P R O L O G

658 62 64
                                    

HALLO, KALIAN READERS LAMA ATAU BARU NIH?

SINI MERAPAT YANG UDAH KANGEN BARA JIHAN♥️

KUYLAH BACA, JANGAN LUPA VOTE YA:)

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
S E L A M A T M E M B A C A
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Bara, dengerin aku dulu, aku tau kalau kamu mungkin udah nggak sayang lagi sama aku. Tapi tolong, kasih aku kesempatan buat jadi sahabat kamu" seru Jihan saat Bara sudah menjauh dari jangkauannya.

"Bara, aku mau nemenin kamu, aku udah janji kalau aku bakal jadi orang pertama yang selalu ada saat kamu sedih" ujar Jihan dengan suara parau.

Bara, lelaki itu dengan sekali hentakan membalikkan badannya dan menatap seorang gadis yang terduduk di trotoar sambil menangis. Jika kalian berpikir Bara tidak memiliki perasaan, kalian salah besar. Buktinya Bara merasakan dadanya sesak setiap kali Jihan menangis, gadis kesayangannya.

"Gue udah nggak cinta sama lo, Ji. Apa itu kurang jelas buat Lo?" Bohong, Bara berbohong. Nyatanya sampai sekarang Bara masih mencintai Jihan.Jihan tidak tau jika Bara masih mencintainya, hanya saja Bara tidak bisa mengungkapkan hal itu secara gamblang. Ada sebuah alasan yang membuatnya lebih memilih membohongi Jihan perihal perasaannya.

"Iya, aku tau. Tapi aku nggak mau biarin kamu sendirian disaat dunia nggak adil sama kamu" ujar Jihan.

"Berhenti peduli sama gue, gue nggak butuh lo, gue bisa urus hidup gue sendiri."

"Dan Lo jangan kayak orang nggak tau malu, ngejar-ngejar cowok yang jelas-jelas udah nggak mau lagi sama lo" sarkas Bara.

"Tapi kamu berubah, kamu lupa sama janji kamu waktu kita pertama ketemu. Kamu janji kalau kita bakal sama-sama dalam susah maupun senang" Jihan mengingat betul bagaimana awal pertemuannya dengan Bara yang terkesan manis, bahkan sikap lelaki itu tidak seperti Bara yang sekarang.

"Gue bukan Bara yang Lo kenal dulu, gue udah berubah."

"Kasih aku satu alasan kenapa kamu bisa kayak gini, kamu pikir selama ini aku nggak tersakiti sama sikap kamu yang kasar, hah?" Ujar Jihan.

Jihan menggigit bibir bawahnya, menahan isakan yang keluar semakin kencang. Jihan meremas kuat ujung sweater yang dikenakannya saat Bara melemparkan secarik kertas di depannya. "Buka surat itu kalau gue udah nggak ada, dan Lo bakal tau semua kebenarannya."

Jihan memungut kertas yang terjatuh di depannya. Ia menatap amplop putih itu, lalu menatap manik mata Bara yang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Emang kamu mau kemana?, Mau pergi?."

Bara tidak menjawab. Lelaki itu mengepalkan tangannya dan membuang muka ke arah lain. Matanya memanas, akankah ini saatnya?. Bara tidak menjawab, lelaki itu berlari kecil meninggalkan Jihan dengan perasaan campur aduk.

Jihan mengusap bokongnya yang kotor karena terduduk di trotoar jalan. Gadis itu berjalan gontai menuju kontrakan tempat tinggalnya. Tidak butuh waktu lama, Jihan sudah sampai di rumah kontrakannya. Gadis itu menarik gagang pintu tanpa gairah, lalu mendudukkan dirinya di kursi ruang tamu.

Jihan menatap lagi amplop putih yang diberikan Bara tadi. Pikirannya berkelana, apa maksud Bara?.

"Buka surat itu kalau gue udah nggak ada, dan Lo bakal tau semua kebenarannya."

Kalimat itu, seakan berdengung dengan keras di telinganya. Apa maksud semua ini?, Jihan tidak mengerti.

Jihan memasukkan amplop putih itu ke dalam tasnya. Sejujurnya ia sangat penasaran dengan isi dari surat itu, tapi ia tidak mau membuka surat itu sekarang. Ia akan menuruti kemauan Bara, entah apa maksud dari kalimat itu.

____EPHEMERAL_______

"Anak nggak tau diri, jam segini baru pulang. Mau jadi apa kamu?, Cuma jadi beban keluarga" Bara mengepalkan tangannya, kakinya baru saja menginjak lantai rumah, sudah disuguhi wajah Papanya yang tidak bersahabat.

Bara melengos, lelaki itu enggan melihat wajah Papanya yang memuakkan. "Bara, dengerin Papa, dasar anak kurang ajar."

"Contoh kakak kamu, Nevan. Dia pandai di segala bidang, ikut olimpiade, menang turnamen futsal, apa prestasi kamu?."

"Pulang malam, mabok, tawuran, balapan liar, mau kamu apa?" Tanya Papanya.

Bara mengepalkan tangannya semakin kuat. Cowok itu mengeratkan giginya untuk menahan amarah. Lagi, dan lagi ia harus dibandingkan dengan saudara lelakinya. Nevan Arangga Narendra. Nevan usianya terpaut satu tahun darinya. Itu artinya, Nevan sekarang kelas 12, dan dirinya kelas 11.

"Pa, jangan bandingin Bara sama Kak Nevan" tegas Bara.

Papanya berdecih, tak lupa menatap sinis putra sulungnya itu. "Kamu itu beban Bara, kamu itu nggak pantes menyandang marga keluarga Narendra."

Bara merasakan dadanya seperti ditimpa batu. Meski sudah kebal, tetap saja Bara itu manusia biasa yang bisa merasakan sakit hati. Bara bukan robot yang tak memiliki perasaan.

"Bara udah berusaha jadi yang terbaik, hanya saja Papa nggak pernah lihat itu semua. Yang ada di otak Papa cuma Nevan, Nevan, dan Nevan" teriak Bara.

"Jelas, Nevan adalah pewaris terbesar kekayaan keluarga Narendra, bukan kamu" tutur Papanya.

Bara memilih bungkam. Ia sudah tau akhirnya akan seperti apa. Ia memilih berlari kecil menaiki tangga dan menuju kamarnya. Bara menutup dengan kencang pintu kayu di kamarnya. Cowok itu menunjuk tembok samping pintu dengan mata memerah. Bukan, Bara bukan menangis karena hinaan dan cacian Papanya. Hanya saja Bara menangis satu hal yang mungkin nantinya akan disesali oleh semua orang. Termasuk kedua orang tuanya.

"Tuhan, kenapa nggak adil ya sama gue. Gue cuma mau bahagia di sisa hidup gue, apa sesusah itu buat gue bahagia?" Bara meninju tembok lagi. Tangannya mengeluarkan setetes darah dan terdapat luka lebam. Tapi ia tidak peduli, rasa sakit fisiknya tidak sebanding dengan sakit di mentalnya.

Bara berjalan ke arah balkon. Memandangi gemerlap bintang di atas langit malam yang indah. Bara memejamkan matanya kala hembusan angin terasa dingin menerpa permukaan kulitnya. "Gue hidup nggak ada artinya, nggak ada yang sayang sama gue. Buat apa gue hidup?."

"Jika diberi satu permintaan, gue bakal minta nyawa gue dicabut lebih cepat dari yang seharusnya, Tuhan."

"Gue cuma mau, Mama sama Papa lihat gue, mungkin mati adalah satu-satunya cara biar mereka lihat kalau gue ada" lirih Bara.

"Hidup gue nggak akan lama lagi, tapi sesulit itu gue buat dapat kebahagiaan?" Bara menengadahkan kepalanya ke langit, memohon keajaiban yang mustahil terjadi.

_____EPHEMERAL_____

Note :
cerita ini dimulai saat Bara dan Jihan belum bertemu Ayyara dan Vernon, buat kalian yang belum tau siapa Ayyara Vernon, silakan baca cerita aku yang satunya. Tapi bisa dibaca terpisah kok, di cerita Ayyara hanya mengenalkan tokoh Bara Jihan aja.

Aku harap kalian vote dan komen ya,:)

EPHEMERALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang