CERPEN || Why Me?

6 1 0
                                    

Nama Kelompok: Four Lights.

~Yunita Islamiati.
~Khalisa Anggrainy.
~Zulfa Safinatu Naza.

Judul: Why Me?

Getaran pada meja yang dicengkeram kuat oleh tangan mungil menjadi saksi betapa takutnya seorang gadis kecil di bawah meja. Peluh membasahi dahi putih nan bersih juga menjadi saksi ketakutannya.
"Tania!" Panggilan halus yang memiliki makna tersirat membuat gadis kecil di bawah meja mengeratkan pelukannya. Suara tak asing yang terdengar di lantai diikuti langkah kaki membuat Tania tak berani mendongakkan wajahnya untuk melihat lebih jelas siapa yang akan datang.
"Tania!" Lagi, suara itu semakin dekat.
"Jangan berani lawan Ayah! Kamu bakal tau konsekuensinya apa," ujar laki-laki berumur tiga puluhan tertawa.
Tania menangis. Terbayang apa yang akan terjadi jika sang Ayah mengetahui keberadaan Tania. Benar, belum ada dua menit ia membatin, bayangan hitam yang terlihat dari bawah meja sudah tepat di depannya. "Aaa!" Tania berteriak ketakutan saat meja yang menjadi tempat pesembunyiannya telah dibanting.
Anton, nama laki-laki itu yang menjadi ayah kandung Tania. Ia menyeringai, mengusap pipi mulus Tania dengan lembut. "Tania anak kesayangannya Ayah," ujarnya manis.
Tania menggeleng, tidak ingin hal itu terjadi lagi hari ini. Ia sudah berupaya kabur dari rumah, namun Anton selalu mencegah.
"Ja--jangan, Yah ... Tania ma--sih kecil ...." tutur Tania terisak.
Usapan lembut di pipi seketika menjadi kasar saat Tania melontarkan kalimat itu.
"Karena kamu membangkang, Ayah akan beri hukuman yang lebih parah hari ini." Anton berdiri dari tempatnya. Benda keras yang ada di genggamannya sudah mengambang di atas, siap untuk dijatuhkan pada Tania.
"Ibu ... Tania butuh Ibu ...."
●●●

Tania berlari kencang menuju kamar tidur sebelum ayahnya datang dan kembali menyiksanya. Benda kokoh yang menjadi pelindung segera ia kunci lalu bersembunyi di sudut kamar tepat di sebelah lemarinya.
"Tania, buka pintunya!"
Tania menutup kedua telinganya seraya menangis ketakutan.
"Tania, Ayah bisa merusak pintu kamarmu ini!"
Gadis kecil yang telah tumbuh dewasa sudah pasrah dengan nasibnya, hanya bisa menangis dalam diam. Namun, keberuntungan masih melindunginya karena ia mendengar dering telepon dari ponsel ayahnya. Suara gebrakan pintu dan teriakan Anton perlahan menghilang.
Tania menghela napas pelan seraya mengatur napasnya yang sesak akibat menangis. Walau ia tau sang Ayah akan datang kembali, namun Tania bersyukur karena selamat saat ini. Air mata yang tersisa di pipinya menjadi saksi kesesakan yang terbenam di hati.
"Mengapa hidupku seperti ini?"
"Mengapa Ayah sangat jahat?"
"Mengapa orang lain bisa menikmati hidupnya dengan baik, tapi aku tidak?" Rasa panas menjalar pada manik cokelat Tania mulai memerah, cairan bening itu telah menumpuk pada pelupuk matanya. Hingga beberapa detik kemudian, raut wajah yang sendu kini terlihat mengerikan.
"AAAA, MENGAPA AKU DITAKDIRKAN SEPERTI INI?!" teriak Tania disambut oleh suara petir yang menyambar langit.
DUARRR!!!
Rintikan hujan terdengar berusaha menembus genting hingga akhirnya jatuh membasahi tanah. Tepat dan pasti, rintikan hujan itu berubah menjadi hujan yang amat deras diiringi angin kencang. Cahaya yang terpancar dengan sempurna di langit kamar seketika menjadi redup. Keadaan menjadi gelap, tapi itu tidak membuat Tania merasa takut karena sudah terbiasa dalam kegelapan.
Waktu semakin larut, Tania meringkuk di atas kasur dengan mata terpejam. Anton, laki-laki itu seketika menghilang setelah mengusik Tania. Suara hujan yang saling beradu seraya embusan angin mengiringi kesendirian gadis cantik yang membutuhkan pelukan. Membuat tubuh lelah seorang Tania perlahan masuk ke alam bawah sadar.
●●●
Sejauh mata memandang, ia hanya melihat padang rumput yang terhampar luas di depan sana. Semilir angin menerbangkan rambut hitam nan lurus gadis itu. Tidak ada seorang pun di sana selain dirinya sendiri bersama kupu-kupu yang tampak terbang bebas. Tania benar-benar seorang diri.
Tapi, saat membalikkan tubuh, tiba-tiba di belakangnya hadir sosok laki-laki dengan pakaian berwarna putih. Rambutnya lurus berwarna cokelat, berkulit putih, bola mata berwarna yang indah membuat siapa saja tenggelam dalam pesonanya, dan ia menggenggam bunga anyelir. Tania dilanda kebingungan dengan siapa sebenarnya sosok laki-laki yang membawa bunga anyelir itu tepat di depannya sekarang. Ketika Tania akan bertanya mengenai dirinya, suara berat sosok laki-laki itu menginterupsi Tania terlebih dahulu.
"Jika setiap manusia memiliki kesempatan dilahirkan kembali di dunia ini, kamu ingin yang seperti apa?" tanya laki-laki itu sembari melangkah maju ke arah Tania kemudian duduk menyandar pada batang pohon besar. Bola mata nan indahnya memandang lurus ke depan.
Tania mengerjapkan matanya bingung. "Mengapa tiba-tiba kamu bertanya seperti itu? Siapa kamu? Dan bagaimana bisa kamu ada di sini?" Pertanyaan bertubi-tubi terlontar begitu saja dari mulut gadis itu.
"Aku Flynn," jawab laki-laki yang bernama Flynn tanpa menjawab pertanyaan Tania sebelumnya.
Tania mengikuti Flynn, duduk disampingnya, bersandar pada batang pohon besar.
"Jika aku dilahirkan kembali, aku tidak ingin ibuku meninggal saat melahirkanku. Bahkan, jika bisa, aku tidak mau lahir hingga hidupku menjadi seperti ini. Ayahku pasti tidak akan menyiksa dan menyalahkanku atas kematian ibu. Aku ingin hidup bahagia bersama ayah dan ibuku. Memiliki keluarga harmonis dan bahagia adalah keinginanku yang tak akan pernah terwujud," tutur Tania tersenyum getir. Entah mengapa tiba-tiba ia mengutarakan perasaan pada seseorang yang tak dikenal.
Flynn tidak memberikan respon apa pun, ia membiarkan Tania mengeluarkan keluh kesahnya selama ini.
"Aku bahkan belum pernah melihat secara langsung wajah ibuku. Hanya melihatnya pada album foto yang disimpan Ayah di gudang. Aku menemukannya ketika Ayah mengurungku di sana selama dua hari. Wajah ibuku sangat cantik dengan lesung pipi yang tercetak ketika ia tersenyum lebar menghadap kamera dengan perut buncit seraya dirangkul oleh Ayah. Aku tidak pernah melihat ayah sebahagia itu. Aku benci diriku sendiri karena telah merenggut kebahagiaan sosok ayah dan ibuku yang saling mencintai dengan lahirnya aku di dunia yang bahkan sepertinya tidak menerimaku."
Tak terasa pipi Tania sudah banjir oleh air mata. Bunga anyelir yang masih dalam genggaman tangan Flynn berayun-ayun karena semilir angin. Flynn tetap diam tidak memberikan respon apa pun. Tanpa aba-aba, tangan Flynn terulur untuk memeluk Tania. Tangisnya langsung pecah dalam dekapan laki-laki misterius itu. Beban yang ada di pundak Tania perlahan luruh
Gadis cantik dan rapuh itu benci terhadap takdir yang selalu tidak berpihak kepadanya. Tania kecewa dengan dirinya sendiri. Sampai saat ini, ia menyalahkan diri sendiri karena hanya membuat ayahnya menderita dengan perginya sang ibu. Sosok wanita yang sangat dicintai ayahya. Namun, Tania juga tidak ingin terjebak dalam keadaan yang sangat rumit ini.
Tangan besar Flynn mendekap erat Tania. "Apakah kamu ingin bertemu dengan ibumu, Tania?" tanyanya.
Tania mendongak menghadap Flynn dengan mata dan hidung yang memerah karena menangis. "Aku sangat ingin menemui ibuku, tapi itu sangat mustahil," ucapnya.
Flynn hanya tersenyum. Senyuman itu manis sekali hingga Tania terpesona oleh indahnya senyuman Flynn. Tiba-tiba, laki-laki misterius itu berdiri lalu menggandeng Tania tanpa berkata apa-apa, pergi menuju suatu tempat. Tempat itu tak jauh, keduanya sampai di taman yang dipenuhi oleh bunga anyelir berwarna pink. Terlihat di tengah taman ada sosok wanita yang sangat cantik mengenakan gaun putih, duduk di kursi membelakangi Tania dan Flynn. Tania semakin bingung dengan semua ini, hingga wanita itu menoleh ke belakang dan membuat Tania terkejut.
Mengapa wanita itu mirip dengan yang ada di album foto?
Mengapa wanita itu ada di sini?
Berbagai pertanyaan timbul tanpa bisa dicegah. Perasaan Tania tidak karuan antara rindu, sedih, dan bahagia. Sosok wanita itu tersenyum lembut ke arahnya. Kaki jenjang nan mulus melangkah perlahan menuju Tania. Tangan lembutnya mengusap air mata yang jatuh di pipi Tania.
"Putriku yang cantik," ucap wanita itu disertai lirihan.
"I—ibu?" Sosok wanita cantik dengan lesung di pipinya mengangguk perlahan. Tania menghambur ke pelukan ibunya. Tanpa diminta, bayangan ayahnya yang memperlakukan Tania dengan sangat kejam masuk ke otak membuat kepalanya sangat sakit. Tania tidak bisa menikmati hangatnya pelukan sang ibu dengan tenang. Rasa bersalahnya semakin menyeruak hebat.
"Kenapa ibu meninggalkan Tania dengan ayah? Ayah sangat jahat, Bu ... Tania mau ikut ibu saja. Tania tidak mau bersama ayah," tutur Tania di tengah isakan tangisnya.
Ibu Tania melonggarkan pelukan. Menangkup kedua pipi Tania dengan lembut. "Jika kamu ikut ibu, lantas ayah tidak akan mempunyai siapa-siapa lagi."
"Tapi, Tania juga tidak punya siapa-siapa sekarang. Ayah tidak menganggap Tania, Bu," elak Tania.
"Bagaimana ayah bisa tidak menganggapmu sedangkan sosok ibu juga ada di dalam dirimu," jelas ibu Tania. Sembari mengusap lembut rambutnya, ia berkata lagi, "Menangkan hati ayahmu, Tania. Ayahmu hanya kesepian. Jangan tinggalkan ayah. Ibu mencintai kalian berdua. Ibu akan selalu berada di hati kalian berdua."
Pesan sang ibu ditutup dengan kecupan. Tania merasakan kasih sayang yang besar dari ibu. Akan tetapi, ia tidak tahu cara untuk memenangkan hati ayahnya jika dirinya saja sudah kalah dengan keadaan. Seketika wanita cantik yang menjadi ibu Tania hilang terbawa oleh angin. Bunga anyelir yang semula berwarna pink berubah menjadi warna merah.
Tania menoleh ke samping. Flynn masih berada di sebelahnya. "Terimalah takdirmu, Tania. Cintailah dirimu sendiri. Kamu sangat berharga bagi ibumu. Kamu harus mampu bertahan menghadapi keadaan ini," ucap Flynn.
Hancur. Itulah yang dirasakan Tania sekarang. Ia belum mampu mencerna lebih dalam lagi perkataan Flynn. Ia masih meratapi kepergian ibunya. Amanah ibunya untuk memenangkan hati ayahnya terngiang-ngiang di benak Tania. Semua terasa menyesakkan. Semua sangat melelahkan bagi Tania.
Seketika ia menyadari sesuatu. Jika ibunya yang baru saja ditemuinya menghilang, apakah Flynn juga akan menghilang?
Tania menggelengkan kepalanya. Berupaya untuk mengelak kenyataan. Tania sudah cukup merasakan kehilangan. Tania tidak ingin kehilangan Flynn. Namun, tubuh Tania tiba-tiba merasa sakit dan pandangannya kosong. Ia merasakan sesuatu yang dirinya harus lebih kuat dari sebelumnya.
●●●
Di dalam ruangan gelap itu Tania masih merengkuh tubuh ringkihnya sendiri. Matanya terpejam, namun air mata selalu mengalir dari kedua sudut matanya. Sebuah usapan lembut pada rambutnya membuat ia membuka matanya melihat sang empu. Tatapan teduh itu, senyum manis serta peluk hangat, benarkah hanya mimpi? Tania menggeleng sambil terisak tak ingin menerimanya kenyataan. Flynn, laki-laki itu tak nyata.
"Apa kamu juga akan pergi?" tanya Tania parau.
"Aku hanya mimpimu. Aku hanya bunga tidurmu, seperti halnya bunga yang tak semuanya bisa mekar. Begitu pun mimpimu yang tak semua harus jadi nyata," jawab Flynn.
Tangis Tania pecah, dadanya sesak seakan batu besar tengah menghimpitnya. "Mengapa aku harus bangun dari mimpi yang seperti kenyataan dan menelan hari lain seperti mimpi buruk ...." lirih Tania.
"Tapi, manakah yang nyata? Duniaku tanpa Flynn, satu-satunya yang aku miliki hanyalah memimpikannya." Tania mencoba mengulurkan tangan untuk menyetuh bayangan Flynn, namun tak bisa. Seharusnya Tania melepaskan, Flynn hanyalah mimpinya. Tapi, Tania seakan tak peduli oleh kenyataan itu. Flynn adalah mimpi buruk yang indah bagi Tania.
"Aku ingin hidup dalam mimpi ini ..."
Tania kembali memejamkan mata.
"Aku tak ingin bangun ...."
Bunga anyelir merah itu masih tergenggem erat olehnya.

~END.

cerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang