CERPEN || Home Sweet Home.

4 2 3
                                    

Nama Kelompok: Kelompok Sajak Literasi.

~Adrian Saputra.
~Shafira Ariani.
~Neneng Muala.
~Riri Juniar.

Judul: Home Sweet Home.

Kendrick Office. Sebuah nama perusahaan yang sudah dikenal di kalangan Indonesia juga Prancis. Karena perusahaan itu juga sudah membuka cabang di Prancis dari 6 bulan yang lalu. Sesuai namanya, perusahaan itu didirikan langsung oleh seorang wirausaha, yaitu Kendrick Lucki. Seorang pria yang sudah memasuki kepala empat. Selain seorang wirausaha, Kendrick Lucki juga seorang kepala keluarga. Ia mempunyai seorang gadis cantik yang berumur 16 tahun, bernama Ribella Utami Kendrick. Seorang gadis periang yang pandai menyimpan luka.

          "Ma? Hari ini Bella ada pengambilan rapor jam 10 ya, Ma? Tapi Bella tetap masuk sekolah. pulangnya siang kok. Nanti Bella tunggu di depan gerbang sekolah, ya? Karena kan Mama gak pernah tahu kelas Bella. Bisa, kan, Ma?" tanya Bella sambil memakan rotinya yang sedang di meja makan. Gadis itu menatap wajah mamanya yang sama sekali tak menatapnya. Seorang perempuan cantik yang masih terlihat muda itu sedang sibuk mengecek tasnya.
        "Bi?! Saya berangkat ya, Bi! Jangan lupa rapikan rumah!" teriak Luna Rain Utami, ibu dari Ribella.
       "Iya, Nyonya!" ucap Bibi patuh yang sehabis dari dapur.
       Luna pun langsung keluar dengan terburu-buru. Ribella yang melihat itu panik karena sang mama belum menjawab pertanyaannya.
       "Ma! Tunggu, Ma!" teriak Ribella sambil berlari ke garasi mobil. "Ma? Nanti Mama bakalan ke sekolah Bella, kan?" cegah Bella saat sang mama mulai memasuki mobilnya.
      "APA SIH, BELLA?! MAMA LAGI BURU-BURU!" sentak Luna sembari mendorong putrinya agar menjauh dari pintu yang ingin dimasukinya.
     "Ta-tapi, Ma? Mama nanti bakalan ambil rapor Bella, 'kan di sekolah?" tanya Bella sambil terus mengetuk jendela mobil yang sudah ditutup rapat-rapat oleh mamanya.
      Sang mama benar-benar tak peduli apa yang diucapkan oleh putrinya. Ia langsung menancap gas begitu saja. Meninggalkan putrinya yang sedang menatapnya sendu.

•••

      "Woi, Bella! Diem aja lo?" tepukkan di bahu Bella mampu membuat gadis itu terkejut. Ia menoleh ke samping yang sudah ada sahabatnya, Salwa. Gadis berambut pendek itu tersenyum ramah padanya. "kenapa? Lagi ada masalah? Lagi galau, ya?" gurau Salwa yang langsung dapat delikan dari Bella.
      "Hah? Galau? Ya... kali.." Mata Bella tak sengaja menatap seorang cowok yang berpas-pasan dengan dirinya. Reno, ya, itu nama seorang cowok yang sedang ditatap langsung oleh Bella yang ingin memasuki kelas. "Hm." Seakan tersadar, Bella mengerjapkan matanya berkali-kali. "lo mau keluar, ya? Hm.. bisa minggir sedikit? Gue sama Salwa mau masuk."
     Reno tersenyum sambil mengangguk, "Of, course. Silakan lewat." Bella dan Salwa mengangguk. Ia memasuki kelas dan langsung duduk di kursi biasanya.
    "Nanti siapa yang mengambil rapor lo?" tanya Salwa setelah duduk di bangkunya.
      Bella nampak berpikir, "Kayaknya pembantu gue lagi," ujarnya sembari tersenyum manis. Salwa hanya membulatkan mulutnya sembari mengangguk.
      "Eh, gue mau cerita nih," ujar Salwa secara tiba-tiba.
       Bella menatap sahabatnya dengan antusias. "Apa tuh?"
      "Masa ya.. katanya Ibu gue mau ngambil rapor gue nanti, tapi bareng Ayah gue. Gue jadinya males," decak Salwa sambil memutar matanya.
      "Loh? Bukannya bagus?"
        Salwa menggeleng keras. "Ibu sama Ayah gue 'tuh terlalu lebay. Nanti gue bisa-bisa dipanggil dedek. Ditanyai sama Ayah 'udah makan belum?' Di depan anak-anak lain. Mending satu kali, Ayah gue mah bisa nanya 10 kalian. Malu gue, dikira anak bocah!" rengek Salwa. Sedangkan Bella, ia langsung mengalihkan pandangannya sambil tersenyum getir. Mau gantian posisi, Sal?
       "Lu kenapa Bel, ada masalah?" tanya Salwa yang merasa heran melihat sosok Bella. Gadis ceria itu mendadak kalem dan memilih menelungkupkan kepalanya di meja. "Sini cerita sama Salwa yang super duper cantik," sambung Salwa dengan percaya diri.
       Bella yang mendengar kenarsisan Salwa pun akhirnya memilih mengangkat kepalanya dari meja, lalu menatap Salwa dengan pandangan yang sulit diartikan. Dilihatnya Salwa secara saksama dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Cantik sih, tapi...," gumam Bella yang masih bisa didengar oleh salwa.
       "Tapi? Udah deh, akuin aja kalu gue tuh emang cantik luar dalam!"
       "Kepedean lu, Sal!" kekeh Bella sambil menoyor kepala Salwa yang tingkat kenarsisannya mulai tidak tertolong. "Yaudah yok ke kantin aja, gua laper mau makan siomay Mang Acep yang nikmatnya tiada tara itu," sambung Bella yang mulai beranjak keluar kelas meninggalkan Salwa.
        Di sinilah Bella berada, di sudut kantin  sekolah sambil menikmati seporsi somay ekstra cabe ditemani dengan segelas es teh sebagai pelengkap. Belum sempat Bella menyuapkan somay lagi  ke dalam mulutnya, tiba-tiba kursi di depannya ditarik  dan diduduki oleh Salwa yang sudah memasang wajah cemberut. Bella yang melihat hal itu hanya memutar bola matanya malas.
        "Lu kenapa, si, Bel hari ini? Hobi bener ninggalin gue sendiri. Entar gua ilang diculik wewe gombel gimana? entar lu malah nangis karena kehilangan temen yang cantiknya kayak bidadari ini." omel Salwa dengan tampang marah yang dibuat-buat. Bukannya takut Bella malah tertawa melihat wajah Salwa yang terlihat menggemaskan alih-alih menyeramkan.

         Bella bersyukur memiliki teman seperti Salwa, tapi dia tidak bisa bercerita tentang masalahnya dengan sahabatnya itu. Pasti yang ada Bella akan ditertawakan, alih-alih mendapat simpati. Bella memang tersenyum, tapi mata gadis itu menyimpan banyak rahasia. Tanpa diketahui ada seseorang yang memperhatikan kedua gadis itu dari kejauhan. Reno.
         "Kamu beruntung banget, ya, Bel. Punya sahabat baik, punya keluarga kaya. Apa aku bisa ... ah, bodoh, mana mau Bella sama aku," gumam Reno sambil mengacak rambutnya, lalu melangkah ke kelas.
      Salwa meninggalkan Bella sendiri, dia tergesa-gesa menghampiri ayah dan ibunya. Salwa tak ingin menjadi pusat perhatian. Oleh karena itu, sebelum terlambat dia akan mencegah keributan yang timbul.
        Sedangkan Bella merenungi nasibnya. Hanya ada sedikit harapan Kendrick Lucki ataupun Luna Rain Utami mau ke sekolah, mengambil rapor anak mereka.
      Bella mengembuskan napas kasar, merasa bodoh meminta mamanya datang. Percuma usaha gadis itu belajar mati-matian untuk mendapatkan simpati. Toh, akhirnya tidak ada yang peduli.

SEMUA ORANG HANYA PEDULI DENGAN UANG!

•••

        "Makasih ya, Bi. Udah mau ambil rapor Bella untuk ke sekian kalinya," ujar Bella sembari tersenyum. Setidaknya, ia tidak ingin orang-orang mengetahui kesedihannya. Terlalu lebay jika dipikir. Ia yakin, tak hanya ia yang merasakan sakit setiap detik hidupnya.
       "Iya, Non. Untuk ke sekian kalinya juga Non dapat juara kelas. Seharusnya Nyonya sama Tuan lihat ini," ujar Bi Supi sembari tersenyum getir. Mau bagaimana pun Bi Supi seorang ia tahu betul bagaimana perasaan seorang gadis di sebelahnya ini yang lagi dan lagi hanya menampilkan senyuman.
      "Ayo, Bi, kita pulang!" ajak Ribella yang tak ingin air matanya tumpah di area sekolah.
      Ia dan Bi Supi memasuki mobil jemputannya. Ia langsung memeriksa rapornya dengan tempo pelan. Dilihat kolom tanda tangan orang tua. Bukan tanda tangan orang tuanya yang di sana, melainkan tanda tangan pembantu rumah tangganya.
      Semua kenangan teringat jelas ketika ia melihat tangannya yang banyak membiru. Bahkan terdapat luka yang tak bisa hilang sedari kecil.
    "Pa! Maafin Bella! Bella janji, Bella gak akan minta mainan barbie lagi!" isak Bella kecil sembari meringkuk, karena sang Papa terus mencubitinya.
      Bella terburu-buru mengadahkan wajahnya, ia tak ingin sopir ataupun pembantunya melihat dirinya menangis, sangat memalukan menurutnya.

        "Kamu ngapain sih, main ke Papa, Bella?! Hah?! Kertas-kertas Papa jadi kotor semua gara-gara kena kopi! Kamu bisa tidak diam saja di kamar?!"
     "Ta-tapi, Pa... Be-Bella Cuma mau ajak Papa makan bareng," cicit Bella.

Plak!

        "Kamu itu udah SMP! Bisa tidak jangan pusing in Papa! Keluar!" sentak Kendrick.
       "Ta-tapi, Pa? Be-Bella salah di mana?" tanya Bella dengan memberanikan diri.
Plak!
      "Kami tanya salah kamu di mana?! Kamu ganggu Papa yang lagi kerja!"
       Bella langsung menundukkan wajahnya, "Ma-maaf, Pa." Kendrick langsung menarik putrinya agar keluar dari ruang kerjanya.

       "Non? Non gak apa-apa?" tanya Bi Supi yang melihat anak majikannya itu sedang membyang napas berkali-kali. Bella yang sudah tak mampu bicara hanya mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Sungguh, itu semua sangat menyesakkan. Ke mana... ke mana perginya cinta dan sayang seharusnya ia dapat? Apa pergi bersama pekerjaan kedua orang tuanya? Ma, Pa? Bella sayang Papa sama Mama. Tapi, Apa Mama dan Papa merasakan hal yang sama?
        RIbella, gadis yang selalu terlihat tangguh juga terlihat sempurna ternyata memendam luka yang begitu berat. Kehidupan yang dilihat semua orang sempurna justru sangat menyeramkan baginya. Dirinya hanya seorang gadis, seorang gadis yang selalu kebingungan dari ia mengenal arti kasih sayang. Ia yang selalu tidur sendiri dari kecil itu merasa heran dan bertanya-tanya. Siapakah yang akan menyayangi dan cinta kepada dia kalau bukan Mama dan Papanya? Bukankah kedua orang tua itu yang harus memperkuat mental juga fisiknya? Mengapa kedua orang tuanya yang justru menghancur leburkan mental juga fisik.

•••

        Suara deruman mobil memasuki pekarangan bagasi dengan suara yang kencang. Hal itu membuat atensi fokus Ribella pada buku teralihkan. Cepat-cepat ia melihat dari jendela kamarnya yang terletak di lantai atas.
Pak!
        Kendrick memasuki rumahnya dengan tidak biasa. Suara pintu yang cukup keras itu mampu membuat Ribella bergetar ketakutan. Apakah Papanya akan memukulinya lagi karena meeting-nya gagal? Untuk ke berapa kalinya? Dengan alasan apa kali ini?

        "BELLA!" Mendengar teriakan itu, mampu membuat Ribella menegakkan tubuhnya dan dengan refleks turun ke bawah.
       "A-Ada apa, Pa?" tanyanya dengan suara yang bergetar.
       "Sini kamu!" Dengan langkah gemetar, Ribella mendekatkan kakinya pada sang Papa.
       "KAMU KAN YANG NGAMBIL BERKAS PAPA DI RUANG KERJA?!" bentaknya sambil mencengkeram bahu Ribella dengan erat.
       Ribella menggeleng perlahan. "Eng-Enggak Pa.."
        "ENGGAK-ENGGAK! Pasti kamu! Tahu, gak? Karena kamu meeting Papa jadi batal! Ini meeting dengan klien Jepang, kamu tahu?! Papa rugi besar! Ngerti gak kamu?!" bentaknya kembali sembari menampar anaknya.
        Dengan sesenggukan Bella menggeleng, "Enggak, Pa.. Enggak!" ujarnya dengan linangan air mata.
        "PAPA GAK PERCAYA!" Sekali lagi, Kendrick memukuli anaknya dengan keras. Seperti tak menyadari, kalau itu adalah putrinya, darah dagingnya. Setelah itu, Ribella didorong sehingga mengenai pegangan tangga. Bentrokan itu cukup keras. Membuat pinggang gadis itu kesakitan. Seakan tak peduli, Kendrick langsung memasuki kamarnya dengan keadaan marah.

        Lagi-lagi hati Ribella tersakiti. Lagi dan lagi. Dengan gerakan cepat, Ribella berlari ke kamarnya. Ia menutup juga mengunci pintu rapat-rapat. "KENAPA?! KENAPA INI SEMUA TERJADI PADA BELLA?! KENAPA?! KENAPA DUNIA TERLALU KEJAM UNTUK BELLA? KENAPA?!" teriaknya menggila. Ia sudah tak bisa menahan ini. Semakin ditahan semakin sesak. Bella sudah tak bisa lagi menyembunyikan air mata ini. Bella sudah lelah, kepalanya terlalu pusing karena mengingat kejadian-kejadian buruk yang menimpalinya dari kecil hingga sekarang. Suara pukulan, tamparan, bentakan, semuanya terngiang jelas di pikiran Bella. Semuanya terlalu muak untuk disimpan.

         Seperti tak ada kejadian yang menyenangkan di memorinya, ia segera mengambil gunting di laci meja belajarnya. Ia menatap sekitar kamarnya. "Maaf, kamar kesayanganku, kita harus pisah. Terima kasih sudah mendengarkan Bella yang sering menangis di sini, maafin Bella yang selalu berkeluh kesah padamu, Bella pamit."

•••

       "APA, PA?! KAMU DITIPU?!" teriak Luna di ruang tengah yang menggema.
       Kendrick menatap sengit istrinya. "IYA! KITA BANGKRUT!" teriaknya tepat di wajah sang istri.
      "Lalu? Kita akan jatuh miskin? Aku gak mau ya, Pa!"
      "Kamu pikir aku mau?! Tinggal rumah ini yang tersisa. Kita akan pindah ke rumah yang lebih kecil. Untuk sementara waktu, kamu yang kerja saja. Aku masih pusing untuk membuat bisnis lagi."
        Luna menggeleng keras. "Aku itu hanya seorang dasainer. Untuk biaya sekolah Bella pun gam cukup! Apalagi untuk makan?"
       Seakan merasa ada yang janggal, Kendrick berpikir sejenak. Ah, iya! Ia melupakan putrinya semata wayangnya. "Ke mana Bella? Apa dia sudah makan? Kamu sebagai istri harus yang benar ya, merawat anak."
       Luna berdecak. "Dia sedang di kamarnya semenjak kamu memerahinya tadi siang. Dia sudah besar, pasti tahu waktu makan."
     "BELLA!" panggil Kendrick sembari mendongak ke atas, menatap kamar putrinya itu yang senyap. "Bella kemari!" teriak Kendrick kembali. Seakan tak ada sahutan dari sang putri, Kendrick berinisiatif untuk ke atas, Luna yang penasaran pun ikut ke atas. Sudah berapa tahun aku tak ke kamar putriku?

           Alangkah terkejutnya Luna juga Kendrick saat membuka kamar putrinya. Ia melihat putrinya itu dalam keadaan terbaring dengan darah dari pergelangan nadinya. "Be-Bella?" gumam Luna sambil menutup mulutnya. Satu, dua hingga berpuluh-puluh tetesan air keluar dari matanya. "BELLA.SAYANG!" teriaknya histeris. Ia menghampiri putrinya dan memeluk erat. "bella, Mama mohon jangan pergi, Mama mohon sekali!"
          Sedangkan Kendrick, ia memegang pintu untuk menahan tubuhnya yang mulai lemas. Ia menghampiri sang putri yang ada gunting di sebelah tangan gadis itu. Ia menangis. "GAK MUNGKIN!" teriaknya dengan penuh luka. Baru tadi siang ia memarahi putrinya, memarahinya yang bukan kesalahan putrinya. Berkas yang ia cari itu bukan menghilang akibat putrinya, melainkan karena teman rekannya yang telah menipunya.
         Luna dan Kendrick memeluk sang putri sambil terus menangis. Mereka sangat menyesal, menyesal karena telah menyia-nyiakan satu-satunya sang buah hati. Mata Kendrick pun tak sengaja menatap kertas yang berada di samping putrinya. Kertas itu bertulisnya. Love you, Ma, Pa. Bella sayang banget sama kalian. Semoga kepergian Bella menyenangkan kalian.


"Aku terlalu lelah meski hanya untuk berkata tidak, kaki terpasung pada rantai yang menghancurkanku secara perlahan."

~END.

cerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang