Happy Reading...
Ana berjalan dalam kebingungan saat menyadari bahwa orang-orang di sekitarnya tengah memerhatikannya sangat lekat. Sebenarnya ia sudah terbiasa, tapi kali ini terasa jauh lebih aneh. Firasat buruk seperti tak pernah berhenti menghampiri benaknya.
"Oh jadi ini yang direbutin Pak Dosen sama adiknya itu?"
"Cakep sih, tapi duh murahan banget..."
"Kalo menurut gue si dia gak cakep, menang putih doang."
"Dia semiskin itu ya sampe rela digilir?"
Ana berjalan lebih cepat hingga ia sampai di toilet. Jarinya berjalan menuju tombol volume untuk mengecilkan suara musik yang tadi sempat dinaikkin suaranya. Semua dilakukan hanya untuk meredam ucapan-ucapan sampah dari seluruh mahasiswa yang telah menghinanya.
Ting!
Sebuah pesan masuk ke nomor WhatsApp-nya dari kontak yang sudah sangat ia kenali. Ana segera menekan tombol panggilan dan menunggu panggilannya tersambung di ujung sana.
"Halo–"
"Cetak ulang lagi, Pak?" tanyanya cepat, matanya lurus menatap cermin yang menampilkan dirinya yang terlihat 'biasa saja'.
Orang di ujung telepon sana berdeham sebelum melanjutkan bicara, "Maaf soal kejadian kemarin dan hari ini."
Ana tersenyum sinis sebelum menjawab, "Udah jadi makanan sehari-hari, Pak. Ibarat menu andalan, rasanya gak mau makan kalau gak ada menu tersebut."
"Ana kamu punya pilihan untuk menunjukkan diri–"
"Dengan resiko berat yang mempengaruhi karir saya?"
Seseorang di sana menghembuskan nafas berat, "Saya harap kamu bisa memikirkannya baik-baik. Saya sangat sayang kamu, Ana. Saya sudah anggap kamu seperti adik saya sendiri."
"Terima kasih, Pak. Boleh saya matikan sambungan teleponnya, saya ada kelas Sastra dari Pak Yasa pagi ini?"
****
Seorang Ariana Niskala si gadis penerima beasiswa mana pernah mengira bahwa tempatnya menempuh pendidikan merupakan neraka paling kejam dalam hidupnya. Lebih kejam dari kenyataan saat Tuhan memilih merebut kedua orangtuanya dan membiarkannya hidup sendirian sejak sekolah menengah.
Pikirnya ia bisa mendapatkan teman baik untuk diajak bercerita dan belajar, tapi kenyataannya hingga kini tak pernah ada satu orang pun yang bersedia menjadi temannya. Ana tertawa miris menatapi baris pertama kursi di dalamnya kelas yang hanya terisi olehnya. Bahkan untuk duduk bersebelahan dengannya pun mereka tak sudi.
Pak Yasa memasuki ruang kelas dan langsung menciptakan hening di dalam kelas. Tanpa banyak kata dan dengan hanya menunjuk kursi kosong di hadapannya, beberapa mahasiswa segera mengisinya meski dengan wajah yang sangat terpaksa.
"Saya udah bilang kalau saya gak suka kursi bagian depan kosong begitu," ucap Pak Yasa sambil memandangi satu per satu mahasiswanya yang hanya menunduk.
"Kalian kenapa alergi banget duduk di depan, ya? Padahal Ariana saja suka duduk di depan...."
"Halah dipuji terus!"
"Ya iyalah suka, kan bisa liat kekasih gelap dengan puas...."
"Mungkin semalem belum ketemu, jadi dipuji-puji deh sekarang."
Ana berdeham pelan. Telinganya sungguh terasa panas mendengar semua bisikan orang-orang di belakangnya. Sedangkan di depan sana Pak Yasa tetap sibuk memberikan banyak penjelasan pada seluruh mahasiswa di kelas tanpa menghiraukan racauan mahasiswanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/257423086-288-k698268.jpg)
YOU ARE READING
Cromulent
RomanceMemangnya apa yang bisa diharapkan dari seorang gadis penerima beasiswa yang juga digosipkan memiliki hubungan khusus dengan dosennya sendiri? Perundungan yang didapatkannya semakin menjadi-jadi karena gosip murahan seperti itu. Namun di lain sisi A...