinggal Dea dan Alam. 

Sepanjang waktu, Dea terus saja menangis. Matanya sudah bengkak karena terlalu lama menangis.

"Masuk, De. Sudah malam," kata Alam lembut. 

Sepulang dari pemakaman, Dea duduk di kursi teras sambil menatap kosong lurus ke depan. 

Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Para tetangga yang membantu proses pemakaman, satu persatu sudah pulang karena pekerjaan sudah selesai. 

Karena Dea hanya diam saja, Alam memapah Dea untuk masuk ke dalam kamarnya. Dan beruntung perempuan itu menurut saja dan tidak memberontak. 

"Istirahat, De. Besok aku ke sini lagi," ucap Alam. Ia lalu keluar dari kamar Dea dan menutup pintunya. 

"Dea sudah masuk kamar?" tanya Anis yang baru muncul dari arah dapur. 

"Sudah, Mak. Alam pulang dulu ya, Mak. Besok ke sini lagi." Alam berpamitan. 

"Nggak tidur sini?"

"Tidur di rumah aja, Mak. Toh cuma beberapa meter dari sini."

"Ya udah. Hati-hati," pesan Anis melepas kepergian Alam. 

Rumah alam memang tidak terlalu jauh dari rumah Dea. Lebih kurang dua KM. Alam yang sudah membeli motor beberapa hari lalu, pulang ke rumah menggunakan motor barunya. 

Awalnya memang ia tak berniat membeli motor, akan tetapi setelah dipikir-pikir, motor sangat penting untuk aktivitasnya. Terutama untuk ke restoran dan rumah sakit menjenguk Deni. 

Sepanjang perjalanan, Alam terus teringat akan kebaikan Deni. 

Ia yang tak memiliki sosok ayah, bisa mendapatkan kasih sayang seorang ayah dari Deni. 

"Semoga tenang di sana, Tuk," gumam Alam di tengah perjalanan. 

Sementara itu di rumahnya, Dea melamun dengan tubuh yang terbaring di atas ranjang. Perempuan itu merasakan kehilangan yang teramat sangat. Sejak tadi ia menangis dalam diam, hingga matanya menjadi bengkak dan hidungnya merah.

"Ayah," lirihnya.

***

My Father Is Cindaku (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang