18. Can m<3?

3.9K 436 25
                                    

📜

Terimakasih sudah berjuang sampai, semarang.

———

“Kau mengenal Lee Jeno?” Tanya Haechan.

“Aku tidak terlalu mengenalnya. Tapi aku mendengar namanya dari sahabatku, Jaemin. Itupun karena mereka berdua teman sekamar diasrama.” Renjun menjawab sambil sesekali mengaduk minuman milik dirinya. Haechan mengangguk, lalu menyesap minumannya sebelum kembali bicara.

“Kalau kau ingin tahu aku siapanya. Aku sepupunya, dulu kami sering bermain bersama. Sebelum aku pindah ke China.”

“Aku tidak ingin tahu kau siapa.” Balas Renjun. Haechan menatapnya, namun Renjun tidak menatapnya balik. Laki-laki kelahiran Juni itu menyenderkan tubuhnya pada sandaran bangku tersebut. Iris matanya masih terus mengarah kepada Renjun.

“Tapi sepertinya kau perlu tahu aku ini siapa.” Ujar Haechan. Dahi Renjun berkerut kebingungan. Ia baru saja bertemu dengan lelaki ini, tapi malah memaksa untuk mengenalnya. Pengenalan secara paksa, itu sedikit aneh.

“Aku yakin, sebelum pertemuan yang tidak sengaja terjadi ini. Kita akan dipertemukan kembali, tetapi dengan suasana yang berbeda tentunya.” Haechan berkata cukup membingungkan bagi Renjun. Pasalnya, perkataan laki-laki dihadapannya ini sangat aneh. Apa Haechan bisa melihat masa depan? Entahlah, hanya dirinya dan Tuhan yang Maha Esa yang tahu semuanya.

———

Prosesi pemakaman ibu Jeno sudah selesai. Semua kerabat sudah kembali kerumah masing-masing sejak lima menit yang lalu. Tersisa Jaemin dan Jeno di pemakaman itu. Jeno masih enggan beranjak, senyum dibibirnya tidak luntur sambil sesekali mengusap nisan bertulis nama ibunya.
“Jeno, hari sudah mau sore. Ayo pulang, nanti jalanan macet.” Ajak Jaemin. Jeno mengangguk.

“Sebentar, aku pamitan sama ibu dulu.”

“Ibu Jeno pulang ya. Jeno akan kesini saat Jeno sudah sukses nanti! Semoga ibu menemukan kebahagiaan ibu disurga sana ya! Jeno sayang ibu, selamat jalan..” Jeno berdiri dari duduk simpuhnya. Ia memutar tubuhnya yang kini berhadapan pada tubuh tinggi Jaemin.

“Ayo pulang, aku mengantuk!” Ucap Jeno. Tangan kanannya membuat gestur menguap, Jaemin tertawa menahan kegemasannya pada bocah ini.

Jaemin memarkirkan mobilnya pada halaman rumah Jeno. Anak itu sudah tertidur sejak diperjalanan tadi. Sepertinya ia lelah terus menerus menangis. Menggendong tubuh itu dengan ala bride style menuju kamar milik Jeno. Membaringkannya, Jaemin membuka alas kaki Jeno lalu menutupi tubuh itu dengan selimut. Barusaja hendak keluar dari kamar Jeno, laki-laki itu menahan tangannya.

“Eum, gulingku jangan pergi! Sini, kok malah jalan-jalan!” Jeno mengingau. Mau tidak mau, Jaemin ikut berbaring di samping Jeno. Anak itu memeluk tubuhnya begitu erat, mungkin sangking kantuk yang mendera-dera ia tidak sadari kalau yang dipeluk itu adalah Jaemin. Musuhnya dulu.





Sinar remang-remang matahari dibalik gorden, tidak mengusik kedua anak adam dalam nyenyaknya menjelajahi dunia alam bawah sadar. Dengan posisi salah satu dari keduanya yang memeluk erat, bagai tidak ingin kehilangan. Suara lenguhan seorang yang baru bangun menyambut salam di pagi hari ini. Dirinya sangat amat terkejut ketika baru terbangun. 

HOMOPHOBIC - JAEMJENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang