Unexpectated Day

388 54 109
                                    

Tahu nggak apa yang bikin mood--khususnya kalangan ciwik-ciwik--rusak di hari pertama masuk sekolah?

Pas baca pengumuman di mading, trus ternyata nggak sekelas sama teman segengnya.

Itulah yang sedang dirasakan oleh salah satu siswi, yang ber-name tag Juwita Ramlan.

"Yahhh. Kesel deh, gue. Kenapa cuman gue satu-satunya yang nggak sekelas sama kalian, sih? Curang, curang, SUPER CURANG! Kalian bisa bareng haha-hihi, sedangkan gue sendiri di kelas. Mau berteman sama siapa?"

"Tenang... tenang. Gue cek di sini banyak tuh yang cakep-cakep--eh, EH! ADA NAMA JUSTIN HAEDAR, LOH! ASIK BANGET LO BISA SEKELAS SAMA--"

"SSST! ANJRIT, LO KALO NGOMONG BISA NGGAK, SIH, TANPA MENGURANGI AKHLAK?" potong Juwita tidak kalah ngegasnya sebelum salah satu teman karibnya, Friska, menebarkan aib yang terlalu fatal untuk dicegah. Tambahannya, mereka sedang berada di pusat keramaian di mading yang tentunya akan membuat harga dirinya tercoreng.

"Ups, sori. Abisnya... lo, kan, belum pernah sekelas sama dia selama dua tahun terakhir ini--eh, apa itu artinya tahun ini pengelompokan kelas kita udah diatur berdasarkan nilai akademik? Bentar... bentar... kayaknya dugaan gue bener soalnya nih, ya... nama-nama yang di kelas lo ini pada langganan ngumpulin piala, nih!" Tangan Friska menelusuri nama demi nama di kelas XII IPA-1, lantas memekik saat menemukan salah satu nama yang menarik perhatiannya. "Anjrit, bener ternyata. Kalo nggak percaya, coba lihat. Ada nama Saskara Damian. Tuh, kan, gue bilang juga apa!"

"Hah?" Juwita membeo, seolah pusat penyampaian informasi dari dalam otaknya sedang nge-lag.

"Saskara Damian! Tuh, dia, orangnya! Ups, kedengaran dong sama dia. Ya ampuuun...."

Juwita, yang baru mengerti maksud dari kata-kata Friska, mulai mengalihkan atensinya, tetapi sayang sudah agak terlambat karena dari ekspresi yang ditunjukkan cowok tersebut, kentara sekali bahwa dia mendengar namanya disebut-sebut di belakang.

Namun meskipun demikian, Saskara tidak mengatakan apa pun. Sama seperti eksistensinya yang muncul secara tiba-tiba, dia juga meninggalkan koridor mading dalam diam seperti bayangan.

Atmosfer yang melingkupinya terasa berbeda, Juwita yakin semua murid yang berada di sekitarnya juga merasakan situasi yang sama, terbukti dari kesenyapan yang mendadak mencekam, seperti udara yang menebal tanpa aba-aba.

"Misterius banget, ya. Gue bakal percaya, sih, kalo dia ngaku anaknya dukun. Kayak horor aja, gitu." Vina bersuara selagi punggung Saskara menjauh. Seolah mendukung pernyataan gadis itu karena sejumlah murid secara otomatis seperti rela membubarkan kerumunan sendiri demi mempersilakan Saskara keluar, kemudian ikut berbisik-bisik di belakangnya.

Padahal Saskara ganteng, Juwita mengakuinya, dan dia bisa sama normalnya dengan pelajar lain jika saja tidak bersikap misterius seperti itu. Entahlah, Juwita bukannya tidak pernah bertemu dengan karakter demikian, hanya saja dari caranya menghindari orang-orang seperti menyimpan aib yang besar, otomatis memberikan kesan yang tidak-tidak padanya.

Saskara terlihat benci dengan keramaian meski seperti yang bisa diduga, nilai akademiknya berada di atas rata-rata. Namun, eksistensinya jadi terhalang oleh mereka yang aktif di sekolah seperti Justin Haedar, bahkan Anulika Latief yang juga mempunyai karakter introver.

"Kayaknya kehidupan sekolah gue bakal membosankan selama setahun ke depan, deh." Juwita bergumam pelan, tetapi masih bisa didengar oleh kawanan sekubunya. Vina dan Friska mengembuskan napas bersamaan sebagai wujud empati, tetapi reaksi tersebut sama sekali tidak membantu.

"Au, ah! Gue ke kelas dulu. See you, Guys. Jangan gantiin posisi gue dengan orang lain sebagai ketua geng kita, ya. Awas aja kalian!"

"Tenang, Juw. Nggak ada yang bisa gantiin lo sebagai ketua--"

"Bagus kalo gitu--"

"--soalnya siapa lagi, kan, yang bisa memfasilitasi ekskul tari sebaik dan selancar lo?" Friska meneruskan kata-katanya seolah tidak ada interupsi.

"Sialan," omel Juwita. "Jadi, kalian semata-mata mempertahankan gue karena cemas sama klub tari?"

"Yaaa... nggak gitu juga, deng." Vina lantas menyikut lengan Friska, bermaksud memberinya peringatan untuk tidak bertutur kata seenak jidat tanpa berpikir terlebih dahulu. "Biasalah, Friska suka mancing-mancing kekesalan lo biar--"

"Au, ah!" Juwita mendengkus keras-keras untuk menunjukkan kekesalannya sebelum meninggalkan daerah mading yang sudah melonggar sebab bel berdering lima belas menit lagi.

Juwita memang sudah keseringan cekcok dengan temannya dan sejujurnya, dia sudah dalam tahap jenuh. Semua orang yang mengenal Juwita Ramlan akan langsung berasumsi bahwa dia adalah salah satu siswi tenar di SMA Berdikari, yang tidak sesulit itu berteman dengan siapa saja.

Juwita Ramlan, yang karakter ekstrovernya membuat dia mempunyai banyak kenalan dan otomatis membantu prestasi akademiknya di sekolah karena selain cepat menyerap materi, dia tidak perlu ragu jika ingin meminta bantuan kala mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas.

Semudah itu baginya bersosialisasi, tetapi sayang, dia tidak benar-benar mempunyai teman yang dekat.

Mungkin itulah sebabnya mengapa Friska nggak kelihatan sesedih itu waktu tau gue nggak sekelas dengannya, pikir Juwita selagi menyusuri koridor terakhir menuju kelasnya; XII IPA-1. Dibanding gue sama Vina, dia tentu lebih respek sama Vina karena prestasi gue bikin dia iri. Kalo nggak, kenapa harus ungkit-ungkit jasa di klub tari?

Langkah Juwita telah sampai di ambang pintu kelas yang akan menjadi persemayamannya selama setahun ke depan, kemudian sepasang bahunya refleks menurun pasrah saat mendapati seramai apa kelas di dalamnya. Baru dia sadari bahwa tidak seharusnya gadis itu berlama-lama di mading sebab seperti bangku-bangku pada umumnya yang sudah otomatis menjadi pemiliknya usai diisi, bangku kosong hanya tersisa di bagian depan.

Gue duduk di mana, dong? Nggak seru banget duduknya di depan begini.

Pilihannya hanya dua; antara duduk di sebelah Saskara yang posisinya di pojok ruangan atau di barisan paling depan bagian tengah. Namun, sepertinya Juwita tidak diberi kesempatan untuk memilih karena sedetik setelahnya, ada siswa lain yang buru-buru merebut posisi di tengah alih-alih duduk di sebelah Saskara.

Ampun, deh. Segitu horornya-kah Saskara Damian ini? Juwita melayangkan pandangan ke oknum yang dimaksud, lantas bergidik secara impulsif saat mengamatinya sedang menyayat-nyayat bagian lengan atas dengan sebuah penggaris besi. Meski teknisnya benda tersebut tidak mungkin bisa menyakitinya, tetap saja dari caranya melakukan itu, Juwita jadi merasa sedang melihat aksi psikopat yang melukai tangannya sendiri dengan pisau betulan.

Ck. Nggak ada bangku kosong yang lain apa? Juwita mulai mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas, tetapi sayang, semua bangku sudah diisi. Bahkan pasangan berprestasi--yang sering dijodoh-jodohkan oleh semua yang mengenal mereka--Justin Haedar dan Anulika Latief sudah duduk dengan elegan di bangku paling tengah seakan-akan menunjukkan porsi mereka sebagai raja dan ratunya bangsa XII IPA-1.

Bel berdering sejurus kemudian, membuat Juwita spontan merasa konyol karena telah berdiri lebih dari sepuluh menit. Lantas, tidak mempunyai pilihan lain, gadis itu melenggang ke pojokan kelas untuk menghuni bangku di sebelah siswa misterius itu.

"Gue duduk di sini, ya?" Juwita sengaja menyapa dengan suara keras, disusul debuman gara-gara tas yang dia empaskan di meja.

Bersambung

Her Crush is My Dad [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang