3. Allan: Hanyut

32 6 0
                                    


Untuk kesekian kalinya, Naga menolak undanganku. Ia pikir kelompok diskusi konspirasi, milikku, tidak lebih dari sekumpulan orang-orang aneh yang saling bercerita mengenai hal-hal mistis. Dasar tidak seru!

Orang-orang bermental lemah seperti Naga memang tidak bisa diajak menikmati hidup. Mereka terlalu rajin menjadi orang normal, supaya tidak dicurigai gila. Oh, pastinya mereka juga menyimpan banyak kiat-kiat melarikan diri di kepalanya. Seperti balon di ubun-ubun dan pemindah kesadaran. Kekanakan sekali!

Padahal mereka bisa melawan, kalau memang punya niat. Lagipula, masalah yang mereka hadapi sangat sepele, kebebasan katanya, temanku yang curang sekali itu jadi gila karena mengidamkan kebebasan. Memangnya ia dijajah? Kebebasan macam apa yang orang itu maksud.

Astaga, benar-benar, memikirkan Naga selalu ampuh membuatku naik darah. Iya, aku memang iri dengan Naga. Aku juga ingin lahir dari orangtua yang peduli dengan masa depan anaknya. Yang tidak hanya bicara tentang ketidakbergunaan belajar bagi kaum miskin sambil memukuli benda-benda. Pastinya, bagi mereka aku termasuk dalam kategori benda.

"Lan, kamu ada masalah?" Para anggota kelompok diskusi konspirasi menatapku selidik. Karena untuk kesekian kalinya aku mematahkan pensil di tengah tengah-tengah diskusi.

"Aku tegang." Jawabku sambil melempar tawa. Orang-orang ini lebih mudah dibodohi dibanding Naga. "Kalian tahu kan beritanya, nilai matematikaku di ujian sebelumnya, ya, dua puluh." Aku mengedik dan menggeleng. "Besok ada kuis matematika, aku jadi was-was." Mereka tidak tahu apa-apa selain teori-teori konspirasi, yang meski menarik, tetap belum bisa dibuktikan.

"Kamu punya usulan untuk diskusi selanjutnya?" Yang tertua di kelompok diskusi konspirasi bertanya. Naga ingin aku mengadakan pembahasan mengenai kesadaran, tapi itu tidak menarik, dan aku membenci hal-hal yang dianggap sebagai pelarian oleh teman lemahku itu.

"Tidak."

"Baiklah, kalau begitu minggu depan kita akan bicarakan teori hidung piramida." Menarik, aku menyukai pengetahuan baru, meski tidak masuk akal, dan tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Mungkin suatu saat nanti, ketika aku sudah besar dan jadi jauh lebih pintar, aku bisa membongkarnya.

"Allan, bagaimana dengan temanmu yang pintar itu, dia masih menolak?" Yang tertua dalam kelompok kembali bertanya sambil membereskan alat tulis.

"Levelnya sudah berbeda dengan kita Pak Ketua." Tentu saja, anak itu, maksudku Naga, posisinya jauh dari kata normal, dan akhir-akhir ini semakin mendekati ketidakwarasan. Orang yang butuh terus diingatkan bahwa ada manusia lain di sampingnya yang jauh lebih melarat, jelas sakit jiwa. Kalau aku tiba-tiba menghilang, seperti diculik alien dan disekap di area 51, teman lemahku itu pasti mati. "Aku harus segera pulang, sampai jumpa minggu depan." Sergahku, sebelum siapapun dalam ruang kelas kembali bicara, dan memaksaku mencari-cari alasan.

Hampir pukul lima, sekolah sudah sepi, dan aku harap Ayah tidak pulang. Tapi sepertinya, orangtua itu ada di rumah. Ada perasaan tidak enak di perutku, sebuah intuisi, insting bertahan hidup, yang hanya dimiliki oleh para mangsa.

Sebenarnya, aku ingin menginap lagi di rumah Naga, tapi aku takut ia kerepotan, lalu merasa dimanfaatkan, patah hati, menganggap dirinya tidak berguna, dan mati. Sulit memang berteman dengan orang lemah. Sayangnya hanya orang lemah seperti Naga yang mau membantuku.

Mungkin aku harus memikirkan sesuatu, selagi melewati lorong sekolah dan jalanan lengang Kota Sengkawa. Sebuah pemecahan, supaya Naga tidak menganggap dirinya rendah, dan supaya aku bisa cepat besar. Mungkin gerakan atau penemuan yang menghasilkan banyak uang, juga tempat, untuk Naga melayangkan protes kepada orangtuanya.

Oh, aku perlu pergi ke apotik. Aku kehabisan kasa. Tapi uangku tidak tersisa banyak, mungkin ini saat yang tepat untuk mengambil kerja sambilan, berhemat, dan siapa tahu aku bisa membeli beberapa jaket baru. Dan hadiah terima kasih untuk Naga. Ia memang menjengkelkan, tapi baik, dan aku tidak bisa menolak orang yang kelihatan menyedihkan atau butuh pertolongan. Seperti Naga, juga anak perempuan yang tiba-tiba melompat ke Sungai Sengkawa.

Butuh beberapa detik sebelum aku menyadari kejadian gila di hadapanku. Biar kuperjelas, aku sedang berjalan di pinggir Sungai Sengkawa, aku harus pergi ke apotek, di sampingku seorang anak perempuan memutuskan untuk berenang, tapi ia hanyut dan tangannya melambai-lambai meminta pertolongan. Jadi tanpa sadar, ransel, jaket, dan sepatuku sudah tergeletak sembarangan di trotoar. Aku basah kuyup dan seorang anak perempuan terbatuk-batuk di pelukanku.

Aku memang berhasil melawan arus Sungai Sengkawa, menyeret Si Anak Perempuan kembali ke darat. "Tidak, jangan!" Tapi anak perempuan itu tidak tahu terima kasih. Ia mendorongku jauh-jauh, memeluk tubuhnya sendiri, dan memberikan tatapan sinis. Mirip Jacob Jacobman saat aku mengelusnya. "Aku bisa, sendiri!" Benar-benar mirip anak kucing basah.

"Kamu tenggelam." Aku membela diri sambil melepas dan memeras kemeja. "Kamu yakin? Apa aku perlu mengantarmu pulang?" Aku benar-benar kawatir. Tapi ia menggeleng, dengan kekesalan di sana-sini, dan aku baru menyadari bahwa anak perempuan itu memakai seragam SMA 1 Sengkawa. Kami bersekolah di tempat yang sama, aku tahu siapa ia.

Namanya Cendana, murid perempuan yang jadi perbincangan karena jarang masuk kelas, setelah memenangkan ajang pencarian bakat lokal. Si penyanyi baru yang tetap berstatus selebriti meski tidak begitu terkenal.

Sial, apa aku harus cemas sekarang? Aku baru saja membuat skandal dengan seorang selebriti, aku memeluknya tadi. Aku bisa saja dituduh melecehkan Cendana dan dipenjara bukan?

"Aku tidak tenggelam! Aku sedang membersihkan diri! Kamu menghalangi!" Aku terkejut, dalam arti takjub, karena Cendana, yang kelihatan polos di televisi, bisa menyalak seperti anjing. Padahal aku yakin, ia benar-benar tenggelam, ia harusnya senang karena ada orang baik sepertiku yang datang membantunya. Dasar, tidak masuk akal, tidak rasional, seperti Naga, dan pikiran sempitnya.

"Kamu tenggelam!"

"Aku sedang membersihkan diri!" Ia berkilah dan nadanya semakin meninggi. Lalu tiba-tiba, ada banyak keterkejutan, dan keheranan, dan hal-hal picik di wajahnya, sangat banyak. Ia menatapku dari atas ke bawah, bawah ke atas, lagi, empat kali, ke kanan dan kiri. "Jadi ini," gadis itu menyimpulkan. "Yang kamu sembunyikan."

Aku terlambat menyadari bahwa saat ini, kedua lengan dan punggungku sedang dipertontonkan. Bodoh, seharusnya aku tidak melepas jaket, atau kemeja, juga kewaspadaanku. Lihat hasilnya, tubuh Allan yang sakral, akhirnya tersingkap. Sebentar lagi, rumor mengenai aku yang hobi berkelahi, menjadi anggota gangster, atau kerja sambilan sebagai rentenir pasti bermunculan.

"Apa lihat-lihat?" Aku balik menyalak sambil memungut, dan mengenakan jaket. "Tidak pernah diajari berterima kasih ya?"

"Aku tidak perlu berterimakasih, aku tidak tenggelam!" Ia kembali mengulang. "Aku tidak minta pertolongan." Murid perempuan itu mendekatiku. Ia berdiri berkacak pinggang, di hadapanku, bersama rasa marah, atau jengkel, atau gabungan keduanya. Alisnya bertautan seperti berusaha menunjukkan kegarangan, yang alih-alih membuatku takut justu membuatku bingung. "Aku akan mencarimu kalau sampai ada kabar aneh yang tersebar!" Telunjuknya mengarah padaku dan aku membalasnya dengan kedikan. "Awas saja!" Sebuah tendangan di kaki ia hadiahkan sebelum melenggang pergi.

Dasar gila! Manusia-manusia tidak tahu bersyukur, kekanakan! Lagipula, ia pikir aku punya waktu untuk menggosipkan dirinya? Lebih baik aku belajar, atau mencari kerja sambilan, atau apa saja, mencari topik konspirasi misalnya.

Tenang Allan, tenang. Benar-benar, mungkin aku harus mempertimbangkan untuk berhenti menolong orang, tidak semua ingin dibantu, dan tidak semua bisa menghargai bantuan. Ah, pakaianku basah dan aku merasa seperti kotoran hewan yang terapung, terseret aliran Sungai Sengkawa.

Aku ingin mandi air panas dan berdiam dalam selimut sambil mengerjakan soal matematika. Tapi aku yakin Ayah sudah pulang, ia tidak akan senang, dan tidak akan ada mandi air panas di rumah. Mungkin aku juga tidak akan bisa berdiam dalam selimut sebab, biar kuingatkan, bagi Ayah aku tidak lebih dari sebuah barang.

Aku mengambil ponsel dari tas dan mengetuknya beberapa kali. Omong-omong, orang-orang lemah itu, kenapa tidak bisa menghargai kehidupan nyaman yang mereka punya?

"Ga, aku baru saja membuat masalah, kamu punya uang untuk menyewa pengacara?" Akhirnya, kuputuskan untuk menghubungi Naga, memintanya memungutku lagi malam ini.





__________

Saya merasa bakal ada yang terpelatuk dengan pemikiran Allan, Allan menganggap Naga yang punya pemikiran depresif sebagai gila dan lemah, itu cuma pemikiran Allan ya, meski kita memang lemah,

Lembek dan letoy, kayak Y*pi

SuicideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang