Kalimat Ethan mengganjal di pikiran Elise. dia bukan hanya terusik, sepenuhnya dia terganggu. Segera dia melepaskan diri dari pelukan sang pria jangkung dan mengambil jarak sejauh mungkin. Ini bisa saja bagian dari semua sandiwara atau apa pun yang tengah memenuhi kepalanya.
“What do you want? Tell me! Kalau mau negrejain aku lagi, terus ngomongin aku di belakang bareng sama istrimu itu, baiknya sekarang ngomong langsung. Cukup ya aku jadi samsak tinju kalimat lancang kamu!” Jari telunjuk Elise mengarah ke wajah Ethan.
Kepala Elise memiliki rentetan kata yang akan dilemparkan. Sayangnya, hidungnya mendadak meleleh. Amarah berganti menjadi gerakan huru-hara mencari tisu. Angin malam di balkon jauh lebih menyengat. Bermenit-menit lalu, dia melupakan fakta kondisi tubuhnya sedang bermasalah.
“Elise, aku minta maaf. Aku tahu, semua itu ngencurin hati kamu!” ucap Ethan. Nada suaranya lebih tenang sekarang.
“Itu tahu! Tapi masih aja dilakuin!” berang Elise. Dia menemukan tisu di atas meja kayu bundar. “Pokoknya sekali lagi aku dijadiin tumbal kebahagiaan pasangan menyedihkan kaya kalian berdua, aku benaran bakan ngentung kalian di pohon beringin dipersembahkan buat dedemit!”
Elise tidak menatap wajah Ethan, dia hanya menunggu tanggapan dari pria itu. Beberapa detik menunggu tidak ada suara, dia kembali melayangkan pandangan ke wajah Ethan. Mata mereka bertemu. Sepertinya sang lawan bicara sengaja membiarkannya terus bicara.
“What the hell?” Elise tidak tahan dengan reaksi dari Ethan. “Wah! Ada kamera di sini? Mau ngerjain aku? Emang ya, kamu ….” Elise mengepalkan kedua tangan. Persetan dengan sopan santun. Dia menarik napas, waktunya pergi dan pulang ke rumah. Tubuhnya benar-benar terbakar sekarang.
Tangan Ethan menyambar pergelangan tangan kiri Elise.
“Please, El! Aku nggak mau malam ini berakhir dengan jarak lagi besok.”
“So what?” Elise mengguncang tanganya kuat, berharap pegangan lembut itu lepas.
“Would you mine to talk?”
“Emang dari tadi aku ngapain? Talk to wind? Ghost or maybe you are the ghost!”
“Peacefully!”
“Are you kidding me? You threw me with the fire.”
“Jadi, sekarang kamu marah dulu sampai puas. Aku dengarin semua, karena aku emang pantas dapatin itu.”
“You never listen!” Elise mendekat ke tepian balkon. Tangan kirinya masih dalam genggaman Ethan.
“I’m here.”
“Your body. Who knows who you think or where is your mine go!”
“El. Aku serius.”
“Ok!” Elise menarik napas. Hanya sebelah hidungnya berfungsi. Makin lama dia membantah kalimat Ethan makin panjang percakapan ini. Lagi pula, tubuhnya makin mengigil seolah tengah berendam di dalam air es. Elise duduk di kursi panjang. Ethan mengambil tempat di sisinya.
“Waktu insiden di dapur, itu bukan salah kamu. Aku masih ingat, kalau kamu nggak bisa ngeliat hewan melata yang menggeliat dalam satu wadah. Dan lagi aku nggak seharusnya manggil kamu ke dapur. Dan soal kalimat aku di kamar, aku tahu udah ngebuka luka lama yang pernah aku toreh dulu, El. I did’t mean to broke your heart again.” Ethan menarik napas.
Elise berusaha memasang telinga dengan baik, mendengar kalimat Ethan dan mengabaikan kepala yang meraung bersisik bahkan kuntilanak sekalipun akan minder.
“Aku cuman nggak teriman kalau beban keuangan aku bertambah lagi. Aku nyari cara buat ngehibur diri dan emang aku udah lancang ngelibatin kamu. Dan waktu aku kembali ke dapur, aku merasa menjadi sosok paling bajingan, aku nggak kalau kamu udah memperbaiki semuanya. Dan malam waktu pertunangan Deo, ngeliat kamu sebenci itu sama aku ….” Ethan tidak melanjutkan kata-katanya.
Elise menoleh ke arah Ethan. Matanya kembali berkilau tertimpa sorot cahaya.
“Aku salah, El. Aku ….” Kalimatnya kembali menggantung. “Aku bakalan ngelakuin apa pun untuk nutup luka yang udah aku buat.”
“Kamu nggak bersusah payah minta maaf karena utang kamu sama aku makin banyakkan?” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Elise.
Ethan tertawa. “Ngeselin ngerusak momen aja!”
“Tapi kamu udah berjanji satu kali. Dan itu konspirasi!”
“I know. El, setelah pertemuan kita pertama kali, kamu muncul di depan pintu dan setelah pertemuan kita selanjutnya, aku ngerasa hidup aku berubah total. Aku bisa tertawa sama kamu, lepas. Tolong, El. Kasih aku satu kesempatan lagi!”
Elise melepaskan tanganya dari Ethan, memeluk dirinya sendiri. sengatan udara dingin menusuk bak serpihan kaca. Dan dia bersin lagi. Ethan memeluk bahunya, detik berikutnya dia menggerakkan telapak tangan menyentuh kening Elise.
“El. Kamu panas banget!”
“Aku negrasa dingin banget sekarang!”
“Sorry, sorry. Kita masuk sekarang!” Ethan membatu Elise berdiri, menuntunnya masuk dan menutup pintu.
“Aku antar kamu pulang yah.”
“Ini restoran ditinggal?” Dalam kepeningan kepalanya, Elise masih sempat melontarkan pertanyaan.
“Nggak apa-apa.”
“Acaranya belum selesai. Jangan jadiin aku alasan mau ketemu Keysha ya! Aku bisa pulang naik ojek!”
“Naik ojek! Kagak!” Ethan mempererat pegangannya. Mereka turun ke bawah, bertemu dengan dua keluarga.
“Tuh kan dibilang jangan ikut juga!” Ibu Elise mendelik tajam. “Nggak bawa obat lagi!”
“Maaf, Mah. Tadi Deo yang maksa Elise datang,” ujar Deo berharap sang Ibu melunak.
“Nggak, Tante,” bantah Ethan. “Ini salah aku. Aku bakalan nganterin El pulang dan beliin obat di apotek! Nikmatin aja dulu hidangannya.”
Seperti terhipnotis, mereka yang ada di depannya mengangguk setuju. Elise sempat menoleh pada Ester dan Jojo, mereka melemparkan tatapan menggoda.
Kembali ke dalam mobil Ethan. Dia menyelimuti Elise dengan jaket hitam.
“Kita singgah ke klinik dulu, ok?”
“Nggak! Mau langsung pulang, tidur!” bantah Elise menarik jaket agar lebih hangat.
“Tap ….”
“Udah deh. Jangan ngebantah mulu!” Nada suara Elise menanjak. Dia tidak bermaksud hanya saja, tubuhnya benar-benar harus bersemayam di dalam kamar.
Ethan bungkam, dia mulai menjalankan mobil. Well ini tidak akan berakhir baik bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Back TAMAT
ChickLitNote. Beberapa tanda kutip menghilang secara misterius dari cerita. I dont Know Why 😭😭 Mohon maaf atas ketidaknyamanan-nya. Dan saya berjuang merapikanya kembali. "Life is Simple. Kalau nggak bisa masak, ya udah cari suami yang nggak bisa makan...