Ilmu pengetahuan semakin berkembang dan kesadaran adalah hal yang menarik untuk dibahas. Aku yakin ada satu-dua atau lebih genius gila di luar sana yang mempelajari dan berambisi untuk memanipulasi kesadaran. Seperti memindai, memodifikasi, memperbanyak, dan mencangkokan kesadaran ke perangkat atau tubuh pinjamam. Menarik bukan?Kalau saja Kelompok Diskusi Konspirasi--milik Allan--membahas pemindaian dan pencangkokan kesadaran, mungkin aku bakal hadir sebagai tamu--dan mempertimbangkan menjadi anggota.
Lagi, konsepnya sederhana, tubuh ini adalah kandang--dari kesadaran, dan orang-orang cenderung cepat bosan. Jadi, aku--dan mungkin juga genius gila di luar sana--mengidamkan perubahan, sesuatu yang baru, yang lebih seru, seperti robot raksasa setinggi lima belas meter dengan laser di kedua mata. Atau sesuatu yang lebih sederhana, seperti tubuh gembul milik Jacob Jacobman yang tidak punya kewajiban selain buang air di kotak pasir. "Begitu bukan?" aku bergumam sambil mengelus-elus perut Jacob Jacobman.
Kucing pemalas itu tidak merespon, tidak ada dengkuran apalagi sahutan. Ia hanya diam, terlentang, di atas kasur, dengan mata terbuka-tertutup, dan lidah menyembul, seperti pecandu narkoba yang kehilangan separuh kesadaran setelah pesta pora. "Kamu, butuh diet." Lanjutku sambil mengangkat Jacob Jacobman tinggi-tinggi. Beratnya hampir setara dengan tabung gas tiga kilogram.
Aku memang memanggil kucing oranye di hadapanku dengan sebutan Jacob Jacobman. Tapi sejujurnya, di rumah ini, Jacob Jacobman lebih dikenal sebagai Buddy, dan orang bodoh yang menamai seekor kucing dengan nama anjing, adalah Elang. Benar, adikku yang tidak menyukai matematika. Ia punya lebih banyak kebebasan, termasuk memungut kucing dari tempat sampah dan menamainya dengan nama anjing. Sekali lagi, nama anjing.
Lantas aku dengan rendah hati memperbaiki kesalahan Elang dan mengubah Buddy menjadi, Jacob Jacobman. Tentu Elang dan seisi rumah ini--kecuali aku--tetap memanggil Buddy dengan sebutan, Buddy. Kadang, aku membayangkan Jacob Jacobman diejek oleh kucing-kucing tetangga sebab para manusia--kecuali aku--memanggilnya Buddy.
Omong-omong, aku sedang menunggu kedatangan Allan sambil menjauhkan Jacob Jacobman dari kebodohan Elang. Kawanku yang senang bicara itu sedang kesulitan, dan kami diikat oleh perjanjian darah. Singkatnya, aku bakal mati kalau tidak membantu Allan, dan tentu saja aku sedang bercanda. Hal-hal mistis seperti Perjanjian darah tidak lebih dari omong kosong. Meski nyatanya, tanpa Allan, aku memang bakal mati--atau memang sudah mati. Seperti itu hubunganku dengan Allan, tidak tidak rumit, hanya sedikit sulit dijelaskan.
"Hei!" Suara Elang membuyarkan penjelasanku. Ia mengetuk pintu kamar beberapa kali sebelum mencoba memutar kenopnya, dan menyadari bahwa pintu kamarku dikunci rapat. "Kamu lihat Buddy?" Ia berteriak dan terdengar lumayan kesal.
"Tidak," jawabku sambil merebahkan Jacob Jacobman di pangkuan.
"Buddy!" Elang berusaha memanggil kucingnya dan Jacob Jacobman mengeong beberapa kali. Dasar kucing. "Aku dengar itu, buka pintunya." Adikku yang membenci matematika terdengar tidak senang, ia berteriak dengan menggebu-gebu dan mendobrak-dobrak pintu kamar. "Kembalikan kucingku! Apa kamu harus merebutnya juga?" Ia cukup gigih. "Kamu bahkan merebut kucingku, ha!" Umurnya lima belas tahun, dua tahun lebih muda dariku, dan ia sendiri yang memutuskan untuk mengabaikan hubungan kekerabatan di antara kami. "Sialan!" Ia bahkan tidak sudi memanggil namaku.
"Kamu tidak berhak menyebut Jacob Jacobman sebagai kucingmu," aku menjawab sambil memeluk Jacob Jacobman.
"Namanya Buddy, bodoh!" Dobrakannya semakin keras dan aku yakin pintu itu bakal hancur--jika Elang tidak kunjung menyerah. "Sialan!" Ia terus mengumpat, seolah aku baru saja merebut sesuatu yang sangat penting baginya. Padahal Elang tidak ikut serta merawat Jacob Jacobman. Justru aku--yang tidak punya cukup kebebasan untuk memelihara binatang--yang memberi Jacob Jacobman makan di pagi hari dan mengajaknya bermain di sela-sela waktu belajar. Jacob Jacobman lebih pantas disebut sebagai kucingku bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Suicide
Novela JuvenilSedikit demi sedikit, kami mati. Oleh tangan, kaki, degup jantung, dan pikiran kami sendiri. Kami melompat dari atap gedung, menenggelamkan diri di sungai, menelan banyak racun serta obat-obatan, menggantung tubuh juga harapan di langit-langit rumah...