3-

18 2 7
                                    

Happy Reading

Seseorang memanggil Ana dan membawanya masuk ke dalam sebuah ruangan. Ana menatap banyaknya poster novel best seller yang telah berhasil diterbitkan oleh perusahaan ini.

"Hai, Ana. Oke, jadi gimana, nih? Ada apa?" tanya seorang wanita cantik sambil meletakkan matchbook miliknya di atas meja.

Ana biasa memanggilnya Kak Nara. Mungkin ia satu-satunya orang baik di dunia ini yang ingin tetap tersenyum manis pada Ana yang biasa saja.

"Kak, waktu terbit diundur, boleh?"

"Lho, ada apa? Sudah masuk antrian editing, lho?"

Ana menggenggam tangannya gemetar. Sejujurnya ia juga tidak tahu kenapa ia tiba-tiba datang ke tempat ini dan berbicara demikian. Namun bagian dari seluruh dirinya seperti belum siap untuk mendapatkan hal yang baru lagi.

"Takut, kak...." cicitnya, membuat Nara tersenyum manis.

"Wajar, kok, gapapa. Kita lanjut prosesnya aja, ya?"

Ana menggeleng, keinginannya sangat kuat, "Ditunda sampai aku selesai UAS aja deh, kak. Pliss...."

"Ada apa sih, An? Aku kan udah bilang kalau kamu ngerasa sesuatu kamu bisa langsung hubungi dokter kamu,"

"Aku gapapa, kak, suer. Aku cuma takut aja keteteran soalnya kan udah mau UAS,"

"Yakin cuma karena itu?" tanya Nara berusaha untuk memastikannya sekali lagi.

Meski ragu, gadis di hadapannya itu tetap mengangguk kaku, "Yakin, kak."

Nara mengehembuskan nafasnya sebentar, tangannya sibuk mengetikkan sebuah pesan singkat pada seseorang. Lalu seseorang di seberang sana menelponnya sebentar dan sambungan kembali dimatikan.

"Yasa bilang oke...." ucapnya terjeda membuat Ana menunggu dengan takut, "tapi setelah UAS harus langsung diproses dan gak bisa ditunda lagi. Deal?"

Ana mengangguk mantap sambil tersenyum, "Deal, kak."

Keduanya sama-sama berdiri dan saling menatap. Lalu Nara mendekati gadis itu lebih dulu dan memeluknya erat tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Ana membalas pelukan Nara dengan senang hati. Entah mengapa tiap kali berada dalam jarak dekat dengan Nara, ia bisa langsung nyaman. Hatinya bahkan tidak berhenti merapalkan doa, semoga di kehidupan berikutnya, jika diizinkan ia ingin menjadi adik dari seorang Narasha Nadira.

Setelah saling melepas pelukan, Nara merangkul Ana dan mengantarkannya hingga ke lobi sebelum gadis itu pulang.

Nara membawa Ana untuk menghadapnya, "Dokter Syifa bilang udah beberapa bulan ini kamu gak terapi, kenapa, An?"

Ana diam. Ia juga tidak tahu apa alasan dirinya tidak lagi membutuhkan terapi. Padahal jika diingat kembali, perundungan atas dirinya di akhir-akhir ini semakin memburuk.

"Aku gak tau, kak. Tapi aku udah ngerasa feel better, kok...."

"Hari ini ada kelas?"

Ana menggeleng, "Enggak ada, kak."

"Sore ini ya, temuin Dokter Syifa. Bisa, kan?"

"Kak, tapi kan–"

"Iya sayang, kakak tau kamu udah ngeras baikkan, tapi tetep kita harus tau apa jawaban dari Dokter Syifa, ya? Bisa?"

Ana akhirnya pasrah. Ia menyetujui seluruh saran Nara. Lagipula memangnya siapa yang berani menolak permintaan gadis seramah Nara?

****

CromulentWhere stories live. Discover now