CERPEN || Dandelion.

4 1 0
                                    

Nama Kelompok: Wonder Girls.

~Leony Agnesia Komala.
~Annisa Regina Hanum.
~Mia.
~Ita Fatimah Zahro.

Judul: Dandelion.

Mereka yang tidak percaya bahwa ada yang namanya lorong waktu, akan merasakan seperti apa lorong waktu itu, entah ke masa lalu atau masa depan. Sama halnya dengan empat sekawan, Vera, Gavin, Rere, dan Rangga. Awalan yang tidak percaya kini mereka dihadapkan pada kenyataan, bahwa didepan mereka bukan zamannya dimana mereka hidup tetapi di zaman sekitar 200 tahun kedepan. Dimana bumi bukan lagi tempat yang aman, dan mereka yang kuat akan bertahan. Apalagi didunia yang lebih kejam dari pada sebelumnya, dimana persahabatan mereka diuji dengan keadaan mereka sekarang, dan mencoba mencari cara untuk kembali ke zaman mereka.
"Aku rasa, lorong waktu itu beneran nyata!" ungkap Vera dengan semangat.
Rere yang tadinya sedang melihat sekitar langsung menatap tajam sahabatnya itu. "Jangan bercanda, tidak mungkin! Ini pasti hanya mimpi saja!"
Mungkin hanya Vera yang merasa bahwa mereka tebawa ke masa depan, sedangkan yang lainnya hanya beranggapan ini mimpi.
"Re, cubit aku," pinta Gavin yang seketika langsung Rere kabulkan.
Gavin mengerang, "Aww! Itu sakit sekali!" Sedangkan Rere langsung memutar bola matanya. "Kamu yang memintanya."
"Berarti ini memang bukan mimpi," ujar Rangga.
"Ini memang bukan mimpi, sudah ku katakan tadi ternyata lorong waktu itu memang nyata adanya." Vera kembali meyakinkan ketiga sahabatnya.
"Emm, oke, kurasa ini tidak buruk. Coba lihat didepan kita." Rangga memberi isyarat dengan menggerakkan dagunya, yang ternyata tampak sebuah pemandangan didepan mata mereka.
"Aku rasa ini akan menyenangkan," ujar Rangga dengan bahagia.
Waktu berlalu, hingga akhirnya salah satu dari mereka mendapatkan cara untuk kembali ke zamannya.
"Aku menemukan cara bagaimana kita bisa kembali lagi!" seru Rere.

Semua mata tertuju kepada Rere yang berdiri dari duduknya sambil memegang buku yang dibacanya entah dari kapan.
"Bagaimana bisa? Kita disini saja sudah berpuluh-puluh tahun terjebak dalam dunia yang kita gak tau," keluh Gavin yang tak percaya dengan perkataan Rere, dan di sepakati oleh Vera juga Rangga.
"Mungkin kamu salah baca buku kali, Re," balas Rangga dengan santai. "Dari dulu waktu kita pertama terjebak dalam dunia ini kamu juga bilang begitu," lanjutnya
Rere menghela nafasnya pelan, lalu memejamkan matanya sejenak. Mencoba mendinginkan kepalanya agar bisa kembali meyakinkan ketiga sahabatnya itu. "Kali ini benaran, Aku gak bohong." Rere membuka halaman buku yang tadi sempet dia baca dan menunjukan kepada teman-temanya itu.
Akhirnya mereka menyetujui perkataan Rere dan memulai mencari tempat dimana mereka bisa kembali ke dunianya.
Namun, terdapat rintangan ditengah perjalanan mereka dihadapkan pada labirin yang luas dan rumit. Terdapat pintu besi diujung labirin, dan itu merupakan portal dimana mereka bisa kembali. Tetapi, untuk mencapai ujung labirin terdapat seratus ribu pintu yang perlu mereka buka, setiap pintu terdapat jalan yang bisa membawa mereka ke pintu ujung labirin atau lebih buruknya ke tempat yang memiliki mutan yang mengerikan.
"Tunggu, apa kalian tidak mendengar suara?" Rangga menoleh kebelakang untuk memberi tahu teman-temannya.
"Suara seperti apa?" tanya Rere sambil menoleh ke segala arah dengan cepat.
Rangga menyipitkan matanya, berusaha fokus untuk kembali mendengar suara asing itu. "Sulit untuk dijelaskan."
Seketika suara tawa menggelegar terdengar di seluruh lorong. Semuanya terkejut mendengarnya, kecuali satu orang. Yaitu, Gavin.
"Suara ini maksudmu?" Kruuukkk~ Terdengar suara yang berasal dari perut Gavin. "Itu suara perutku yang keroncongan," ucapnya sambil tertawa.
Dengan cepat Rere langsung mendekat kearah Gavin dan memukul bahu kanan temannya itu. "Itu tidak lucu, Gavin!" protesnya.
Rangga yang mendengar itu seketika lega, tetapi juga tetap was-was dengan sekitar. Baru saja ingin melanjutkan perjalanan yang ditemani dengan ocehan dari Rere, tiba-tiba suara asing yang didengar oleh Rangga semakin kuat. Seketika mereka berempat membeku ditempat.
"Sepertinya, bukan suara perutku," bisik Gavin sambil melirik Rere.
"Benar, sepertinya bukan." Rere mengangguk setuju kepada Gavin.
Vera yang sedari tadi diam ternyata sedang melihat sesuatu. Ada yang bergerak pelan di ujung lorong yang mereka jalani. Sangat jauh jaraknya, tetapi semakin mendekat. Sebagai anggota yang masih bagus pandangannya, Vera yakin ada sesuatu disana. Sedang merangkak pelan, dan mendekati mereka dengan hati-hati.
"Teman-teman, sepertinya kita harus lari dari sini." Dengan suara seminim mungkin, Vera mencoba memberi tahu Rangga, Rere dan Gavin bahwa ada ancaman didepan sana.
Vera mundur pelan mendekati yang lain. "Itu mendekati kita dengan pelan-pelan. Seperti hendak menerkam. Sungguh, kita harus—" tak sengaja, Vera dan makhluk itu bertatap-tatapan.
"Oh tidak, ini buruk," lanjut Vera. "LARIIII!!"
Tak ingin kembali menahan lapar, makhluk itu pun dengan cepat mendekati keempat mangsa yang sudah diperhatikannya sejak lama.
= = = =
Kesal, marah, sedih dan juga lelah. Semua bercampur aduk menjadi satu. Rasanya pahit sekali menerima kenyataan seperti ini. Sudah berjam-jam mereka berjalan, namun belum kunjung tampak jalan keluar.
"Tunggu, aku sudah tidak kuat berjalan lagi. Bisa kita istirahat sebentar?" pinta Gavin sambil terengah-engah.
Mendengar itu semua mata langsung tertuju kearahnya. Ternyata, posisi Gavin sedikit tertinggal jauh dari kelompok. Perlahan helaan napas keluar dari bibir keempat sahabat itu.
"Kita bisa istirahat sebentar," ujar Rangga, "makhluk-makhluk itu juga sepertinya berada jauh dari kita." Bak pemimpin yang dipenuhi aura kharisma, yang lain langsung mengangguk setuju dengan perkataan Rangga.
Semuanya bersiap untuk duduk dan melepas lelah, namun suara teriakan menginterupsi.
"Heyyyy! Apa-apaan ini?!" teriak Gavin.
Dinding yang disandari oleh Gavin tiba-tiba berbalik. Dengan cepat Rangga, Vera dan Rere langsung berlari mendekati sahabat mereka itu. Tapi terlambat, Gavin sudah terjebak di sisi lain dinding labirint.
"TOLONG AKUU!! RERE!! VERAA!! RANGGA!!" suara teriakan dan rontaan dari Gavin membuat ketiga sahabat itu menjadi panik.
Rangga kalut, Vera memanggil-manggil nama Gavin, sedangkan Rere mulai terisak lalu menangis. Seakan tidak diberi untuk bernafas, hal lain datang dan memicu ketakutan lainnya di kelompok mereka.
GRONGG~~
"Lihat! Dinding labirin bergerak!" seru Rere.
"Itu ..., membuka jalan menuju ujung labirint ini." sambung Rangga.
Vera tersentak saat cahaya merah menghalangi pandangannya. "Cahaya apa ini?"
Mereka bertiga mendongak untuk melihat. Begitu juga dengan Gavin yang di dinding sebelah.
"Bukankah itu waktu?" tanya Rere. Matanya menyipit untuk melihat apa yang tertulis diatas langit. "Ehh ..., 5 jam?"
Mengerti keadaan dengan cepat, Rangga pun menyimpulkannya dengan cepat dan padat. "Waktu 5 jam untuk kita keluar dari sini. Labirint menunjukkan jalannya, kita bisa pulang."
"Bagaimana dengan Gavin?"
"Tidak ada waktu," jawab Rangga.
Vera mendecih. "Ingin melarikan diri hm? Jangan gila, Gavin sahabat kita!"
"Rangga benar, kita harus segera keluar. Jika ingin mati disini, aku tidak akan memaksamu," ucap Rere.
"Hanya segini saja rasa persahabatan kalian?! Cuma segini?!" Emosi Vera berkobar-kobar, "Aku tidak akan pergi kalau Gavin tidak ikut dengan kita."
"Seseorang harus berkorban, Vera!" seru Rere.
"Teman-teman, ada apa? Kenapa tiba-tiba kalian berteriak?" Suara Gavin terdengar dari dinding sebelah. Membuat Vera semakin panas.
"Kalau begitu kenapa tidak kau saja?!" bentak Vera tidak mau kalah.
"Vera ...," panggil Rangga.
"EGOIS! KALIAN EGOIS!!"
Vera menatap kedua temannya yang sejak tadi berdebat mengenai harus menyelamatkan rangga yang hilang entah ke mana atau harus mengejar waktu untuk keluar dari labirin tersebut.
"Kita nggak mungkin biarin Rangga sendiri di sini," ujar Vera serius, lalu menghela napas gusar. "Kita dateng ke tempat ini berempat. Jadi, keluar pun harus dalam jumlah yang sama."
Mendengar kalimat Vera, Gavin dan Rere saling beradu pandang.
"Jadi gimana, Ver? Waktu kita nggak banyak, cuma lima jam," balas Rere terlihat sangat gelisah.
Vera tampak berpikir, kemudian menjetikkan jarinya tepa di depan wajahnya. "Kita mencar. Aku sama Rere ke arah sana. Rangga ke sana. Gimana?"
Rangga dan Rere mengangguk secara bersamaan. Kemudian mereka segera melakukan apa yang harus mereka lakukan tanpa mau membuang banyak waktu. Berharap keberhasilan berpihak kepada mereka.
Setelah hampir beberapa jam mereka berusaha mencari keberadaan Gavin, akhirnya Rangga berhasil menemukannya. Mereka berdua langsung melangkah cepat untuk kembali ke tempat semula sesuai dengan titik kumpul yang sudah Verra tetapkan.
"Akhirnya kita kembali lengkap," ujar Rere senang, diangguki ketiga temannya dengan sangat antusias.
Verra menarik tangan Rere. "Ayo kita ke pintu keluar itu. Jangan sampe kita terjebak semakin lama di dalam labirint ini."
Dengan senyum indah yang tampak melebar, empat sekawan itu langsung berlari ke arah pintu terbaik yang akan membawa mereka keluar dari dalam labirint dan kembali ke zaman yang seharusnya.

~END.

cerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang