9. Sebuah persetujuan

9.6K 355 17
                                    

Biasanya enggak segugup ini bila Luna bersama Bram. Bahkan saat peristiwa mati lampu dan handuk terjatuh itu. Mungkin salah paham Bobby menjadi alasannya, tetapi perkataan Bram yang waktu itu juga mengusiknya.

Saat malam jam sembilan, Luna sama sekali belum mengantuk. Ia hanya duduk di ranjang sambil memainkan ponsel pintarnya. Bram tiba-tiba masuk tanpa lebih dahulu permisi atau memberitahu Luna sebelumnya. Ketika perempuan itu hendak bertanya, buru-buru Bram meletakkan jari telunjuknya di bibir, dan Luna langsung terbungkam tentunya.

Ia duduk di tepi ranjang, Luna mengikuti dan duduk di sampingnya. Sepertinya ada hal penting yang ingin diberitahukan Bram.

"Maaf saya ganggu tidur kamu." Bram mengatakannya tulus, Luna dapat melihat dari gurat wajah dan matanya.

"Enggak apa-apa, Pak. Saya juga belum tidur," aku Luna.

"Begini. Ada yang ingin saya minta tolong sama kamu, Lun ...." Ada nada ragu di suaranya, perempuan itu jadi penasaran permintaan seperti apa yang akan di sampaikan Bram.

"Tapi sebelumnya, saya enggak maksa." Bram menatap intens Luna.

"Kamu mau jadi pacar saya?"

Luna membelalak mendengar permintaan itu. Ia sampai menahan napasnya barang beberapa detik saking terkejutnya. Perempuan itu pikir ia salah dengar, tetapi melihat wajah serius Bram, Luna jadi merinding sendiri.

"Uh-hm, maksud saya. Hanya pacaran pura-pura."

Ada rasa kecewa mendengar lanjutan dari permintaan Bram. Luna beringsut memberikan cengiran yang entah untuk apa ia seperti itu.

"Pak Bram, kenapa tiba-tiba kayak gini?"

"Saya baru melihat Bobby berbinar sejak saya bercerai dengan mantan istri saya lima tahun yang lalu, ketika ia bercerita tentang kita." Bram menghela napas, tampak begitu berat yang ia minta, tetapi juga tidak ingin terlalu memaksa Luna. Hal itu juga yang membuat Luna sedih.

"Saya hanya ingin dia seperti itu selalu. Aku tahu ini terdengar konyol, dan bahkan saya sendiri masih tidak percaya ketika mengatakannya. Sekali lagi saya tidak memaksa. Pilihan kamu pegang penuh." Bram bangkit berdiri, "hanya itu yang ingin saya sampaikan, selamat malam." Ia lalu beranjak keluar.

Ada apa dengan perasaan Luna yang tiba-tiba saja dilema. Ia tidak menyukai pria itu, dalam artian suka sebagai lawan jenis. Ralat. Belum. Hatinya masih bimbang, perbedaan usia, jabatan kepala sekolah dan ia masih siswa di sekolah adalah yang paling ia pikirkan. Meskipun memang hanya permintaan sebagai pacar pura-pura, dan mereka melakukannya hanya untuk Bobby.

***

"Halo Cantik!"

Luna terlonjak, ia memegangi dadanya. Kehadiran laki-laki itu disertai suara mengejutkannya membuat Luna hampir berteriak.

"Gitu aja terkejut. Lagi ngapain?"

"M-mm, lagi masak," jawab Luna. Dalam hati mendumel, emangnya Bobby enggak lihat dia sedang ngapain?

"Sini aku bantu." Bobby mengambil alih pisau dan bawang-bawang yang hendak dikerjakan Luna tadi. "Udah kau kerjakan yang lain aja, biar cepat kelar."

Luna menurut, dan segera mengambil wajan dan menaruhnya di atas kompor. Ia ingin memasak ikan saja dahulu, selagi Bobby memotong bahan-bahannya.

"Oh, iya Luna. Aku kepo, kau sama Papa panggilannya apa, ya? Sayang? Beb?"

Luna yang tengah memasukkan ikan dalam minyak panas tentu saja tidak siap ketik ditanyai hal itu. Belum lagi permintaan Bram semalam yang belum ia jawab. Luna memasukkan seluruh ikannya sebelum menjawab pertanyaan Bobby, atau bila perlu ia berpura-pura tidak mendengar saja.

"Kok diam? Terkejut ya?" Sayangnya Bobby terlalu cerdik untuk mengetahui kalau Luna tidak menyukai pertanyaan itu. "Yaudah enggak usah dijawab."

Keceriaan pemuda itu surut saat tidak mendapatkan jawaban dari Luna. Bram benar kalau setiap membicarakan hubungan salah paham antara dirinya dan Bram, Bobby selalu bersemangat. Apakah sesenang itu Bobby tahu ayahnya punya pasangan? Luna jadi berempati.

"Aku manggil Pak Bram, Mas. Karena kalau pake 'Pak' terlalu formal." Kegilaan dari mana, Luna malah mengikuti jalan main ini.

Semoga saja nanti Bram kalau mengetahui itu tidak akan geli, karena jujur itu hanya pemikiran spontan Luna. Ia tidak mungkin bilang 'ayah bunda' kan?

Bobby tertawa, "Wah. Udah kayak suami istri. Udah abis lulus nikah aja. Luna udah mengantongi restu aku. Hahaha."

Luna merasa bersalah memilih panggilan itu, sebab pemikiran Bobby malah jadi aneh karena kata 'mas' itu.

"Ini, sudah aku potong semua."

Luna menerimanya, dan langsung ke wastafel untuk mencucinya. Ia ingat dengan wajan dan ikannya yang sepertinya sudah matang. "Bobby, boleh bantu angkat ikannya enggak?"

"Hah?"

"Itu, nanti gosong."

Sebenarnya Bobby belum pernah memasak sebelumnya, apalagi mengangkat ikan yang digoreng. Dengan takut-takut ia pun memilih memberanikan diri untuk mengangkat, juga karena tidak ingin makan ikan gosong.

Dengan takut-takut ia ambil enam ikan matang itu dari minyak panas. Tersisa dua potong lagi, tetapi itulah hal soalnya. Mata ikan tiba-tiba meleduk. Minyaknya muncrat ke mata Bobby.

"Awh!"

Luna yang selesai membersihkan sayur langsung berlari kecil melihat Bobby yang mengasuh sambil memegangi mata kirinya, dengan sepotong ikan jatuh bebas ke lantai.

"Loh, kok--" Buru-buru Luna mematikan api dan beralih pada Bobby.

"Panas banget, Lun."

"Duh ...." Luna meringis melihat mata merah Bobby. "Di mana kotak P3K nya?"

Bobby menunjukkan arahnya, Luna segera bangkit dan mengambil di tempat yang dimaksud. Setelah dapat ia kembali ke Bobby.

"Sini dioles salep dulu, biar enggak parah dan infeksi."

Untungnya setelah Luna periksa, minyaknya hanya mengenai kelopak mata Bobby, itu pun tidak terlalu parah. Namun, tetap saja memberikan efek perih pada mata Bobby.

"Maaf, Ya. Ini gara-gara aku," sesal Luna selesai mengoleskan salep pada mata Bobby.

"Enggak papa kok, ini. Cuma masih perih aja. Luna, boleh tiupin nggak?"

Luna tidak berpikir hal lain langsung meniup mata Bobby. Posisi mereka sangat dekat, dan Bobby sendiri melihat wajah Luna yang masih memasang tampang cemas dengan jarak yang sangat dekat.

Gadis itu benar-benar sangat cantik pikir Bobby, dan dalam hati mati-matian menahan diri tidak menyambar bibir gadis yang tengah tulus meniup matanya itu. Kalau Luna bukan pacar ayahnya. Sudah pasti Bobby akan melakukannya dan memacari Luna saat itu juga.

Bobby juga baru sadar gadis ini begitu polos dan tidak muluk-muluk seperti gadis kebanyakan yang ia kenal. Bobby berpikir ayahnya sangat beruntung mendapatkan Luna yang begitu cantik dan manis.

Tidak mereka ketahui, mereka dilihat Bram yang sudah selesai berpakaian dan hendak berangkat kerja. Posisi yang begitu ambigu dan Luna yang memonyongkan bibirnya untuk meniup membuat Bram merasa posisi itu begitu ambigu.

Ada rasa kesal dan perasaan aneh ya g menyerangnya ketika melihat adegan itu.

"Ekhem!" deham Bram membuat keduanya lantas buru-buru menjauhkan diri.

***

Wohoooo!
Bram cemburu mah anak sendiri, wkwkwk.
Kamu tim mana nih?

#BramLuna

Atau

#BobbyLuna

Luna sama Bobby aja kali ya, biar umurnya pas, kan beda setahun doang:*

Tapi, Bram itu pria yang cool dan gentle banget. Selalu jadi pahlawan di hidup Luna. Tapi gimana ya?

Menurut kalian gimana?

Jangan lupa kasih bintang sama komentar sebelum membuka bab berikutnya yaw.

Salam sayang

CANGTIP1

My Love My HeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang