Aku butuh tidur, satu atau dua jam sebelum kelas dimulai, sebab kemarin benar-benar kacau.
Biar kuceritakan, pertama, aku tahu teman baikku itu benar-benar lemah, secara mental. Tapi kemarin adalah kali pertama ia memasang wajah, hidup segan mati tak mau, atau seperti orang sembelit. Napasnya berlarian dan alisnya bertautan. Ia kira, aku baru saja melakukan tindak kriminal, dan ditandai sebagai buron oleh polisi setempat. Dan butuh banyak uang untuk membersihkan nama.
Aku mentertawakan kecemasan Naga saat itu, ketika wajah melasnya terpampang di sisi lain jendela. Lucu, untuk ukuran Naga yang jarang berekspresi. Tapi lima menit kemudian, setelah aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, barulah otakku bisa berpikir dengan jernih. Aku tidak seharusnya mentertawakan Naga, atau membuatnya cemas dengan sepotong informasi acak. Teman lemahku itu mungkin memikirkan kekacauan macam apa yang akan menimpa dirinya jika aku benar-benar membuat masalah, dan digiring ke penjara anak, atau jadi buronan.
Ide-ide gilanya tentang melarikan diri, kabur, balon, dan pemindahan kesadaran pasti berlarian di kepala. Bahkan mungkin memaksanya untuk bertindak. Ini adalah kelalaian, aku tidak mempertimbangkan kemungkinan terburuk dari sepenggal kalimat yang aku lontarkan pada Naga, lewat sambungan telepon. Aku tidak ingat kalau manusia lemah itu, punya cukup keberanian untuk meninggalkan segalanya. Bisa jadi bukan wajah melas Naga yang menyambutku di sisi lain jendela, melainkan mayatnya.
Kedua, aku merasa insting Ibu Naga lebih tajam dari biasanya. Wanita berahang keras itu agaknya berhasil mengendus bau penyusup, dan mulai mempertanyakan tingkah laku anaknya. Ia terus mengetuk dan mengecek kamar Naga setiap dua atau tiga jam sekali. Bahkan saat Naga tertidur dan aku harus merasa cukup dengan kolong ranjang Naga, yang untungnya tinggi serta rajin dibersihkan.
Tidur di kolong tetap lebih baik daripada dipukuli sampai mati. Lagipula aku masih punya banyak rencana, termasuk menjadi sangat pintar dan mengungkap keanehan-keanehan yang muncul di seluruh penjuru dunia.
Ketiga, aku punya perasaan buruk terhadap Elang, adik Naga yang tingkahnya menggebu-gebu. Sebut saja, insting mangsa, sesuatu yang tidak dimiliki oleh Elang, apalagi Naga. Rasanya seperti Elang tengah mempersiapkan sesuatu, rencana kotor, atau apapun yang mampu menghancurkan pertahanan Naga. Buktinya adalah ancaman yang Elang lontarkan kemarin. Ia tiba-tiba menggedor pintu kamar Naga dan mengatakan sesuatu seperti, kamu akan menyesal jika tidak meminta maaf sambil berlutut. Aku pikir, Elang masih marah karena Naga menyandera Jacob Jacobman.
Ya, tidak ada yang sempurna, termasuk keluarga Naga, tentunya tetap lebih baik daripada milikku. Sekedar informasi, Ayah Naga sangat baik dan pengertian, ia tidak mempermasalahkan aku yang menjabat sebagai teman Naga. Tidak seperti ibunya, yang melabeliku sebagai bagian dari pengaruh buruk.
"Naga, kamu sakit?" Ketua Kelas yang duduk di barisan paling depan bertanya saat teman lemahku itu memasuki ruangan. Wajahnya kusut dan ia mengabaikan niat baik Ketua Kelas. Tipikal Naga dan ketidakseruannya, juga ketidakmampuannya untuk hidup berbahagia.
"Kamu hampir terlambat Ga." Aku menepuk pundak Naga setelah manusia itu mendudukkan diri di kursinya, di sampingku. "Kenapa?" lanjutku.
Naga diam sejenak seperti menimbang-nimbang sesuatu sebelum menggeleng dan mengubur wajahnya di meja. "Aku ingin tidur Lan." Mungkin Naga juga tidak bisa tidur nyenyak semalam, sebab memikirkan apakah ibunya bisa meringkusku atau tidak.
"Jangan tidur! sudah hampir bel." Aku menguap sebab Naga menguap. "Omong-omong, kamu tahu kenapa piramida Mesir tidak punya hidung?" Aku berusaha membuat anak lemah itu terjaga. Cukup berhasil meski Naga hanya memberi gelengan tanpa repot mengangkat kepalanya. "Kelompok diskusi konspirasi akan membahas itu minggu depan, kamu tertarik?"
"Sphinx." Naga mendongak, ia menatapku dengan kesombongan. "Namanya Sphinx, bukan piramida, itu dua bangunan yang sangat berbeda." Dasar curang, benar-benar sulit dan tidak seru!
"Ya, itu maksudku." Aku merogoh tas dan mengeluarkan buku sejarah. "Mereka mirip, tidak masalah selama yang diajak bicara mengerti, inti dari komunikasi adalah pesan yang tersampaikan!"
Naga menegakkan tubuhnya dan mengikutiku menyiapkan buku sejarah. "Kamu dipukul lagi Lan?" Pertanyaan rutin yang selalu Naga lontarkan di berbagai kesempatan.
"Ya, sedikit." Aku kembali ke rumah pagi tadi, sekitar pukul lima, untuk berganti pakaian dan mengambil buku pelajaran. Ayahku marah karena aku tidak pulang ke rumah. Setidaknya itu yang ia teriakkan saat melempar pukulan, entah masalah apa yang sebenarnya ia hadapi. Mungkin ia dikejar-kejar penagih utang atau, akhirnya menyadari bahwa dirinya tidak berguna.
"Di punggung?"
"Ya, tebakanmu tepat."
"Aku tidak menebak, kamu membungkuk sejak tadi." Sepertinya tidak hanya Ibu Naga yang menjadi lebih peka, teman lemahku itu juga. "Aku bawa aspirin, kalau memang sakit sekali." Dan itu tidak menyenangkan, terasa sangat aneh, aku tidak suka. Anak yang melabeli dirinya sendiri sebagai manusia paling mengenaskan sealam semesta, tiba-tiba menyadari bahwa ada manusia lain di sampingnya yang lebih patut dikasihani. Tambahan, tanpa perlu diberi petunjuk.
"Kamu tidak perlu merasa kasihan." Seharusnya aku merasa lega sebab teman lemahku itu sedikit lebih normal dari biasanya. Tapi keanehan Naga membuat suaraku terdengar jengkel, dan aku harus repot menutupinya dengan senyuman. "Ini sudah biasa, kenapa kamu tiba-tiba memutuskan untuk merasa kasihan?" Aku mengedik di akhir seolah tidak peduli.
"Tidak, aku cuma ingin membantu." Mungkin Naga merasa bersalah karena membiarkanku tidur di kolong semalam. Atau ia hanya tidak sadar bahwa aku lebih banyak berhutang padanya. Temanku itu memang tidak seru! "Sepertinya Cendana mencarimu," Naga melanjutkan.
Aku tentu menceritakan pertemuan anehku dengan Cendana, hal yang menyebabkan Allan basah kuyup dan memohon dipungut. "Sudah kuduga." Aku berbangga hati. "Aku menyapanya pagi tadi, tidak secara langsung, tapi pasti cukup membuat anak itu cemas." Naga menggeleng dan menatapku malas. "Anggap ini sebagai pembalasan, atas perilakunya yang tidak sopan, ia tidak berterimakasih setelah ditolong."
"Ia tidak ingin ditolong." Naga bergumam dan aku memukul pundaknya. Teman lemahku itu mudah sekali digiring ke hal-hal negatif.
"Aku ini pahlawan Ga, aku membantu siapa saja, termasuk orang yang tidak ingin dibantu," balasku enteng. "Tidak, tidak sia-sia, aku yakin kamu menganggap tindakanku itu bodoh." Bel jam pertama berbunyi dan Ketua Kelas menyeret masuk murid-murid malas yang hendak membolos. "Coba pikirkan, kalau aku tidak menolong Cendana, lalu anak itu mati tenggelam, orangtuanya akan sedih, fansnya akan sedih, bagaimana jika salah satu dari mereka punya pikiran yang lemah, lalu menyusul Cendana?" Aku menoleh pada Naga dan mendapati irisnya membulat, seolah ia terkejut dengan penjabaranku. "Hal-hal seperti itu mudah sekali menular." Aku mengakhiri dengan jentikan.
"Kalau aku, apa kamu juga-"
"Aku akan menggoda anak itu lagi siang nanti, sepertinya seru, ia artis, pastinya lebih mudah diajak biacara dibanding kamu." Aku memotong kalimat Naga sebab tidak ingin mendengar yang tidak-tidak. Hari masih pagi dan tidak akan kubiarkan mental Naga yang lemah menghancurkan suasana.
Tapi mungkin, aku bisa saja menyusul Naga, jika anak itu pergi lebih dulu, bukan karena melarikan diri, tapi karena dipukuli hingga mati. Ah, merepotkan, aku harus memikirkan cara supaya bisa cepat tumbuh besar. "Menyusahkan sekali ya, hidup."
____________________
Ah ya...
=^._.^=Tapi ya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Suicide
أدب المراهقينSedikit demi sedikit, kami mati. Oleh tangan, kaki, degup jantung, dan pikiran kami sendiri. Kami melompat dari atap gedung, menenggelamkan diri di sungai, menelan banyak racun serta obat-obatan, menggantung tubuh juga harapan di langit-langit rumah...