23. Marah dibalas Marah

4.6K 191 6
                                    

Kata Bobby perempuan itu suka kejutan yang manis, jadi Bram menjemput perempuan itu tanpa memberitahukan Luna sebelumnya. Sebagai pelengkap, pria itu juga membawa sebuah coklat yang ia hias dengan seikat pita merah. Menurut artikel yang ia baca tadi malam lewat pencarian di internet, mood perempuan akan mudah membaik bila memakan makanan manis itu.

Tidak menunggu lama sejak ia sampai di depan rumah dengan pekarangan di tumbuhi banyak bunga-bunga. Perempuan bernama Luna itu keluar, lengkap dengan seragamnya membalikkan badan terkejut melihat mobil Bram ada di sana. Dengan cepat ia melangkah cepat menghampirinya.

"Pak Bram?"

Kaca mobil terbuka, Bram menyunggingkan seulas senyum lebar. "Masuk."

Meskipun wajahnya tidak berekspresi, tetapi Luna tetap melakukan yang Bram pinta, masuk ke mobilnya. Lalu saat besi bermesin itu mulai berjalan, barulah Luna mengeluarkan kalimat yang ia tahan sejak tadi. "Kenapa Bapak enggak ngabarin kemarin?" Pasalnya perempuan itu ingat kemarin Bram bertukar pesan dengannya, kenapa tidak sekalian mengabarinya akan menjemput.

"Biar jadi kejutan," jawab Bram entengnya, melirik Luna di sela menatap jalanan di depannya.

Luna tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia benar-benar marah kali ini, lebih dari semalam ketika Bram mengungkit masalah perbedaan umur mereka. "Bapak bisa buat masalah kalau begitu. Gimana kalau Ibu lihat?"

Pria itu menurunkan senyumnya, benar juga. Hal itu luput dari perhatiannya, satu-satunya yang ia inginkan hanya membuat Luna tidak marah lagi padanya, sayang sekali ia malah memperburuk keadaan.

"Maafkan saya."

"Luna, kan, udah bilang; minta waktu buat menyesuaikan diri. Kalau Luna udah siap, pasti saya kenalin ke Ibu, kok. Tenang aja, Luna enggak anggap hubungan ini cuma untuk main-main atau coba-coba. Saya juga ingin nantinya jadi wanita yang duduk di pelaminan bareng Bapak."

Ada semu merah yang merona di wajah gadis itu ketika mengatakannya, meski disertai perasaan kesal dan marah, hatinya tetap saja malu-malu mengungkapkan isinya.

Di balik kemudi, dengan tangan masih setia bermain bersama setir bulat itu, Bram tidak pernah bermaksud untuk menyinggung masalah itu lagi. "Saya tidak berpikiran seperti itu, Luna."

"Tapi kenapa Bapak seolah-olah ragu sama Luna? Dari semalaman pembahasan dan kelakukan Bapak selalu mengarah ke sana, kita baru dua hari, loh." Luna menahan suaranya agar tidak meninggi. Napasnya naik turun, pacaran tidak seindah yang ia tonton di film-film, apalagi jika pacarnya om-om.

"Iya saya akui ini kesalahan saya. Kamu pantas marah, saya luput akan yang satu itu." Sepertinya Bram juga ikut tersulut. Jarak mereka ke sekolah tinggal satu kilometer lagi. "Saya cuma pengen kasih kejutan. Kemarin saya bertanya pada Bobby gimana caranya untuk buat perempuan remaja nggak marah lagi; dan ia bilang saya harus membuat kejutan manis. Saya lakukan, enggak tahunya begini. Saya juga enggak menyangka akan ini."

Perempuan itu termangu di tempatnya memandang Bram yang sekarang mengeraskan rahang tegas yang ditumbuhi rambut-rambut halus itu. Ia tidak tahu ternyata pria itu melakukannya untuk membuat ia senang. Ia jadi menyesal telah berpikiran buruk.

"Luna enggak tahu kalau Bapak ...." Belum selesai ia berbicara mobil sudah berhenti di pinggiran. Luna terheran dan memandang Bram, meminta penjelasan.

"Kamu turun di sini saja, dua puluh meter lagi sampai. Kamu enggak masalah jalan kaki sebentar, bukan? Daripada orang-orang melihat kita di saat kamu belum siap."

Luna ternganga, tapi tidak ada alasan untuk menentang perkataan Bram. Laki-laki itu benar, juga itulah yang ia inginkan sedari tadi. Dengan enggan, menahan sakit hati ketika salam perpisahannya tidak dibalas oleh Bram sesaat sebelum turun.

My Love My HeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang