*
*
*
Selamat membaca teman-temanNana merobohkan dirinya di atas sofa empuk niat melanjutkan tidur yang sempat terganggu di taman kampus tadi. Ini hanya perasaannya saja atau bukan ya, dia seperti didatangi oleh laki laki tampan yang meminta izin untuk duduk bersama, setelah itu Nana tidak ingat lagi apa kelanjutannya. Tiba tiba dibangunkan oleh suara berisik mesin potong rumput dan mendapati dirinya tidur berbaring di kursi taman.
“Lo udah dateng?” tanya Nara berhenti sejenak di ruang tamu melihat sosok Nana yang tidur kelelahan. Gadis itu berpakaian casual dan tas slempang kecil sekdar menampung ponsel dan dompet. Berhubung stok sayuran dan bahan bahan dapur sudah habis, ia hendak pergi ke market membeli bahan pangan untuk beberapa hari ke depan.
“Kalau belum dateng yang lo liat siapa, Ra? Ifirt atau Qorin?” jawab Nana lesu.
“Sensi banget dah. Gue kan cuma sedang membudidayakan kebiasaannya warga plus 62 yang hobinya basa basi,” ucap Nara.
“Otak lo so ngide banget. Kapan kapan gue open donasi ah buat biaya amputasi otak lo.” Padahal Nara sudah siap membuka sebelah sandal rumahnya untuk dilayangkan kepada gadis rese itu. tapi melihat ekspresi tidurnya menyiratkan kelelahan, ia urungkan dan beralih ke plastik yang tergeletak di meja.
“Wiiih lo bawa apa ni? Bau baunya sih bakso.” Nara membuka bungkus aroma makanan itu antusias. Terdapat satu bungkus bakso yang mi kuning dan bihunnya sudah membengkak.
Sedangkan bungkus nasi lengko sudah tercecer minyak tidak beraturan. Tadinya antusias, Nara bergidik jijik.
“Arghh, geli banget liat minya. Beneran lo mau makan nih bakso sama lengkonya?” tanya Nara ragu.
Nana menggelengkan kepala. “Perut gue sekarat Ra, pengen makan. Menurut lo, gue harus makan tuh bakso? Tapi gue nggak suka kalau udah lembek gitu. Berasa makan cacing.” Nana bergumam dalam tidur.
“Bisa bisanya minta pendapat gue lo mau makan atau kagak. Ini gue niat mau ke market sih beli bahan bahan,” ucap Nara masih menatap geli ke arah kantong plastik hitam di atas meja itu.
“Alhamdulillah banget gue punya sahabat mental inemnya aktiv.”Nara melirik Nana sewot. “Baksonya keliatan pedes Na, kalau gue sirem ke muka lo, ok juga.”
Memaksa otot dan sarafnya bangun, Nana setengah sadar dan sempoyongan duduk menyandar lemas di sofa. Menarik napas lalu membuangnya sekaligus, Nana menggaruk rambutnya gusar.“Kenapa sih? Gue jadi ikutan galau liat lo madesu gitu.”
“Nggak kenapa kenapa. Gue abis tidur di bangku taman, badan gue sakit semua. Mana sempet ketemu si Roy Kiyoshi lagi di kantin.”
“Sekarang kalau ketemu Roy, bawaannya marah marah mulu ya lo, Na. Dulu aja dipuji puji sampe lupa harga diri beliin ini itu buat si cucunguk goat itu. mengcapek sama kelakuan buaya betina,” omel Nara menenteng jijik bungkus makanan milik Nana lalu membuangnya ke tong sampah.
“Berisik ah. Daripada lo? Dighosting mas pacar setahun, dateng dateng bawa bini bunting,” timpal Nana menatap Nara yang berjalan ke tong sampah di luar dengan pandangan julid.
“Mulut lo Nana kayak ngajak silutarahmi sama adzab. Itu kejadian udah lama banget gila, gue juga dulu masih bocah sma. Ya kali ah terpuruknya sampai masa glow up.“
Adu mulut dengan Nara, ia jadi mengingat bualan Roy di kantin. Membenarkan posisi duduknya tegak dengan kedua tangan memeluk bantal sofa, Nana menatap Nara antusias ingin berbagi cerita.
“Bodo. Gue lagi meratapi penyesalan gue yang pernah suka sama Roy. Dia goblok, nggak punya otak. Halusinasinya udah mendekati tingkat gila.
Cuma gara gara merhatiin dia jalan bareng ama ceweknya di kantin, dia nganggep gue gagal move on. Jelas jelas jari tengah gue udah ngacung sebagai tanda peperangan. Mengsinting otaknya.”
“Dia udah punya cewek lagi?” tanya Nara tidak percaya akan fakta itu. Nana mengangguk malas.
“Kasian banget sahabat gue dapet mantan buaya semua.” Nara menepuk pelan kepala Nana lalu bangkit.
“Gue belanja dulu bentar. Kalau perut lo ngajak mati, di kulkas ada puding hasil eksperimen gabut tadi. Makan aja, aman kok.”
“Gue mau ikut ah,” ucap Nana tiba tiba merenggangkan kedua tangan dan menguap lebar seraya membenahkan penampilan. Siapa tahu di jalan dia bertemu gebetan baru.
“Mau bantuin gue dorong troli, Na?” tanya Nara dengan mata berbinar. Sebuah keajaiban Nana sudi menawarkan diri ikut berbelanja.
“Apa banget dorong troli. Lo belanja, gue mau nyari angin sekaligus makan.”
Memang benar, harapan adalah musuh terbesar manusia. Nara mengembuskan napas dan setengah hati menahan tangannya untuk tidak benar benar melemparkan sendal ke wajah Nana.
***
Meneguk habis soda yang tersisa setengah, nana menyender santai di penyangga jembatan seraya mengotak atik ponsel. Senyuman miris terbit begitu saja saat membuka satu folder yang berisikan to do list sepuluh tahun lalu.
Permintaannya tidak banyak, di sana tertera hanya ada tiga keinginan.
Melakukan piknik di taman bunga.
Pergi ke bioskop.
Dan dicintai semua orang.Menggeser sekali layar ponsel untuk melihat foto selanjutnya, Nana tertegun menatap foto keluarga usang di mana dirinya dan William saling memeluk lalu kedua orang tuanya tersenyum lembut ke kamera. William adalah kakak laki lakinya yang terpisah sejak sepuluh tahun silam.
“Teknologi udah maju banget Kak. Lo bisa nemuin siapa pun yang lo mau temui lewat media sosial. Tapi ... kenapa lo nggak nyariin gue? Gue sih ogah nyariin lo, cewe tuh harus dicari bukan mencari,” ucap Nana lirih dengan suara bergetar mengusap permukaan ponselnya.
“Dulu lo pernah janji bakal ngajakin gue piknik di taman bunga, tapi lo malah pergi. Selain pengumbar janji, lo juga tukang ngibul. Sepuluh tahun lalu lo bilang bakal balik ke rumah, lucunya sampai gue usia dua puluh tahun, wujud lo nggak pernah lagi nongol di mata gue.”
Nana tertawa lirih sekilas menghapus matanya yang basah setelah melihat kenangan dan tulisan ceker ayam miliknya sepuluh tahun lalu yang sempat ia abadikan di memori ponsel.
Mengembuskan napas kembali menetralkan perasaan resah yang sudah bersahabat lama dengannya, Nana beranjak pergi membawa sampah kaleng soda lalu membuangnya.
Arlojinya menunjukan pukul sepuluh malam. Nara pasti sudah misuh misuh karena ia pulang tidak tepat waktu.
Jalanan memang masih sangat ramai, tapi saat hendak memasuki gang yang mengarah ke apartemennya, perasaan Nana tidak karuan.
Meski samar, dia mendengar derap langkah berat di belakangnya. Mulai siaga satu, Nana mempercepat langkah berharap sosok itu berhenti mengikuti. Pikirannya sudah dipenuhi adegan adegan parno yang membuat kerja jantungnya dua kali lipat lebih cepat. Saat melirik ingin memastikan sesuatu, netranya menangkap perawakan tinggi berjalan cepat memakai pakaian serba hitam dengan topi menutupi separuh wajah.
Merasa sosok itu terus menguntitnya, Nana berlari kencang mencari tempat ramai agar bisa meminta tolong. Sayangnya itu tidak mudah, sosok di belakangnya pun ikut berlari lalu menarik sebelah tangannya cukup kuat. Nana menjerit sekuatnya sembari menutup mata tidak sanggup melihat si pelaku. Sangking takutnya, ia sampai kembali menangis sesegukan.
“Buka matanya pelan pelan, jangan takut. Ini gue, yang tadi siang rela minjemin bahunya buat lo tidur,” ucapnya pelan meniup bulu mata lentik Nana yang terpejam.
***
Hallo teman-teman readers ku...
Aku gak tau mau ngomong gimana lagi, dengan muka tebalku aku akan sering minta kalian buat dukung cerita aku yang masih banyak kekurangan ini...
Untuk cast, kalian boleh berimajinasi sesuai tipe kalian sendiri ya ☺️
Jika ada saran atau kritikan, silahkan teman-teman kasi tau aku ya, aku akan nerima masukan dari kalian dengan senang hati, karna saran dan kritik teman akan aku jadikan pembelajaran kedepannya....
Sekali lagi terimakasih untuk teman-teman readers dan teman-teman AGT2021 yang sudah mendukung cerita yang masih banyak kekurangan ini...Sayang banyak-banyak ❤️
Izz_zee
KAMU SEDANG MEMBACA
Nice To Meet You 'Arteta'
Romance"Karena kualitas gue di atas rata rata, tutup mulut busuk kalian yang mengkampanyekan girl support girl. Gue nggak butuh." Lubna disukai banyak pria dan dibenci sekelompok kaum hawa. Memiliki deretan mantan pacar yang bisa membentuk tim kesebelasan...