Ana tidak pernah berharap akan dapat membuka matanya kembali. Di dalam tidurnya yang ia pikir hanya sebentar, ia bertemu dengan kedua orangtuanya. Menangis tersedu di hadapan kedua orangtuanya, juga marah sebab ditinggalkan begitu saja. Maka saat akhirnya netranya dapat menangkap cahaya yang masuk tiba-tiba, ia melenguh terkejut, membuat seseorang yang sedang duduk di sofa bersama laptopnya berjalan menghampirinya dengan cepat.
"Ana?" panggilnya, yang dibalas dengan gumaman oleh Ana. "Gue panggil dokter dulu, ya!" ucapnya lagi, lalu telinga Ana mendengar suara pintu yang terbuka dan tertutup dengan cepat.
Akhirnya dokter datang. Memeriksa Ana dan seluruh kondisi yang ada pada tubuhnya. Menanyakannya banyak hal yang hanya dijawabnya dengan singkat. Lalu setelah dokter dan suster meninggalkannya, ramai orang datang menghampirinya dengan wajah cemas.
Tidak seramai yang dibayangkan memang. Namun untuk dirinya yang kerap kali duduk sendirian bahkan hanya untuk menunggu angkutan kota, kehadiran orang-orang dengan wajah cemas di ruang rawat inapnya dapat ia sebut sebagai keramaian.
"Aku takut banget kamu kenapa-kenapa, An!" seru Nara dengan nada sarat akan khawatir, lalu ia memeluk Ana dengan sangat erat.
"Aku nggak papa kok, Kak,"
"Apanya yang nggak papa? Lo pingsan empat hari, anjir!" sungut Junto sambil merapihkan barang-barangnya tanpa mau menoleh menatapnya.
"Empat hari?" tanyanya sekali lagi yang diangguki oleh Keenan dan Jeno yang juga ada di sana.
"Kata dokter waktu itu lo kecapean, gak tidur semaleman juga, gak makan juga, obat lo gak diminum juga, lo dehidrasi juga, makanya waktu lo tiba-tiba pingsan sehabis marah-marah kita semua kaget. Masa iya cuma marah aja lo sampe pingsan." jelas Keenan yang diangguki temannya, membuat Ana kembali mengingat hari di mana untuk pertama kalinya ia marah-marah pada seluruh mahasiswa di kampusnya.
Ana seperti teringat akan sesuatu. Ia menatap Junto intens, namun yang ditatap hanya diam sambil menggulir layar ponselnya. Entah apa yang dilihat oleh pria itu sampai ia tidak mengalihkan pandangannya dari ponsel sama sekali. Yang lebih membuatnya keheranan lagi adalah telah hilangnya ketiga orang yang tadi juga ada bersamanya di ruangan ini. Entah sejak kapan ketiganya berpamitan padanya.
Junto bangkit berdiri. Pria itu hanya menatapnya sebentar lalu berjalan menuju pintu, hendak meninggalkannya kalau saja suara paraunya tidak menghentikan niat pria itu.
"Junto, maaf...."
Terdengar hembusan nafas kasar milik Junto. Ia akhirnya berbalik dan duduk di hadapan Ana. Selama beberapa saat Junto hanya diam tidak mengucapkan apa-apa, hingga tiba-tiba saja ia menangis. Sontak Ana kebingungan, ia tidak tahu harus berbuat apa untuk menenangkan tangisan tiba-tiba pria itu. Hanya satu yang ia tawarkan padanya, "Mau peluk gak, Jun?" yang langsung disambut hangat oleh Junto.
Lama Ana menunggu pria itu selesai menangis. Pria itu bahkan sudah membawanya ke dalam pelukan pria itu.
"Maaf ya, An...."
"Kenapa?"
Junto menghembuskan nafasnya lagi, menarik Ana dari pelukannya dan berpindah duduk di hadapan gadis itu, "Gue jahat banget karena malah gak percaya sama lo, sempet berpikir bahwa lo beneran simpenan kakak gue. Panas banget hati gue liat foto kalian di depan rumah lo gitu, kayak akrab banget lebih dari dosen dan mahasiswa."
"Lo cemburu?"
Junto berdecak sebal, "Kenapa point lo malah ke situ, sih? Ya enggak lah! Lo itu udah kayak adik gue sendiri, gak ada cemburu-cemburuan. Cuma kan kikuk aja kalau tau-tau lo malah jadi kakak ipar gue, untung Kak Nara udah jelasin semuanya ke gue."

YOU ARE READING
Cromulent
RomanceMemangnya apa yang bisa diharapkan dari seorang gadis penerima beasiswa yang juga digosipkan memiliki hubungan khusus dengan dosennya sendiri? Perundungan yang didapatkannya semakin menjadi-jadi karena gosip murahan seperti itu. Namun di lain sisi A...